Cari Blog Ini

Minggu, 08 Januari 2012

Teologia Agama-agama di Indonesia



  1. Pendahuluan
Quraish Shibab mengatakan “malapetaka dapat terjadi bukan saja karena umat beragama tidak memahami  agama orang lain, tetapi juga karena ketidakmampuan untuk mengerti agamanya sendiri. Jika setiap pemeluk agama yang berbeda-beda itu didorong untuk menyusun kerangka teologis menurut kacamata agamanya, setidaknya mereka didesak untuk menggali dari agamanya sendiri nilai-nilai positif yang mendukung bahkan menggiatkan hubungan-hubungan antar penganut agama-agama yang berbeda-beda itu, sehingga sedapat mungkin konflik-konflik yang tidak perlu dapat dihindarkan”. Di Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, bahasa dan lainnya, dan merupakan keunikan bangsa Indonesia, dan kali ini lebih menekankan kepada bagaimana orang Kristen menanggapi pluralitas yang ada di Indonesia ini? Dalam hal ini kita akan lebih banyak bertanya ke dalam daripada keluar.

  1. Pembahasan
2.1.  Pengertian Teologia Agama-agama (Theologia Religionum)
Th. Sumartana mengatakan bahwa tantangan keagamaan yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud mengatakan bahwa pluralisme merupakan satu-satunya tantangan akan tetapi bila tantangan itu tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat sekarang. Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi kampung kecil di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. [1]
Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap persoalan pluralisme. Theologia religionum tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan.  Theologia religionum harus mempunyai pijakan pada realitas, Theologia religionum merupakan untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah membuat dirinya relevan dengan keadaan, theologia religionum merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa depan menjadi masa depan bersama. Dalam theologia religionum kita diarahkan pada bagaimana kita tetap menjaga identitas keagamaan kita tanpa meremehkan dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Perumusan theologia religionum dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses bukan menganggap orang lain tersebut absent atau bahkan non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal. Theologia religionum harus benar-benar berpijak pada kenyataan, dikontrol, dan diawasi sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil yang positif. Jadi sekarang pluralisme telah dianggap sebagai nilai dan sikap eksklusif dianggap sebagai problem. Theologia religionum bertujuan untuk membangun suatu jembatan kerjasama, perspektifnya adalah mengarah pada kesimpulan yang bukan hanya prinsipal dan teoritis, melainkan menyangkut langkah nyata. Jadi theologia religionum bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar agama. Theologia religionum bukan dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antar agama, melainkan hanya memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut sehingga keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan. Jadi theologia religionum di Indonesia bertujuan agar gereja-gereja secara teologis merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya dan rasa senasib sepenanggungan untuk mengahadapi persoalan bersama pada masa depan serta bisa menjalin kerjasama yang erat antara semua orang beriman dan membentuk kerjasama yang produktif.[2]

2.2.  Pluralisme Di Indonesia
Clifford Geertz dalam sebuah bukunya, menyebut Indonesia sebagai A New State Of Old Societies, “Sebuah negara baru yang terdiri dari masyarakat-masyarakat yang lama”. Persoalan baru pun muncul, ikatan atau loyalitas orang kepada “masyarakat”-nya yang lama dengan sendirinya jauh lebih dalam ketimbang ikatan atau loyalitas kepada negaranya yang baru, sehingga tidak jarang timbul konflik, demikian tambah Eka Darmaputera. Yang perlu adalah “Nation Building” yaitu pembinaan rasa kesatuan bangsa yang melampaui loyalitas kelompok dan mungkin juga agama masing-masing.[3]
Tidak banyak negeri yang dalam kehidupan keagamaan seperti masyarakat Indonesia.[4] Di negeri kita hidup dan berkembang berbagai agama besar di dunia. Agama Islam berkembang merata di seantero Nusantara sebagai anutan mayoritas rakyat Indonesia. Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, datang secara lebih terorganisasikan yang sekaligus memperkenalkan sistem organisasi modern pada masyarakat Indonesia. Agama Hindu yang mula pertama kali datang memperkenalkan kehidupan berpemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal. Adapun agama Budha meninggalkan berbagai warisan monumental antara lain Candi Borobudur yang merupakan salah satu keajaiban di dunia. Kedatangan orang-orang Cina membawa agama Khong Hu Cu yang sekarang ini dianut oleh sebagian keturunan Tionghoa dan juga walaupun tidak banyak, beberapa penduduk asli. Pada zaman penjajahan terdapat pula penganut agama Yahudi yang ditandai oleh sinagoge salah satunya di Surabaya denagn beberapa orang penganutnya yang masih ada sampai sekarang. Patut pula dicatat bahwa sejak zaman Belanda berkembang dengan sangat terbatas agama Bahai yang pada zaman Orde Lama organisasinya dilarang bersama beberapa organisasi seperti Liga Demokrasi dan Rotary Club dengan alasan karena “tidak sesuai dengen revolusi”.
Selain agama-agama yang berasal dari luar di atas juga masih ada agama-agama asli. Di Kalimantan dikenal juga agama Kaharingan yang dianut oleh suku Dayak yang demi memperoleh pengakuan formal dari Pemerintah para penganutnya terpaksa menerima peng-Hindu-an menjadi agama Hindu Kaharingan. Pada tahun 70-an penganut agama Parmalim di daerah Batak berusaha diakui sebagai agama.[5]
Ketika awal-awal peradaban Nusantara, Hindu dan kemudian Budha telah diterima sebagai sumber referensi kebudayaan, kemasyarakatan dan juga pemerintahan.
Walter Bonar Sidjabat mengatakan bahwa pluralitas agama-agama di Indonesia hendaknya dipandang perlu bagi usaha memelihara tolerasnsi beragama serta menjamin hak-hak yang sama bagi pemeluk tiap-tiap agama. Ia mengatakan bahwa pemahaman yang lebih baik bagi isu toleransi beragama haruslah didekati dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang teologis dan sudut pandang sosial. Orang-orang Kristen hendaknya mewujudkan toleransi beragama tanpa menjadi korban relativisme, skeptisisme, dan sinkretisme.[6]

2.3. Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Kristen
Konflik agama di Indonesia khusuSnya sudah berakar pada masa penjajahan, hingga kini. Namun, Indonesia mempunyai dasar negara yang sebenarnya bisa menjadi dasar hidup bersama agama-agama yang berbeda. Karena itu, Pancasila menjadi dasar toleransi agama. Toleransi ialah bukan hanya pengakuan suatu komunitas mengenai keberadaan agama yang pluralitas, melainkan juga meyakini agama yang pluralitas dapat memperkaya satu dengan yang lainnya. Berkenaan dengan peranan agama Kristen dalam mewujudkan toleransi agama, maka kelompok Oikumenikal adalah kelompok yang lebih berani karena lebih terbuka karena melihat wadah tersebut sebagai satu-satunya alternatif yang diharapkan, sedangkan kelompok Injili masih dipenuhi dengan rasa takut. Dialog merupakan andalan kelompok Oikumenikal untuk mewujudkan toleransi umat beragama yang sejati. Misi ditampilkan dalam wajah yang baru yaitu misi penyelamatan manusia dari dehumanisasi dan misi dengan orang-orang yang tidak seiman adalah misi persekutuan bersama dan pencarian kebenaran bersama melalui dialog. [7]
Dalam perspektif Kristen, etika toleransi adalah etika yang bersumberkan pada prinsip-prinsip kebenaran Kristen atau teologi Kristen. Toleransi adalah jalan keluar dari konflik agama yang mempunyai dasar yang kuat dalam Alkitab. Perjanjian Lama mengajarkan kepada umat Israel mengenai sikap mengasihi orang yang berbeda asal-usul, berbeda kepercayaan dengan mereka. Dalam ulangan 10:18-19, Allah menuntut umat-Nya untuk mengasihi orang asing, yaitu mereka yang berasal bukan dari antara mereka, yaitu mereka yang telah berimigrasi dan hidup di antara orang Israel. Allah melarang umat-Nya menindas orang asing, sebaliknya Allah menghendaki umat mengasihi mereka (Mzm. 146:9, Im. 19:33-34). Allah telah menyatakan diri-Nya karena Allah sendiri yang berinisiatif memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Karena itu, Allah menyatakan diri, berarti Allah membatasi diri-Nya, supaya dikenal oleh manusia yang terbatas. Ia masuk dalam dimensi ruang dan waktu, dimensi yang terbatas. Penyataan diri Allah kepada manusia merupakan tindakan toleransi Allah atas manusia ciptaan-Nya. Tindakan ini mengungkapkan kerelaan Allah membatasi diri-Nya demi membangun komunikasi dengan umat-Nya. Hal ini menjadi dasar dari konsep toleransi Kristen, yaitu membatasi diri demi berkomunikasi dengan sesama umat yang tidak seiman misalnya. Berinisiatif aktif untuk mengambil gagasan untuk berkomunikasi. Belajar dari tindakan Allah menyatakan diri, maka dalam upaya membangun toleransi dengan sesama umat manusia yang tidak seiman, orang Kristen, tidak boleh mengkomprimikan jati diri kekristenan yang berakar pada kebenaran-kebenaran esensial dari Alkitab.
Semua ciptaan Allah berhak menikmati hidup dari sesama ciptaan Allah yang lain. Secara khusus, semua ciptaan Allah yang lain, adalah diciptakan oleh Allah demi melayani kebutuhan manusia (Kej. 1:28). Pencipta memanggil manusia untuk hidup saling melayani dengan sesama manusia, tanpa melihat latar belakang apapun, termasuk perbedaan latar belakang agama. Konsep penciptaan seperti ini, merupakan dasar sikap toleransi orang Kristen bagi sesama yang beragama lain. Toleransi terhadap sesama beragama lain, merupakan panggilan Allah kepada semua umat ciptaan-Nya. Panggilan ini secara khusus merupakan panggilan Allah kepada semua orang Kristen di dalam membangun sikap toleransi hidup kepada sesama manusia yang tidak seiman. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah yang layak diperlakukan dengan kehormatan yang sama karena mereka mempunyai martabat yang inheren sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah.[8]
Inkarnasi Allah dalam pribadi Yesus Kristus merupakan pelajaran yang sangat mendasar mengenai sikap toleransi, di mana Pribadi Kedua Allah Tritunggal menjadi manusia dan tinggal bersama manusia (mentoleransi manusia), namun Ia tidak kehilangan identitas-Nya sebagai Allah. Ia tetap Allah sejati. Dalam kemanusian-Nya, Ia tidak menyangkal diri-Nya dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan diri-Nya dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Ia tidak mentolerir dosa manusia, Ia tidak berdosa, namun Ia tetap hidup di antara manusia berdosa. Inilah prinsip dasar Kristen mengenai toleransi Kristen.[9]
Demikian dengan juga Perjanjian Baru, Tuhan Yesus memberikan amanat kasih, yaitu mengasihi sesama manusia, yaitu mengasihi sesama manusia, bukan sesama orang percaya saja (mat. 22:37-39). Dalam pengajaran Tuhan Yesus, Ia juga memberikan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati yang mengasihi orang tanpa melihat latar belakang etnis dan agama yang dianut (Luk. 10:29-37). Lebih jauh lagi, Yesus menganjurkan kepada pengikut-Nya untuk mengasihi musuh. Dengan kata lain, sekalipun orang lain memusuhi orang yang percaya, baik mereka yang tidak seiman atau tidak seiman, Dia tetap mengharapkan orang yang percaya mengasihi (Mat. 5:43-44). Dari uraian tersebut, maka pemahaman iman Kristen, sangat mendukung konsep toleransi antar umat beragama.

2.4. Kerukunan Antarumat Beragama
Kerukunan antarumat beragama merupakan sesuatu hal yang cukup sukar untuk diwujudnyatakan dalam kehidupan konkret. Walaupun demikian kerukunan merupakan satu-satunya pilihan. sebagai bangsa yang telah bertekad umtuk terus mempertahankan negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena kerukunan antarumat beragama adalah satu-satunya pilihan maka gereja-gereja beserta dengan seluruh warganya harus terus bertekad untuk mengusahakan, memelihara, dan mengembangkan kerukunan antarumat beragama di negara Indonesia. Kerukunan harus dilaksanakan dalam rangka dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, P4, UUD 1945, GBHN, Wawasan Nusantara, dan lain-lain. Dengan demikian kerukunan yang harus diusahakan adalah kerukunan yang tidak mengurangi atau membatasi melainkan memperkembangkan kebebasan beragama di tanah air Indonesia. Artinya harus dalam keseimbangan yang dinamis yaitu kebebasan tidak merusak kerukunan, dan kerukunan tidak mematikan kebebasan.
Kerukunan antarumat beragama serta kehidupan keagmaan yang makin semarak di bumi Pancasila ini akan mampu terwujud secara maksimal jika hal-hal ini dapat dikembangkan:
  1. Pengembangan sikap kekeluargaan, respek, dan objektif
Bangsa Indonesia adalah suatu keluarga besar dengan keberbagaian latar belakang yang ada. kita masing-masing melihat, memahami serta memperlakukan saudara sebangsa sebagai anggota keluarga walaupun secara realistik berbeda. Cara pandang seperti ini tidak saja membuat persatuan dan kesatuan semakin kokoh tetapi juga menjadi menghargai  dan menhormati saudara sebangsa.
  1. Pemantapan wawasan spiritual, wawasan kebangsaan.
Wawasan spiritual bangsa kita harus diperdalam sehingga dapat mengungkapkan keberagamaan secara mantap dan dewasa. wawasan keagamaan  yang luas dan dalam akan menghindarkan seseorang jatuh kedalam fanatisme keagamaan yang sempit. Pengembangan wawasan kebangsaan juga perlu dikokohkan sehingga mampu melihat keberbagaian yang ada dalam konfigurasi keindonesiaan kita sebagai  sesuatu yang positif.
  1. Media masa sebagai sarana pembinaan umat.
Media masa harus memacu  warga masyarakat untuk mengembangkan sikap keberagamaan yang dewasa dan memacu untuk mereka untuk mengaktualisikan nilai-nilai agama mereka  dalam semangat kepedulian sosial yang tinggi.[10]
Kerukunan antar umat beragama dipahami sebagai pencerminan dan perwujudan kasih setia Allah dalam Yesus Kristus dalam persekutuan dengan Roh-Nya yang kudus. Persekutuan itu terwujud dalam/ melalui gereja, yaitu mereka yang dipanggil keluar dan diutus oleh Yesus Kristus untuk bersaksi tentang nama-Nya sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8).[11] Kerukunan tersebut berisikan semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang menghargai perbedaan tanpa pemisahan. Kerukunan yang benar dan baik adalah kerukunan yang pada satu pihak tidak menisbikan perbedaan-perbedaan yang ada, misalnya dengan mencoba meleburkan atau mencampuradukkan keyakinan agama-agama.[12]

2.5. Dialog Agama Dalam Perspektif Kristen
Satu perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan gereja-gereja yang paling ditentang oleh para penganut fundamentalisme Kristen adalah makin terbukanya gereja-gereja pada realitas kemajemukan agama dan budaya di tanah air dan di dunia ini. Keterbukaan ini nampak dalam cukup banyak dialog dan kerjasama dengan umat beragama lain yang diadakan dan diprakarsai gereja-gereja. Panggilan yang datang dari Allah yakni memberitakan dan meneruskan keyakinan kita yang unik itu, bukan hak yang melekat pada diri kita. Dialog dan kerjasama denga agama lain yang banyak dilakukan oleh gereja tidaklah meniadakan panggilan ini, tetapi meniadakan cara-cara reaktif, militant yang menafasi gerakan-gerakan keagamaan Kristen yang fundamentalistik. Lagi pula, iklim kebudayaan kita yang menjunjung tinggi perikehidupan komunal, kegotongroyongan dan keserasian, yang berbeda dengan kehidupan yang individualistik dan diwarnai dengan konflik-konflik tidak dapat menerima cara-cara yang reaktif dan militan itu.[13]
Dialog umat beragama adalah dialog teologis yang berdasar pada imannya masing-masing. Dialog beranjak dari pemahaman religius masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dialog yang dilakukan dengan menghilangkan keyakinannya, pada dasarnya bukan dialog agama karena akan ada ketimpangan dalam interaksi dengan umat yang lain yang mendasarkan pada keyakinannya. Dialog yang dimaksud di sini bukan saja dialog agama, tetapi lebih kepada dialog antar umat beragama. Ketika umat yang berdialog telah kehilangan jati dirinya, tidak ada makna dari diaolog tersebut. Orang yang berdialog adalah orang yang mengetahui apa yang ia dialogkan, sehingga dialog agama mensyaratkan adanya umat yang benar-benar beriman, yang bertemu dalam konteks riil, yakni dunia.[14]
Dialog bukan hanya sekedar sebuah percakapan, melainkan sebuah gaya hidup yang terbuka dan kesediaan menerima kehadiran sesama yang berbeda. Keterbukaan sikap itu juga mengandung makna keterbukaan untuk belajar dari kekayaan rohani sesama yang berbeda agama. Dalam dan melalui dialog, orang belajar untuk tidak selalu harus sama tetapi juga belajar untuk menerima kenyataan bahwa dalam banyak hal bisa berbeda. Menerima dan hidup dalam perbedaan berarti juga menerima dan mengakui bahwa di dalam agama-agama lain terdapat hal-hal yang unik.
Dialog sebagai gaya hidup dalam masyarakat yang pluralistic bukanlah basa-basi atau sekedar tata krama sosial, melainkan sikap iman yang timbul dari kesadaran dan pengakuan bahwa Allah mengasihi dan akan terus mengasihi semua orang. Sebab panggilan dari semua agama adalah mewujudkan kasih Allah. Inilah hakikat agama dan sekaligus menjadi makna beragama. Kasih dan keprihatinan Allah akan senasib dan masa depan kehidupan umat manusia inilah yang mempertemukan agama-agama. Dialog antar agama terwujud dalam upaya bersama mewujudkan kasih Allah, dalam upaya bersama memerangi sesuatu yang menjadi musuh kemanusiaan.[15]
Alkitab tidak pernah mengajarkan atau mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab juga menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Dialog akan membuka perspektif baru dalam menjalankan komitmen dalam keagamaan. Kepercayaan kita kepada Allah kiranya melahirkan beberapa sikap seperti:
1)      Setiap umat beragama mengakui dengan rendah hati bahwa pluralitas masyarakat termasuk pluralitas agama merupakan karunia Tuhan sehingga perlu dikembangkan semaksimal mungkin melalui dialog.
2)      Jikalau agama-agama ingin tetap berperan di dalam memberi arah terhadap pembangunan bangsa, maka dialog adalah cara yang tepat untuk menggalang potensi, karena jika tidak ada dialog maka kehidupan akan semakin terfragmentasi dan pada gilirannya akan diabaikan oleh masyarakat.
3)      Perlunya diupayakan dialog bagi semua umat, termasuk pemuda sebagai potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih dinamis dan terbuka.
4)      Dialog kiranya bukan hanya sebagai sarana untuk saling mengenal antar agama, melainkan membuat masing-masing agama semakin mengenal jati diri dan identitasnya masing-masing.[16]

2.6. Pancasila: Teologi Religionum yang Kontekstual
Darius Dubut mengatakan bahwa pancasila ibarat rumah bersama yang dihuni oleh orang-orang yang bersaudara. Persoalan sekarang adalah bagaimana pada penghuni rumah itu mengisi dan menata kehidupan bersama dan menjadi sebuah rumah yang bukan hanya indah, namun juga nyaman dan sebab itu menyenangkan untuk dihuni. Dalam rumah bersama itu harus ada ketentuan untuk mengatur dan membatasi apa yang “benar” dan apa yang “salah”, apa yang “pantas” dan yang “tidak pantas” dilakukan oleh semua penghuninya. Hal ini mesti diupayakan oleh semua penghuni rumah itu secara bersama-sama dan bukannya sebagai penguasa.[17] Pancasila bukanlah kesepakatan bersama atau consensus nilai-nilai itu sendiri, tetapi asas atau dasar yang di atasnya semua kelompok di dalam masyarakat Indonesia melalui proses dialog yang terus-menerus dimungkinkan untuk mencapai kesepakatan demi kesepakatan dalam mengatasi masalah bersama.[18]
Sila I dari Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 mengandung makna bahwa negara mengakui eksistensi agama-agama. Itu juga berarti bahwa negara mengakui realita kemajemukan agama yang ada. Sebab tidak ada satupun agama yang mempunyai kedudukan lebih ataupun kurang.[19] Sebab itu, tidak boleh pula ada agama yang diistimewakan atau merasa dirinya istimewa, meskipun dianut oleh sebagian besar masyarakat dan tidak boleh ada agama yang dianaktirikan atau merasa sebagai anak tiri karena ia dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Pancasila itu bukan negara-agama tetapi juga bukan negara sekular. Itu berarti bahwa negara Pancasila itu tidak mengenal pemisahan mutlak antara negara dan agama.
Olaf Schumann mengatakan bahwa rumusan Pancasila tidak mempunyai teologi sendiri namun mengundang tafsiran menurut setiap agama dan membuat teologianya sendiri di bawah atap yang disediakan oleh negara.[20] Dan Eka Darmaputera mengatakan bahwa Pancasila merupakan alternatif terbaik bagi kesatuan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Pancasila itu tidak sempurna. Pancasila menjadi alternatif terbaik karena, masyarakat kita adalah masyarakat majemuk. Tanpa Pancasila maka tidak akan ada kesatuan, tanpa Pancasila tidak akan ada Bhineka Tunggal Ika. Tanpa Pancasila, kita akan hidup dalam perpecahan atau paling sedikit ketegangan antar-suku terus-menerus. Dan karena kita ingin menjadi bangsa yang maju pada satu sisi dan pada sisi yang lain kita ingin menjadi bangsa yang tetap mempunyai kepribdian, karena dalam Pancasila kita menemukan identitas nasional dan melalui pengalamannya kita mencapai modernitas kita. Tanpa Pancasila, kita akan tetap menjadi negara yang maju, akan tetapi tidak berkepribadian, atau berkepribadian tapi terbelakang. Jadi Pancasila seharusnya mendapat posisi yang sangat center, agar tercipta kerukunan dan persatuan di negara Pancasila ini. Dari Pancasila ini dapat kita pahami bahwa panggilan Kristen tidak hanya sebatas evanglisasi tapi juga menghadirkan Shalom dan kerajaan Allah di tengah kemajemukan yang ada di Indonesia ini, karena evanglisasi bukan tugas satu-satunya bagi kekristenan.[21]

2.7. Tantangan Dalam Membangun Teologia Agama-agama Di Indonesia
Dalam Konteks yang pluralis masa sekarang, pemahaman diri sebagai “anak tunggal” diperhadapkan dengan agama-agama lain yang juga punya kesadaran yang sama. Dampak dari perjumpaan semacam ini adalah timbulnya “plural shock” atau “cognitive dissonance”, yaitu suatu kebingungan yang mendekati kekacauan yang terjadi dalam diri penganutnya. Itu disebabkan karena para pemeluk agama dipaksa untuk menghadapi kontradiksi dalam dirinya. Apa yang semula diyakini sebagai sungguh benar dan taken for granted, kini diperhadapkan dengan sikap yang sama dalam agama yang berbeda. Ternyata umat beragama lain juga memiliki kepercayaan, klaim, dan  keyakinan yang utuh. Dengan demikian, agama-agama diperhadapkan dengan krisis. Menghadapi krisis ini, agama-agama dituntut untuk mengembangkan teologi agama-agamanya masing-masing. Adapun hambatan dalam membangun teologi agama-agama di Indonesia antara lain:[22]
Hambatan Teologis. Dari kubu Kristen, aspek teologis ini disebabkan oleh warisan teologi yang diturunkan oleh para penginjil (zendeling), dan perkembangan teologi revival dan fundamentalisme di negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat). Jenis  teologi yang beroerientasi pada pertumbuhan atau perbanyakan gereja dan pertobatan jiwa-jiwa itu memperoleh tempat “yang terhormat” (plantatio ecclesiae). Warisan teologi yang ditinggalkan  para zendeling, karena bercorak dogmatis mempersulit teologi agama-agama ini karena ia menganggap dunia luat sebagai “dunia kafir” yang harus ditobatkan. Jadi, agama Kristen oleh teologi Barat itu diakui sebagai satu-satunya agama yang benar. Hal ini didukung oleh pemahaman yang biblistis yang menerapkan ayat-ayat Alkitab secara eksklusif. Yohanes 14:6 dipahami sebagai ayat yang mengharuskan untuk melakukan pertobatan dunia. Demikian juga Matius 18:19, menjadi landasan utama untuk mengkristenkan orang lain dan memasukkannya ke dalam dunia Kristen. Itu berarti, mereka harus diselamatkan dengan jalan dimasukkan ke dalam kelompok Kristen (proselitisme).
Kekristenan di Indonesia menjadi kurang mampu melihat hubungan agama-agama sebagai keharusan dalam mengembangkan teologi agama-agama sambil bersama-sama umat yang lain mengolah persoalan sosial-politik demi mencari daya-daya pembebasan. Ekskluvitas gereja dalam proses berteologi tersebut melegitimasi upaya kerukunan yang bersifat politis semata, tanpa pendasaran teologis apapun. Hubungan antar agama menjadi sesuatu yang sangat formal, karena gereja merasa bahwa kebutuhan untuk itu hanya terbatas pada kebutuhan sosial dan bukan keharusan teologis.[23]
Pada pihak lain, berpengaruhnya teologi revivalisme yang berorientasi pada pertambahan atau perbanyakan pertobatan jiwa menjadi populer dewasa ini. Mereka mempergunakan ayat-ayat yang parsial. Ayat-ayat itu dipahami secara mentah dan dianggap sebagai ‘ayat suci’ yang dapat dijejalkan kepada orang lain. Akibatnya, muncul suatu kehidupan rohani yang dangkal, tidak utuh, anti-dialog, dan serba instant, yang sebenarnya pasti gagal dan mandul dalam menghadapi kompleksitas dunia modern kita yang memang niscaya sekuler ini. Oleh karena itu, bagi kaum fundamentalis agama-agama lain tidak mempunyai harga. Dalam hal ini konteks sosial bersama juga tidak diberi nilai teologis dan etis.[24]
Hambatan Non-Teologis. Secara historis, penjajahan Belanda sering kali menjadi beban sejarah yang mewarnai hubungan Islam dan Kristen yang mendominasi ketegangan di Indonesia, karena Belanda selalu diidentikkan dengan Kristen. Oleh karena itu, hubungan Islam-Kristen seringkali digambarkan sebagai hubungan yang terjajah dengan yang dijajah. Beban sejarah ini sangat mewarnai pemikiran politis para tokoh pendiri Republik ini. Terlebih lagi, di masa “politik etis”, sumbangan dari pemerintah Belanda pada pendidikan dan kesehatan yang diselenggarakan lembaga-lembaga Kristen, menunjukkan angka tertinggi. Begitu juga halnya sumbangan pemerintah penjajah Belanda kepada lembaga Kristen (gereja). Hal ini tentu saja menimbulkan “sakit hati” bagi para pemimpin Islam, sehingga setiap kali ada kesempatan untuk menjalin hubungan dengan kekuasaan, kesempatan itu akan dipakai untuk melampiaskan sakit hati itu.
Di awal kemerdekaan, dalam proses perumusan dasar negara pun terjadi polarisasi pemikiran politik, antara yang “nasional sekuler” dan yang “Islami”. Aspirasi Kristen bersikap keras mendukung pemikiran nasional sekuler, sehingga selalu berseberangan dengan aspirasi politik yang islami. Hal ini sangat mempengaruhi hubungan kedua agama ini. Kenyataan di awal kemerdekaan yang menghilangkan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila (Jakarta Charter), serta satu kata dalam persyaratan bagi Presiden dalam batang tubuh UUD 1945, itu oleh aspiran politik Islam dianggap sebagai kekalahan. Sementara itu, bagi sebagian umat Kristen, hal ini dianggap sebagai keberhasilan.
Perasaan kalah dan menang secara politis terus berlanjut dan mempengaruhi hubungan antar agama, bahkan menimbulkan ketegangan di mana-mana. Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, bagi sebagian orang menjadi alasan politik untuk menjadikannya sebagai agama negara. Namun demikian, sisi lain dari sikap seperti itu adalah tidak diperlukannya agama lain sebagai mitra dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari segi Islam,[25] perasaan bahwa jumlah penganut yang cukup besar dianggap memiliki arti yang cukup besar dalam pengambilan keputusan negara, adalah perasaan yang timbul di kalangan “islam politik”, misalnya dengan klaim bahwa Islam adalah faktor konstituen dalam setiap ihwal negara dan keputusan yang diambilnya. Pada pihak lain, Kristen muncul signifikan akhir-akhir ini. Perasaan gamang ini seolah-olah teratasi dengan menghibur diri dalam kompensasi, bahwa mereka unggul dalam aspek ekonomi dan pendidikan.[26]

  1. Kesimpulan
Pluralisme tidak bisa dipungkiri memang merupakan kenyataan yang ada. Dalam konteks yang pluralis tersebut setiap agama dituntut membangun teologi agama-agamanya masing terlebih dalam hal ini teologi agama-agama di Indonesia secara lebih kurang menurut pemahaman kekristenan. Indonesia adalah bumi dimana gereja kita berada dan selayaknya kita membangun teologi agama-agama yang konkret dan  relevan dengan keadaannya. Maka beberapa hal yang bisa dipaparkan di sini adalah tanggungjawab gereja dalam hal mewujudkan  toleransi, membina kerukunan dan mengadakan dialog dan kerjasama dengan agama-agama lain sebagai refleksi teologia kita terhadap pluralisme yang ada di Indonesia.

  1. Daftar Pustaka
Achmad, Nur (ed), Pluralitas Agama. Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001
Darmaputera, Eka, Pancasila Identitas dan Moderenitas, Jakarta: BPK-GM, 1987
Darmaputera, Eka, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2005
Darmaputera, Eka, Pergumulan dan Peran Gereja Dalam Masyarakat dan Negara Pancasila, dalam J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin (peny.), Tegar Mekar di Bumi Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 1990
Dubut, Darius, Agama-agama Dalam Masyarakat Bangsa Indonesia Yang Majemuk, dalam,  Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 1999
Dubut Darius, Cara Beragama Dalam Masyarakat Majemuk, dalam Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Jakarta: BPK-GM, 2002
Effendi, Djohan, Pluralitas Keagamaan Di Indonesia, dalam, Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 1999
Lumintang, Stevri I., Teologia Abu-Abu, Malang: Gandum Mas, 2004
Nainggolan, Binsar, Pandangan Kritis Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia, dalam N.M. Simanjuntak, dkk (Peny), Kritis Berpikir Santun Berkarya, Bunga Rampai Ucapan Syukur 50 Tahun Pdt. Midian Sirait, M.Th, HKBP Distrik X Medan-Aceh
Qadir Djaelani, Abdul, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Media Da’wah, 1994
Saragih, John Renis, Masa Depan Agama-agama Dalam Dialog, dalam Jurnal Teologi Tabernakel (edisi XV Pluralisme), Medan: STT Abdi Sabda, 2006
Sinaga, Martin L., Meretas Jalan Teologi Agama-agama Di Indonesia, dalam,  Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007
  Sitompul, Einar, Gereja Menyikapi Perubahan, Jakarta: BPK-GM, 2004
SP, Soetarman, dkk, Fundamentalisme Agama-agama dan Teknologi, Jakarta: BPK-GM, 1996
Sumartana, Th., Theologia Religionum, dalam Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007
Yewangoe, A.A., “Kerukunan Umat Beragama Sebagai Tantangan dan Persoalan: Menyimak Bingkai Teologi Kerukunan Departemen Agama RI”, dalam Tim Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003
Yewangoe, A.A., Agama dan Kerukunan, Jakarta; BPK-GM, 2002


[1] Th. Sumartana, Theologia Religionum, dalam Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm. 18
[2] Ibid, hlm. 19-34
[3] Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm. 125
[4] Bangsa Indonesia mempunyai kemajemukan masyarakat yang komplek, yakni majemuk dalam bidang adat dan budaya, majemuk dalam bidang pola pikir (pandangan hidup), majemuk kesukuan, dan majemuk dalam bidang keberagamaan. Belum lagi ditambah dengan letak geografisnya yang saling berjauhan yang tidak disatukan dalam satu wilayah, sebab negara Indonesia terdiri dawri beribu-ribu pulau (± 13.000 pulau besar dan kecil) yang tersebar di Nusantara ini. Penduduk Indonesia mengandung 350 suku bangsa dan lebih dari 67 bahasa daerah. Sejumlah etnis seperti Melayu, Cina, Arab, India, dan Negrito berkumpul dalam pagar kesatuan politik Republik Indonesia (RI). Indonesia juga mengandung keanekaragaman agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu. Jenis kepercayaan yang lain seperti Kong Hu Cu, Kejawen, dan kepercayaan masyarakat-masyarakat terasing seperti Badui, Tengger, Samin, Dayak, dan sejumlah suku di Kepulauan Papua. Lih. Hendardi, Keanekaragaman Dan Keindonesiaan, dalam, Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama. Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 95
[5] Dalam konteks Indonesia, secara sosiologis-antropologis pluralisme dan etnis adalah fakta yang harus kita terima. Dari berbagai studi kesejarahan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis. Agama dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah memainkan peranan yang sangat penting.  Djohan Effendi, Pluralitas Keagamaan Di Indonesia, dalam, Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 456
[6] Binsar Nainggolan, Pandangan Kritis Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia, dalam N.M. Simanjuntak, dkk (Peny), Kritis Berpikir Santun Berkarya, Bunga Rampai Ucapan Syukur 50 Tahun Pdt. Midian Sirait, M.Th, HKBP Distrik X Medan-Aceh
[7]  Stevri I. Lumintang, Teologia Abu-Abu,Malang: Gandum Mas, 2004, hlm. 274-275, Th. Sumartana menyatakan pencarian kebenaran adalah aspek kritis-profetis yang tersimpan dalam perbendaharaan agama tersebut.
[8] Ibid, hlm 281-282
[9] Ibid, hlm.  283
[10] Soetarman SP, dkk, Fundamentalisme Agama-agama dan Teknologi, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 59-63
[11] Pengertian gereja sebagai ecclesia harus dihubungkan dengan pengertian gereja sebagai Tubuh Kristus (Rm. 12:4-8; I Kor. 12:12-31), yang berarti pula berada untuk membagi hidup dan saling peduli dengan orang lain. Hal ini  dilakukan bukan dengan cara agresif dan konfrontatif, tetapi komunikatif dan persuasive. Maka hubungan dialogis merupakan jalan terbaik untuk melaksanakan kesaksian. Dialog berarti percakapan di antara orang yang berkeluarga. Di sini identitas kekristenan tidak boleh dikaburkan, karena justru dengan kesadaran diri bahwa orang itu Kristen, terdapat kemampuan untuk mengasihi Allah dan sesama atau tetangga (Mat. 22:37-40). A.A. Yewangoe, “Kerukunan Umat Beragama Sebagai Tantangan dan Persoalan: Menyimak Bingkai Teologi Kerukunan Departemen Agama RI”, dalam Tim Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 64
[12] Teologi Kristen menolak pengidentikan Allah dengan agama, yang berarti pula menolak pemutlakan agama dan sekaligus berarti penisbian Allah. Allah selalu lebih besar dari apa yang ditangkap dan dipahami agama apapun. Implikasinya adalah kita tidak boleh menutup pintu bagi sesama kita yang beragama lain. A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, Jakarta; BPK-GM, 2002, hlm. 50
[13] Ioanes Rakmat membuat suatu ilustrasi menarik yaitu seperti ayah ibu kita tidak menghendaki kita berkelahi dengan anak-anak tetangga, maka Allah sebagai Bapa atau Orangtua kita pasti tidak menghendaki kita berkelahi dengan umat beragama lain tetangga kita yang juga dijagai dan dipelihara-Nya. Cahaya matahari Allah, buktinya, mengeringkan pakaian kita dan juga pakaian tetangga kita yang berlainan iman dengan kita. Tidak pernah cahaya matahari itu memilih-milih, rumah mana yang akan disinarinya.
[14] John Renis Saragih, Masa Depan Agama-agama Dalam Dialog, dalam Jurnal Teologi Tabernakel (edisi XV Pluralisme), Medan: STT Abdi Sabda, 2006, hlm. 38
[15] Darius Dubut, Cara Beragama Dalam Masyarakat Majemuk, dalam Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 108-109. Kalau inilah yang menjadi panggilan semua agama, baik misi Kristen maupun dakwah Islam terwujud dalam dialog. Misi dan dakwah dipahami sebagai upaya bersama orang Kristen dan muslim, bahkan semua umat Tuhan untuk mewujudkan kasih Allah di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu misi dan dakwah tidak pernah dipahami sebagai upaya proselitisasi. Sebab proselitisasi adalah pengkhianatan dari makna sebenarnya dari misi dan dakwah.
[16]  Einar Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm. 13
[17] Hal ini mengacu pada pendapat Eka Darmaputera, yang menegaskan bahwa saripati Pancasila itu adalah kesatuan, keseimbangan dan keserasian dan upaya untuk mewujudkannya haruslah memakai pendekatan yang “bukan-ini-bukan-itu”. Lih. Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Moderenitas, Jakarta: BPK-GM, 1987, hlm. 133-134
[18] Darius Dubut, Agama-agama Dalam Masyarakat Bangsa Indonesia Yang Majemuk, dalam,  Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 345
[19] Bnd. Eka Darmaputera, Pergumulan dan Peran Gereja Dalam Masyarakat dan Negara Pancasila, dalam J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin (peny.), Tegar Mekar di Bumi Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm.310
[20] Olaf Schumann, Kehidupan Bersama Umat Kristiani Dan Umat Muslim di Indonesia Pada Masa Depan, dalam,  Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm. 82
[21] Eka Darmaputera, Op.Cit, hlm. 280-282
[22] Martin L. Sinaga, Meretas Jalan Teologi Agama-agama Di Indonesia, dalam,  Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm. 5-7
[23] Mereka cenderung bersikap eksklusif yang menyebabkan sikap apolegetis (offensive), dan sikap polemis yang berusaha menciptakan “senjata” untuk mengalahkan para penganut agama lain, dan sikap persaingan (religious competition), baik dalam bentuk tertutup, seperti menyusun strategi untuk saling mengalahkan, saling berebut posisi untuk menguasai, saling mencari kelemahan dan kesalahan, maupun dalam bentuk terbuka. Persaingan tertutup sangat gampang meletus menjadi persaingan terbuka dengan kekarasan agama. Lih. Stevri I. Lumintang, Op.Cit, hlm. 269
[24] Ibid, hlm. 6-7
[25]  Seruan-seruan yang dengan terang-terangan menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara Islam sering terdengar, sekalipun belum terwujud. Seruan ini, dilatarbelakangi oleh klaim kelompok Islam yang menyatakan bahwa mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah Islam. Mereka masih memegang angka statistic, yakni 86,9 % penduduk Indonesia adalah beragama Islam, padahal data statistik ini adalah data yang tidak berubah sejak tahun 1985. Klaim mayoritas ini pun tampak dalam susunan cabinet para menteri dari periode ke periode, dari pergantian kabinet ke pergantian kabinet. Selain itu, kaum muslimin meminta hak khusus, dengan pertimbangan jumlah mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum muslimin. Hak khusus tersebut diantaranya adalah berkenaan dengan posisi kekuasaan. Lih. Abdul Qadir Djaelani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Media Da’wah, 1994, hlm. 113
[26] Ibid, hlm. 7-9