Cari Blog Ini

Minggu, 08 Januari 2012

Sejarah Bait Allah , Makna, Serta Perlengkapannya




1.      Pendahuluan
Peribadatan Israel tidak terlepas dengan tempat-tempat yang dikhususkan salah satunya adalah Bait Allah  yang diawali dengan Kemah Suci. Dan Bait Allah  sering disebut sebagai pusat peribadahan ataupun pusat kultus bangsa Israel terhadap Allah . Dan tentu saja Perjanjian Lama sama sekali tidak terlepas dengan peranan Bait Allah  bagi bangsa Israel. Oleh karena hal tersebut maka kali ini akan dibahas mengenai Bait Suci ataupun Bait Allah  dan perlengkapannya.

2.      Pembahasan
2.1.       Etimologi Judul
2.1.1.      Pengertian Bait Suci Dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, etimologi kata yang menunjuk kepada bait disebut  tyIB'ê (bayith) berasal dari akar kata בת (beth) yang berarti rumah, tempat tinggal, gudang, benteng, istana, penginapan, tempat beribadah, dan keluarga.[1] Dalam tradisi Israel kekeluargaan yang rukun dan damai ditentukan oleh hubungan yang baik antara orangtua dan anak. Di dalam rumah tercipta suatu dinamika keluarga yang harmonis. Orangtua berperan mengajarkan tentang hukum Taurat kepada anak-anaknya di rumah. Selain itu, rumah juga berperan sebagai tempat berlindung, berteduh, istrahat, penampungan keluarga dan tempat pendidikan (Kej. 19:8; 43:16-17; Ul. 6:4-9; Yos. 2:18; Yer. 29:5; Kis. 5:42). Demikian halnya yang terjadi dalam rumah Tuhan, di mana di dalamnya semua umat Allah  diperlakukan sebagai keluarga kerajaan surga dan tidak ada diskriminasi karena semua sama di hadapan Bapa, yaitu Allah . Bait dalam bahasa Semitis merupakan kata yang sangat umum dan lazim digunakan. Karena pemakaian kata בית (bayith) bagi orang Israel sangat beraneka-ragam dan bervariasi, hal ini menunjukkan sesuatu keadaan yang tidak mungkin dapat dipahami tanpa kita menelusuri persamaan makna dengan yang lain.[2] Sinonim dari bait adalah אהל (‘ohel) yang artinya “kemah”, lebih dari sebuah rumah yang dapat dipindah-pindahkan.[3] Seringkali אהל (ohel) diterjemahkan dengan rumah, tempat tinggal, dan keluarga. Hal ini berarti בית (bayith) pada-mulanya mempunyai arti lain daripada rumah. Bagi orang-orang Mesir rumah disebut dengan istilah pr. Rumah dalam pemahaman ini mengandung arti bukan hanya sebuah gedung/bangunan, tetapi juga bagian dari rumah atau (ibarat) sebuah kotak. Rumah yang bertingkat dan mewah, pr berarti istana raja atau rumah besar dan kuil/tempat suci.[4] Dari pemahaman inilah kita dihantar kepada pemahaman rumah Tuhan.
            Dalam teks-teks Ugarit kata בת (beth) diterjemahkan dengan cara yang berbeda, misalnya: Bait Allah disebut בית־יהוה (bayith - YHWH), rumah Allah  disebutבתאל  (beth-El), rumah atau istana seorang raja disebut בת־המּלך (beth-hammelekh), dan juga bisa berarti kandang, rumah, dinasti dan kerajaan.[5] Istilah בית (bayith) tidak hanya menunjuk kepada Bait Allah (2Sam. 7:5, 13; Za. 1:16), tetapi juga menunjuk kepada kuil para dewa/dewi (1Raj. 16:32). Oleh karena itu, “rumah Tuhan” adalah tempat istana Tuhan dan pusat ibadat Israel.[6] Di samping kata בית (bayith) dan אהל (‘ohel), ada juga istilah חכל (khekal) yang menunjuk pada rumah Tuhan.[7] Bait Allah selain dijadikan sebagai tempat kudus bagi penyembahan kepada Allah , juga sebagai tempat pertemuan (kemah pertemuan dalam kisah keluaran).
Jadi, dapat dikatakan bahwa pemahaman tentang Bait Allah dalam tradisi Israel berkaitan erat dengan tempat khusus untuk beribadah kepada Tuhan. Karena pusat dari ibadat Israel terletak dalam tempat tinggal Tuhan yang mereka bangun/dirikan sesuai dengan permintaan–Nya. Bait Allah  dalam Perjanjian Lama identik dengan Kemah Suci (Tabernakel), Sinagoge, dan Bait Suci/Allah  di Yerusalem.[8] Dan beberapa hal yang sangat menonjol dalam pemahaman tentang Bait Allah adalah penekanan terhadap nilai kekudusan, pengajaran dan persekutuan kepada Tuhan. Jadi, Bait Allah adalah rumah persekutuan antara manusia dan Allah ; yang di dalamnya manusia memberikan persembahan kurban yang hidup dan berkenan kepada Tuhan.

2.1.2.       Pemahaman Bait Suci Dalam Perjanjian Baru
                Dalam Perjanjian Baru, istilah yang mengandung pengertian tentang rumah ialah οίκος (oikos) yang berarti sebuah rumah, tempat tinggal dengan menyebut secara khusus penghuninya, dan kampung halaman. Dari kata οίκος (oikos), maka muncullah kata οίκια (oikia), yang berarti sebuah rumah, tempat tinggal, seperti nyata dari penghuninya, dan semua harta milik yang diwariskan oleh seseorang yang telah meninggal dunia.[9] Warisan yang dimaksud adalah rumah, tanah, harta, dan keluarga.
            Penggunaan kata οίκος dalam bahasa Yunani umum dan Helenistis berarti rumah atau tempat tinggal. Tetapi kadang-kadang secara spesifik rumah itu menyatakan sebuah tempat ibadat, suatu rumah tempat menyimpan harta benda, istana, bahkan kuburan, dan kuil. Demikian halnya dalam naskah Papirus. Selain itu, οίκος dapat juga diartikan dalam kaitan urusan domestik (domestic affair), kekayaan (wealth), barang milik (possession), juga keluarga/ras (family) atau tanah milik keluarga (family property), sekelompok masyarakat, serta peti atau lemari (chest).[10] Selanjutnya, οίκος mengandung arti dan makna yang banyak, yakni: secara khusus Bait Allah (Tabernakel dan Bait Suci)[11] di mana Allah  hadir (Mat. 12:4; Mrk. 2:25; Luk. 6:4); kiasan terhadap orang-orang Kristen sebagai kediaman Roh Allah  (1Ptr. 2:5); dan dalam pengertian yang lebih luas sebagai tempat tinggal, penginapan, kota atau negeri (Mat. 23:38; Luk. 13:35).
            Di dalam Septuaginta (LXX), kata οίκος merupakan kata yang sering digunakan. Itulah sebabnya muncul kata Οίκος θεού (rumah Allah ), suatu istilah tertentu bagi tempat kudus (sanctuary) di dalam Septuaginta, yang digunakan untuk Bait Allah (Bayith Elohim) di dalam Kejadian 28:17 dan Betel (Kej. 28:19). Di dalam pengajaran Damaskus, adalah nyata sebuah kekhususan dari pemakaian “rumah, rumah Taurat, dan rumah permanen”. Hal ini semakin jelas hubungannya dengan pemahaman perkumpulan atau komunitas Perjanjian Baru sebagai “rumah Tuhan” (Ibr. 3:1-6).
Rumah Allah  (Οίκος τού θεού) dipakai dalam menghormati keduniawian tempat kudus  Israel. Namun, komunitas orang-orang Kristen itu sendiri disebut juga ναός[12] τού θεού atau οίκος  τού θεού  (1Tim. 3:15; Ibr. 3:6; 1Ptr. 4:17), dan οίκος Пνευματικός (1Ptr. 2:5).[13] Penyebutan Bait Allah dalam Perjanjian Baru tidak jauh berbeda dengan Perjanjian Lama, misalnya Kemah Suci (σκηνη),[14] Sinagoge (συναγωγή),[15] Bait Allah (ίερόν),[16] dan gereja (έκκλησία).[17] Tetapi keunikan dari Bait Allah pada zaman Perjanjian Baru ialah menyatakan secara tidak langsung bahwa Bait Allah yang sesungguhnya ialah di surga. Dan orang percaya atau gereja itu sendiri disebut sebagai rumah Tuhan. Inilah Bait Allah yang sesungguhnya di bumi (kiasan), di mana Roh Kudus tinggal di dalamnya (1Kor. 3:16). Sehingga dapat dikatakan bahwa rumah yang ditawarkan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya bukan hanya sekedar bangunan (buatan manusia), tetapi lebih pada tubuh manusia itu sebagai buatan tangan Allah . Bait Allah itu adalah rumah doa (bdk. Yes. 56:7; 60:7).
Bait Allah (Kemah Suci, Sinagoge, dan Bait Suci/Allah ) harus berperan sebagai rumah doa bagi siapa saja yang mengaku percaya kepada Tuhan. Demikian halnya dengan gereja sebagai rumah Tuhan, harus berfungsi sebagai rumah doa atau menjadi berkat bagi orang lain (Kej. 12:1-3). Umat Tuhan seharusnya tidak menjual dan membeli di rumah Tuhan, tetapi berdoa, sehingga “semua bangsa” akan beribadah di sana. Yesus bahkan menyebut Bait Allah sebagai “rumah Bapa-Nya” (Luk. 2:49). Jadi, Bait Allah dalam Perjanjian Baru sangat menekankan aspek rohani dan jasmani seperti tempat persekutuan, mukjizat penyembuhan, menaikkan doa dan pujian, hubungan, kebersamaan dan kekeluargaan di dalam Tuhan.

2.1.3.      Pengertian Suci (Kudus)
Kata suci sama halnya dengan kata kudus. Kekudusan dalam istilah Ibrani disebut qadosi dan qodesi (קדש) yang artinya terpisah (dikhususkan), terpotong dari, dilepaskan seseorang atau benda, dan dikususkan bagi Tuhan supaya Tuhan dapat memakainya. Ide ini diadopsi dari komentator klasik dalam Alkitab. Rupanya tafsiran kekudusan mempunyai sumber dalam sebuah keterangan perintah Alkitab midrasi. Dalam pengamatan Torah Kohanim pasal 11, pasal 168, 170, dikatakan bahwa “Saya kudus kamu juga harus kudus, saya terpisah kamu juga harus terpisah, saya dikhususkan kamu juga dikhususkan, ini sejajar dengan Im. 19:2”.[18]
            Kudus atau kekudusan dalam bentuk kata sifat yaitu  קָדַשּ atau קֹדֶש yang artinya suatu peralihan kepada fakta-fakta keagungan atau kekudusan. Kudus mengandung arti tentang lingkaran suci / keramat, terang dan terpisah dari hal yang kotor. Kekudusan sebagian besar melukiskan kesucian dari ritual orang Lewi. Dalam Kel. 29:21, anak Harun dan pakaian mereka dimaksutkan untuk yang kudus dan mereka mengakui tentang kesucian yang nyata. Dupa Korah juga dikatakan hormat dan kudus karena mereka telah mencurahkannya kepada Tuhan.[19]. Qodes merupakan suatu kualitas yang digunakan untuk Tuhan atau memuji Tuhan, contoh : hari yang kudus yaitu sabat (Yes. 58:13), kata ini terdapat 469 kali dalam PL. Qados menyangkut tentang pribadi yang kudus, pikiran, tempat, atau waktu yang diabdikan untuk Tuhan dan terdapat sebanyak 127 x dalam PL.[20] Qados ini juga mengacu kepada pribadi Tuhan (Kel.15:11) baik roh-Nya, nama-Nya, perbuatanNya (Yes. 52:10), jalan-Nya (Maz. 77:1), juga mengacu kepada manusia, Imam (Im. 21:6), objek persembahan (Kel. 29:33) dan persembahan (Kel. 28:38).[21] 
Kata qados memperoleh kata sifat qasdum yang menunjukkan rasa hormat untuk dan sebuah tempat yang murni / suci. Secara tidak langsung qados merupakan hal yang terbebas dari yang tidak bersih atau kotor. Qados dan qasdum mengarah kepada sebuah tempat yang menyinggung bagi keTuhanan, dan terbebas dari hal yang tidak dikehendaki oleh Allah . Dalam bahasa ibrani kata kudus (qodes dan qados) dipengaruhi oleh hal yang gaib dengan kata lain kata kudus tersebut bersifat abstrak.[22] Kata sifat dari kudus itu sendiri hanya dalam hubungan bidang keTuhanan (1 Sam. 6:20, Yes. 43:3, Hab. 1:12), manusia (Ul. 14:2, 26:19), keadilan dalam korban (Kel. 29:31, Im. 6:16, Ezek. 42:13).
Gelar hanya Israel yang kudus, ini menggambarkan supremasi Allah  yang melebihi kesetiaan dan juga kesempurnaan moral (Yes. 30:12). Hanya “Israel yang kudus” ini merupakan kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan Israel ketika Allah  memberikan peradilan dalam peperangan umatNya karena hanya Allah  yang kudus. Orang yang penuh dosa, kesalahan, memandang rendah terhadap Israel yang kudus (Yes. 1:4, 30:5), oleh karena itu Dia menegur ciptaanNya Israel yang kudus itu dan menebus Israel keluar dari tanah perbudakan.[23] Penghukuman begitu jauh dari umatNya, karena Ia menciptakan segala sesuatu sebelum penghukuman. Selanjutnya kata sifat tentang gelar “satu yang kudus”terdapat dalam Hos. 11:9, ini mempunyai kemiriban pesan dalam kitab Yesaya. Meskipun hanya Allah  yang kudus bukan berarti umatNya rusak atau setan. Sehingga bila umatNya bersalah secara nyata Allah  melakukan pembersihan untuk umatNya.
άγίός yang artinya kudus, yang ditahbiskan (kemah suci), bait suci, ruang suci atau ruang maha suci.[24]άγίός mempunyai konsep yang sama dengan qados, dan merupakan konsep kultus. Hal ini diindikasikan dengan kesucian / kesetiaan dan kekuatan untuk pendekatan kepada Ilahi. a[gio,j tidak digunakan untuk relasi manusia dalam hubungan kultus, tapi sejumblah besar peristiwa a[gio,j digunakan pada pribadi dan sangat penting dalam hubungan dengan Tuhan (Yoh. 17:11, 1 Pet. 1:15).[25]
a[gio,j mempunyai dasar pemikiran yang sama mengenai keterpisahan dan kesucian terhadap Allah . Kata maha kudus dalam Kis. 2:27 dan kata kudus dalam Why. 15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani hagios (di tempat lain diterjemahkan suci / saleh), yaitu hubungan yang benar dengan Allah , mungkin juga dalam pengertian kekasih.[26] άγίαςω yang artinya menguduskan, mengasingkan, septuaginta menterjemahkan dengan upacara pendamaian / penebusan (Kel. 29:33, 36). Pengudusan dapat dicapai dengan praktek kultus (Kel. 19:20, Ul. 5:12), dengan satu subjek dan objek Ilahi. Hal ini juga dapat dianggap menyangkut penyataan (Kej. 2:3, Kel 19:23).[27] Subjeknya adalah pribadi, apakah Allah , hakim, bangsa atau umat, tapi Allah  jarang sebagai objek. Objek tersebut kebanyakan Imam, bangsa, tempat kudus serta bejana yang kudus. Melalui pengudusan mereka dipisahkan dari sifat duniawi dan najis. άγίασνος yang artinya pengudusan (menduduskan). Menguduskan disini lebih baik dari peristiwa pengudusan, karena tindakan menguduskan hanya dapat dilakukan oleh seorang yang kudus. Tindakan menguduskan diri itu selalu dikerjakan atas dasar status pengudusan yang dicapai dalam pendamaian (band Why. 22:11).[28] άγίοσυνη yaitu suatu keadaan kudus, sifat pengudusan / kekudusan yang lebih dari pada tindakan menguduskan dan merupakan suatu kualitas yang lebih dari pada suatu status. Dalam Perjanjian Baru hanya Paulus yang memakai kata tersebut (Im. 1:4, 14, 2 Kor. 7:11, 1 Tes. 3:13). άγίοτης artinya sifat yang kudus, pengudusan, hanya terdapat dalam Ibr. 12:10.[29]  άγίοί artinya sifat yang kudus. Kata ini juga dipakai sebagai petunjuk rasuli bagi orang-orang kudus. Arti utamanya adalah hubungan dengan pribadi, menggambarkan sifat, terutama sifat seperti Kristus. Dimana-mana dalam PB ditekankan arti kekudusan secara etis, bertentangan dengan hal-hal yang kotor. Kekudusan juga merupakan panggilan tertinggi bagi orang Kristen dan tujuan dari pada hidupnya.

2.2. Latarbelakang Pembangunan Bait Suci
2.2.1.  Kemah Suci
            Gagasan untuk mendirikan Kemah Suci (Tabernakel) adalah berawal dari sejarah Israel ketika di Padang Gurun. Kemah Suci tidak terlepas dari pengakuan iman Israel terhadap Tuhan Yang Esa (Ul. 6:4), yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir (Kel. 13-15). Sebelum Kemah Suci didirikan, kita membaca tentang kemah pertemuan, yakni suatu tempat perjumpaan sementara dari Allah  dengan umat-Nya (Kel. 33:7-11).[30] Kemah Suci sebagai tempat yang kudus dapat dibawa-bawa yang di dalamnya terdapat tabut perjanjian, karena kehidupan mereka yang masih nomaden (berpindah-pindah). Mereka meyakini kemah itu sebagai tempat tinggal Allah  di tengah-tengah bangsa Israel di Padang Gurun. Kemah Suci masih digunakan lama sesudah orang Israel sampai di tanah Kanaan.
Pada zaman hakim-hakim, tempat kudus/suci itu ada di Silo (Yos. 18:1),[31] dan pada masa pemerintahan Raja Saul di Nob (1Sam. 21; Mrk. 2:25-26), kemudian hari di Gibeon (1Taw. 16:39), dan di tempat-tempat lain. Akhirnya, Raja Salomo menempatkan segala peralatan kudus dan tabut Tuhan di dalam Bait Allah (1Raj. 8:4). Mengenai bahan-bahan yang dipakai, diuraikan dengan jelas di dalam kisah Keluaran (Kel. 25:3-7; 35:5-9). Kemah itu disebut משכן (misykan)[32] yang berarti tempat tinggal (Yos. 26:1), dan lh,ao (‘ohel) yang berarti tenda atau kemah (Kel. 33:7),[33] kemah kesaksian hd'[e (‘edah), d[eAm (mo’ed) yang berarti umat sebagai tempat perjumpaan yang ditentukan bagi Allah  dan umat-Nya serta rumah Yahweh (Kej. 18:14; Kel. 34:26; Bil. 14:5; Yos. 6:24).[34] Kemah Suci di Silo dikemukakan bahwa telah menjadi suatu pusat keagamaan suku-suku Israel pada abad ke-12 sM. Kemah Suci itu didirikan atas permintaan Allah  bagi umat Israel (Kel. 40:1-38). Tuhan hadir di tempat suci itu dalam manifestasi awan dan kemuliaan-Nya memenuhi Kemah Suci (Kel. 40:34-35). Sehingga dapat dipahami bahwa Kemah Suci itu dibangun demi tujuan Allah . Itu berarti Kemah Suci mempunyai arti simbolis pada zamannya. Di dalam Perjanjian Baru, secara khas menyatakan bahwa Kemah Suci adalah gambaran dan bayangan dari apa yang ada di surga (Ibr. 8:5; 9:9, 24).

2.2.2. Bait Suci
            Salah satu kesalahan Saul yang mendasar adalah ketidakpekaannya terhadap pranata-pranata agama Israel, khususnya terhadap tempat ibadat dan para imam. Daud sebaliknya memahami pentingnya warisan spiritual bangsanya dan berusaha memelihara serta mengembangkannya. Bangsa Israel tidak dapat benar-benar disatukan kecuali jika pemimpin dalam bidang politik adalah juga pemimpin dalam bidang agama. Tabut Tuhan yang sudah lama diabaikan oleh Saul, dipindahkannya ke Yerusalem dan ditempatkannya dlam sebuah kemah disana. Dengan demikian, Daud membuat kotanya menjadi ibu kota dalam bidang agama maupun politik. Tindakan Daud ini sangat bijaksana dan semakin memperdalam kesetiaan rakyatnya kepadanya. Tanpa segan-segan Daud secara aktif ikut dalam upacara penyambutan tabut itu (2 Sam. 6:20).[35]
            Walaupun demikian Daud tidak diperkenankan membangun rumah Allah  yang permanen, Allah  menyatakan bahwa putranya akan melakukannya. Namun Daud telah mempersiapkan pembangunan tersebut untuk nantinya dibangun oleh Salomo putranya (1 Taw. 22). Daud tidak diperkenankan membangun Bait Allah  di Yerusalem dengan alasan yang diberikan oleh Allah  dalam 1 Tawarikh 22:8 ;”Tetapi firman TUHAN datang kepadaku, demikian: Telah kautumpahkan sangat banyak darah dan telah kaulakukan peperangan yang besar; engkau tidak akan mendirikan rumah bagi nama-Ku, sebab sudah banyak darah kautumpahkan ke tanah di hadapan-Ku.”


2.2.2.1. Pembangunan Bait Suci Oleh Salomo Putra Daud  
            Menara Babel adalah bangunan pertama yang disebut dalam Alkitab, yang menjelaskan tentang adanya rumah (Kej. 11:4). Walaupun tujuannya untuk berjumpa dengan Allah , tetapi itu menunjukkan kepercayaan diri atau optimistis manusia untuk mendaki ke atas, menuju surga/langit. Itulah yang disebut keangkuhan manusia, yang pada akhirnya mendapat hukuman. Para bapak leluhur Israel yang masih setengah nomaden, tidak membangun rumah khusus bagi Allah . Allah  menyatakan diri-Nya menurut waktu dan tempat yang disukai-Nya. Peristiwa itu kadang-kadang menjadi momen yang ditandai dengan membangun sebuah mezbah persembahan, dan tanda peringatan atau tugu (Kej. 22:9; 28:22). Sesudah Israel berkembang menjadi suatu bangsa, dirasakanlah betapa pentingnya tempat pusat ibadat, dan merupakan suatu keharusan sebagai tempat berkumpul bagi seluruh umat Allah  dan menjadi lambang kesatuan dalam ibadah kepada Tuhan.
Peranan Bait Allah  adalah sangat penting dalam kehidupan umat Israel sebagai satu bangsa pilihan Tuhan, yakni identitas atau ibu kota negara dan pusat agama Israel dari berbagai daerah. Di Yerusalem sampai sekarang ada tiga Bait Allah yang pernah dibangun, yakni pertama, dibangun oleh Salomo pada pertengahan abad ke-10 sM, yang kemudian dihancurkan oleh orang-orang Babel pada tahun 585 sM (1Raj. 5-8; 2 Raj. 25:8-17; 2Taw. 3-4); kedua, didirikan oleh orang Yahudi yang kembali dari pembuangan di Babel di bawah pimpinan Zerubabel pada zaman Nabi Hagai dan Nabi Zakharia (Ezr. 3:8-13) dan diresmikan pada tahun 515 sM yang dihancurkan oleh panglima tentara Romawi Pompeius pada tahun 63 sM;[36] ketiga, dibangun oleh Herodes Agung pada tahun 20 sM dan dihancurkan oleh tentara Titus pada tahun 70 M.[37] Selama rentang sejarah yang panjang itu, Bait Allah sering menjadi konflik dan tindakan kekerasan. Karena pada kenyataannya, Yerusalem dan Bait Allah berperan sebagai tempat untuk membicarakan tentang seluruh aspek kehidupan umat (keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya). Sehingga seringkali terjadi perebutan kekuasaan khususnya bagi para imam dan pemerasan di Bait Allah itu.
Selain itu,  tempat suci  pada umumnya dipahami sebagai lambang politik (kekuasaan) dan tanda kesalehan. Pemahaman ini berasal dari kebiasaan agama kuno, di mana jikalau rakyatnya kalah dalam suatu peperangan, maka dewanya dan kuilnya berarti telah dicemari. Demikian juga dengan orang-orang Yahudi, mereka memberikan perhatian besar kepada rumah Tuhan. Karena apabila Bait Allah itu tidak ada, berarti Allah  tidak berada di pihak mereka. Di samping itu, terjadi pengalihan fungsi daripada Bait Allah itu sendiri yakni telah menjadi tempat bersarangnya para penyamun.[38] Hal ini berarti bahwa di tempat kudus atau suci telah menjadi tempat yang jorok, kotor, najis, karena di dalamnya bersembunyi para pembunuh, perampok, pemberontak, lintah darat, pemeras. Dan inilah yang dikritisi oleh Yesus. Yesus mau mengembalikan peranan  Bait Allah yang sebenarnya.
            Pembangunan Bait Allah  di Yerusalem dipahami dalam dua hal, yakni kediaman raja dan kemuliaan Tuhan. Salomo memiliki figur yang sangat penting dalam pembangunan Bait Allah  (1Raj. 5-7; 8:12-13). Bait Allah  sering juga disebut sebagai kuil kerajaan di seluruh Israel.[39] Sehingga seringkali pemahaman tentang Bait Allah  di Yerusalem dikaitkan dengan politik Israel. Yerusalem[40] dipandang sebagai kota kediaman atau rumah yang kudus, yang digunakan sebagai tempat umat beribadah. Akibat dari umat Israel sendiri yang tidak menjaga kekudusan hidup dan kekudusan Tuhan, maka berdampak sekali pada Bait Allah yang mereka bangun. Misalnya beberapa kali Bait Allah yang dianggap sebagai tempat yang suci dari antara tempat suci yang lain oleh Israel, telah dihancurkan oleh bangsa lain. Hal ini tentu menyatakan secara tidak langsung bahwa klaim itu tidak sesuai dengan harapan Israel karena keberdosaan mereka kepada Tuhan. Dengan kata lain, umat Israel sendiri yang mengakui Bait Allah sebagai tempat yang istimewa dari tempat yang lainnya, dan mereka juga yang mencemarinya karena pemberontakan kepada Allah. [41]


             2.2.2.1.1. Letak dan Arsitektur Bait Suci Salomo
Laporan dari Tawarikh menyatakan bahwa; (2 Taw. 3:1)  “Salomo mulai mendirikan rumah TUHAN di Yerusalem di gunung Moria, di mana TUHAN menampakkan diri kepada Daud, ayahnya, di tempat yang ditetapkan Daud, yakni di tempat pengirikan Ornan, orang Yebus itu”. Ternyata bahwa keputusan tentang tempat pembangunan Bait itu telah diambil oleh Daud, semasa hidupnya. Hal ini terjadi dipengaruhi ketika peristiwa di dekat Yerusalem. Ketika Daud memerintahkan pendaftaran orang Israel dari Dan sampai ke Bersyeba (2 Sam. 24:4). Perintah itu dilaksanakan oleh Yoab dan para panglima tentara. Sekembalinya di Yerusalem, hasil pendaftaran itu mereka laporkan kepada raja (24:8-9). Penyakit sampar dari Tuhan menimpa bangsa Israel, sehingga matilah 70.000 orang (24:15). Daud mengakui kesalahannya kepada Tuhan. Nabi Gad menyuruh Daud untuk mendirikan mezbah bagi Tuhan di tempat pengirikan Arauna/Ornan, orang Yebus (24:18). Daud melaksakan perintah itu, maka berhentilah tulah itu menimpa orang Israel. Dalam 1 Tawarikh 21 dinyatakan bahwa atas terjadinya kejadian tersebut Daud menyatakan (1 Taw. 22:1) “  Di sinilah rumah TUHAN, Allah kita, dan di sinilah mezbah untuk korban bakaran orang Israel”. Dinyatakan pula bahwa “Tuhan menampakkan diri kepada Daud” (2 Taw. 3:1), di pengirikan Ornan itu. Jadi letak tempat itu berada di Utara kota Yerusalem tua, bekas kota orang Yebus. Peranan Daud sangat banyak, terlebih dia telah mempersiapkan bagannya, dana pembangunan, bahan-bahan bangunan angkatan kerja, tak lupa segenap pelayan Bait Suci (1 Taw. 22:2-29), tetapi Tuhan mempunyai alasan mengapa bukan dia tetapi keturunannya Salomo.[42]
Bait Suci yang dulu ada di tempat Bait yang sekarang disebut “Haram esy-Syerif” di sebelah Timur “Kota Tua Yerusalem”, itu tidak diragukan. Nama tempat yang setepat-tepatnya di dalam lahan yang luas dan berpagar itu, memang kurang pasti. Bagian yang paling tinggi dari bukit itu (sekarang ditempati oleh mesjid yang terkenal dengan nama Mesjid el-Haram) mungkin itulah tempat letaknya bagian yang mahakudus (debir), atau mezbah untuk korban bakaran yang di halaman luar (2 Taw. 3:1).[43] Bukit ini diduga termasuk bagian dari tempat pengirikan Arauna yang dibeli oleh Daud dengan harga 50 sykal perak (2 Sam. 24:24) atau 600 sykal emas (1 Taw. 21:25). Dari bangunan Bait Suci Salomo tak ada yang tinggal di atas tanah, begitu juga tak ada didapati suatu bekas yang jelas dalam penggalian-penggalian yang dibiayai oleh Dan Penelitian Palestina. Agaknya pekerjaan meratakan bukit itu dulu dan pembangunan tembok penahan yang besar untuk halaman Bait Suci bangunan Herodes, menghancurkan tuntas gedung Bait Suci pertama.
Laporan-laporan alkitabiah mengenai pembangunan Bait Suci oleh Salomo memuat banyak informasi tentang ukuran-ukuran, bahan-bahan dan teknik pembangunan (1 Raj. 6), tentang benda-benda logam (1 Raj. 7:13-51) dan tentang upacara pentahbisah Bait itu (1 Raj. 8), tetapi dengan semuanya ini hanyalah diberi suatu gambaran yang samar-samar saja. Bangunan itu empat persegi panjang. Isi rumah itu terbagi atas sebuah “balai” yang terbuka ke sebelah Timur, sebuah “ruang besar” di tengahnya, dan sebuah “ruang pribadi” yang agak kecil di bagian paling dalam  di sebelah Barat. Di depan balai terletaklah “pelataran dalam” yang luas. Ruang pribadi yang disebut Ruang Mahakudus (debir), berbentuk kubus dengan ukuran 10 m panjangnya, lebarnya dan tingginya, menjadi tempat berdirinya dua kerub raksasa besar dari kayu minyak, perannya adalah untuk menjaga tempat kehadiran Allah secara tidak kelihatan, dan di bawah sayapnya pun berdirilah Tabut Allah yang tadinya menjadi lambang kehadiran Allah ( 1 Raj. 6:19-28).[44] Di depannya terletak “ruang besar” (hekal; istana) berukuran  20 m panjangnya dan 10 m lebarnya dan 15 m tingginya, dengan mezbah persembahan ukupan (1 Raj. 6:20), meja tempat menaruh roti sajian, dan sepuluh buah kandil (1 Raj. 7:48-50a).[45] Kalau Balai (ulam atau elam), ruang yang berukuran 5 m panjangnya dan 10 m[46] lebarnya ini tidak ada alat-alat, kecuali kedua tiang Yakhin dan Boas di depannya (1 Raj. 7:15-22), agaknya ruangan ini dimaksud untuk menerima tamu, sama seperti balai-balai di dalam istana Salomo (1 Raj. 7:1-12). Pelataran yang berada di depan Bait itu dapt diduga 50x50 m, dengan mezbah korban bakaran yang besar di tengahnya, sebuah “laut” tuangan yang besar yang berada di atas duabelas lembu, dikatakan berdiri ke arah tenggara ( 1 Raj. 7:23-26), sedangkan 10 buah kereta penopang bejana pembasuhan ditaruh di kedua sisi kiri dan kanan bait itu ( 1 Raj. 7:27-39). Pelataran dan alat-alatnya ini nampaknya dimaksud untuk menerima umat yang menghadap untuk beribadah.

  2.2.3. Pembangunan Bait Suci Kedua[47]
Pada abad ke-6  (598) raja Nebukadnesar serta tentara Babel datang melawan Yehuda dan terjadilah pengepungan kota Yerusalem yang pertama. Setelah kematian raja Yoyakim maka anaknya Yoyhakin masih memerintah selama 3 bulan sebelum menyerahkan diri kepada Babel. Kekalahan kota Yerusalem yang pertama oleh Nebukadnesar tahun 597 menyebabkan Yoyhakin dan para warganya yang terkemuka lainnya dibuang ke Babel. Nebukadnesar menetapkan Zedekia sebagai raja Yehuda. Pada tahun 595 terjadi pemberontakan di Babel yang didalamnya rupa-rupanya terlibat beberapa orang Yehuda buangan. Pada tahun 594 Psammethikus II menggantikan Nekho II sebagai raja Mesir.
Utusan-utusan dari Edom, Moab, Amon, Tirus dan Sidon berkumpul di Yerusalem untuk merencanakan pemberontakan, tetapi rupa-rupanya tidak berhasil karena Yeremia memakai kuk, dan juga melawan nabi Hanaya. 589 Zedekia memberontak melawan Babel, dan pada saat itu raja yang memerintah di Mesir adalah Hofra. Pada tahun 588 pengepungan yang kedua terjadi lagi bagi kota Yerusalem yang di mulai pada bulan Januari. Pada waktu itu orang Babel angkat kaki untuk sementara karena adanya tentara yang datang dari Mesir pada waktu budak-budak di Yerusalem juga diperlakukan secara tidak adil. Pada saat kekalahan kota Yerusalem yang kedua oleh Nebukadnesar maka Bait Suci dibakar dan dibinasakan. Pembuangan para warganegara terjadi untuk kedua kalinya ke Babel. Yehuda dijadikan propinsi dalam kerajaan Babel dan Gedalya ditetapkan sebagai Gubernur di Mizpa tetapi akhirnya dia dibunuh sehingga orang-orang Mizpa lari ke Mesir.
Tahun 562 Nebukadnesar raja Babel meninggal dan dijadikan oleh ewil-Morodakh, tahun 561 Ewil Morodakh melepaskan raja Yoyhakin dari penjara di Babel dan 539/8 Koresy raja Persia berhasil mengalahkan kota Babel.[48] Tahun 538 raja Khoresy mengumumkan bahwa orang-orang Israel diijinkan untuk kembali pulang ke negri mereka. Raja Khoresy seorang yang bersikap moderat /lunak terhadap orang tawanan yang dibawa ke Babel oleh raja-raja sebelumnya. Dia memegang prinsip bahwa akan lebih baik kalau orang buangan diperbolehkan kembali ke negeri asal mereka, dimana mereka dapat membangun kembali hidup kebangsaan dan keagamaan mereka. Rombongan pertama yang kembali dari Babel ketanah Yehuda dipinpin oleh seorang bernama Sesbazar (Ezr 1:11, 5:14),[49] sekitar 538 SM. Mereka meletakkan pondasi untuk pembangunan Bait Suci yang baru (Ezr. 5:16), kemudian sekitar tahun 520 SM rombongan kedua kembali ke Yehuda dipimpin oleh Hagai, Zakharia, Zerubabel[50] seorang pembesar dan Yesua/Yosia seorang imam besar (Ezr. 2:1).
Jumlah rombongan kedua itu ialah 42.000 orang lebih (Ezr. 2:1) dan pembangunan Bait suci selesai dibangun pada sekitar 515/6 SM. Nabi yang terkemuka pada saat itu Hagai dan Zakharia, mereka bernubuat pada waktu yang sama dan keduanya mengingatkan rakyat Yahudi akan tanggungjawabnya untuk menyelesaikan Bait Suci sebab pekerjaan itu tertunda selama 14 tahun.[51] Maleakhi juga menentang kesalahan rakyat Yahudi dan memperingatkan supaya mereka taat akan Taurat Musa. Ia juga bernubuat tentang seorang utusan besar yang akan datang. Orang-orang Yahudi yang kembali pulang dari Babel ketanah asal, mereka melakukannya dengan keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Allah , penjaga hukum taurat dan Bait suci. Sementara itu orang-orang Yahudi yang tinggal di Babel tidak dapat berpartisipasi dalam penyembahan di Bait Allah seperti dahulu karena masa pembuangan merupakan suatu titik tolak penting dalam perkembangan agama mereka.[52] 
Tapi ketika mereka di pembuangan bangsa Israel mulai mengetahui tentang hukum Allah . Dengan permahaman akan hukum Allah , semakin lama bangsa Israel semakin berharap akan kedatangan Mesias untuk melepaskan mereka dari penderitaan yang mereka alami dalam pembuangan di Babel. Nabi-nabi yang bekerja pada saat itu Yehezkiel dan dia memperkuat iman umat Yehuda dan meyakinkan mereka bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka.            Yehezkiel mengajarkan bahwa mereka menngalami penderitaan karena dosa, tetapi Tuhan tetap mengasihi dan menyertai mereka di Babel. Daniel juga menubuatkan tentang masa depan dan akhir zaman yakni memberi pengharapan tentang pembebasan dari pembuangan dan pendirian kerajaan Allah  yang sejati di Yerusalem.[53] Namun ada ketegangan antara orang-orang yang tinggal di Yerusalem dan yang dibawa ke tanah pembuangan. Ketegangan itu dari segi sosial dimana orang-orang yang tinggal di Yerusalem sesudah kehancuranya merupakan rakyat jelata sehingga dalam pembangunan kembali kota Yerusalem mereka banyak mengalami halangan dari suku-suku sekitar. Ketika mereka kembali dari pembuangan nabi yang berperan Hagai (520 SM) dan Zakharia (520- 518 SM).[54]
Suasana mesianistis untuk Hagai dan Zakharia sangat berhubungan erat dengan pembangunan kembali Bait suci di Yerusalem. Sekitar tahun 520 secara umum rakyat sedang mengejar keuntungan pribadi dalam bidang ekonomi dan tidak mementingkan Bait Allah .[55] Walaupun mereka cukup berada ketika pulang dari pembuangan, namun masih gagal dalam membangun suatu eksistensi baru. Beberapa kali panen tidak berhasil, kemungkinan karena belum menyesuaikan diri dengan keadsaan tanah di Palestina yang kurang subur dibandingkan dengan tanah di Mesopotamia. Selain itu kegagalan panen juga terjadi karena kekeringan menimpa negri Palestina dan selebihnya karena kekacauan politik yang menyebabkan kekacauan perekonomian kaum buangan setelah kembali menjadi gawat. Sekitar tahun 520 SM, kerajaan Persia mulai dilanda serangkaian pemberontakan yang menggoncangkan seluruh kerajaan termasuk palestina. Orang-orang Yahudi hanya mendiami daerah sangat kecil dan yang sebenarnya tidak berdaya mulai memimpikan kemerdekaan politiknya. Akibat keadaan yang kurang menguntungkan itu orang-orang Yahudi kehilangan semangat untuk menangani pembangunan, khususnya pembangunan Bait Allah  menjadi terlantar. Akibat keadaan di atas kehidupan ekonomi terasa sulit sekali dan berpengaruh kepada spiritualitas bangsa israel yang mengakibatkan mereka menjadi egois (mengutamakan kepentingan pribadi ) dan mengabaikan kepentingan rumah Ibadah.[56] Dalam situasi ini Hagai mendorong rekan-rekannya untuk memberi prioritas kepada apa yang dapat mempersatukan mereka, meninggalkan kepentingan egoistis dan bersatu disekitar pembangunan Bait Allah . Pembangunan Bait suci memaksa mereka untuk merenungkan secara konkrit kehadiran Allah  di tengah-tengah mereka.[57]

2.2.5. Makna dan Teologi Bait Suci[58]
1.    Bait Suci Sebagai Tempat Kehadiran Allah
Bait suci merupakan “Tempat kediaman Allah ”.[59] Ketika Tabut Perjanjin ditempatkan disana,  Allah  menjadikannya menjadi kediaman bagi-Nya, dan Bait tersebut dipenuhi dengan awan (1 Raj. 8:10), awan yang digambarkan dalam peristiwa Keluaran, sebagai tanda kehadiran Allah  di Kemah Pertemuan (Kel. 33:9; 40:34-35; Bil. 12:4-10). Dalam pernyataan singkat Salomo ketika peresmian Bait tersebut dinyatakan bahwa dia telah  membangun kediaman bagi Allah  1 Raj. 8:13;  Sekarang, aku telah mendirikan rumah kediaman bagi-Mu, tempat Engkau menetap selama-lamanya”, dan dalam kekelaman, dimana Allah  bertakhta di atas Tabut Perjanjian dan kerubim, dinyatakan melalui awan (1 Raj. 8:12). Inilah kepercayaan kepada kehadiran Tuhan di Bait Suci itu dengan segala alasan tersebutlah maka dirayakan kegiatan peribadatan di sana dan  menumbuhkan kebiasaan yang taat. Tindakan Hizkia menunjukkan contoh yang konkrit, ketika dia menerima pernyataan melalui surat dari utusan, “kemudian pergilah ia ke rumah TUHAN dan membentangkan surat itu di hadapan TUHAN” (2 Raj. 19:14). Kaitan dari Mazmur dengan ibadah dan Bait Suci telah jelas: mereka sering menyatakan devosi terhadap “Kediaman Allah ” atau kepada “pengadilan Allah ” dan mereka melakukannya karena penulis “adanya kepercayaan bahwa Allah  tinggal di Bait Suci” (Mzm. 27:4; 42:5; 76:3; 84; 122:1-4; 132:13-14; 134).
Para nabi juga mempunyai keyakinan yang sama, walaupun mereka keberatan dengan praktek ibadah pada masa itu “TUHAN mengaum dari Sion dan dari Yerusalem Ia memperdengarkan suara-Nya; keringlah padang-padang penggembalaan dan layulah puncak gunung Karmel (Am. 1:2). Yesaya dipanggil menjadi seorang nabi ketika dia berada di dalam Bait Suci, dia mempunyai penglihatan Tuhan bertakhta di atas takhta yang menjulang dan tinggi, dan awan penuh dengan kemuliaan sama seperti peresmian Bait Suci tersebut (Yes. 6:1-4).[60] Bait Suci tersebut dibangun di atas “Gunung Tuhan” (Yes. 2:2-3) dan khususnya dari masa Yesaya seterusnya nama Sion mempunyai arti yang religious. Bagi Yeremia, takhta kemuliaan Allah  adalah di Sion (Yer. 14:21).  Kehadiran Allah  di antara umat-Nya merupakan anugerah dan akan ditarik Allah  jika mereka murtad.[61] Yehezkiel juga, melihat kemuliaan Tuhan ada di Bait Suci, yang mana Israel telah penuh dengan dosa (Yeh. 8-10), tetapi Allah  akan kembali ke Bait Suci, yang merupakan tumpuan takhta-Nya, dimana Dia akan tinggal selamanya bersama keturuan Israel (Yeh. 43:1-12). Nama Yerusalem akan menjadi “Yahweh-is-there” (Yeh. 48:35;  hM'v'( hw"ïhy>). Lagi, setelah adanya pertobatan, para nabi membangun kembali Bait Suci, dan menjadi alasan bahwa Tuhan akan tinggal kembali di sana (Zak. 2:14; 8:3). Bait suci, kediaman yang suci, masih merupakan tempat yang paling sentral bagi Yahudi.
   Pada periode yang sama terlihat perubahan yang sedikit berubah dalam pemikiran mengenai kehadiran Allah  di Bait Suci. Jika Allah  diam di “rumah” ini, jika Dia membuat suara-Nya terdengar dari Sion (Am. 1:2; Mik. 4:2), jika Dia bertindak dari tempat kudus-Nya (Mzm. 20:3; 134:3), bukankah itu kemungkinan pembatasan, atau pada akhirnya ikatan, kehadira-Nya di Bait Suci yang berupa materi? Pemikiran teologia  dengan sadar menekankan antara transendensi Allah , yang dari awal telah mengenal Pemilik semesta, dan sejarah juga kedekatan-Nya dengan Israel. Redactor Deutronomis dalam Raja-raja bertanya dan menjawab pertanyaan di dalam doa yang dinyatakan oleh Salomo dalam peresmian Bait Suci tersebut: “I Raj. 8:27; “Tetapi benarkah Allah  hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini”. Pemecahannya dinyatakan di ayat berikutnya: doa yang dinyatakan dengan iman di Bait Suci dan Yahweh mendengar mereka dari surga, dimana Dia tinggal (1 Raj. 8:30-40).[62] Untuk menghindarkan konsep yang dapat salah tersebut, maka mereka berkata nama Allah lah yang tinggal di sana (1 Raj. 8:17, 19), selanjutnya digunakan juga dalam Ulangan (Ul. 2:5,11).
2.    Bait Suci Sebagai Tanda Pemilihan Bangsa Israel[63]
Lambang kehadiran Allah  baru saja telah ditegaskan merupakan anugerah Allah . Tuhan memilih tinggal bersama umat-Nya, dan Dia memilih untuk tinggal di Yerusalem/Sion dan di Bait Suci. Sebelum Bait Suci dibangun, tempatnya telah ditandai dengan teofani Allah  (2 Sam. 24:16; 2: 2 Taw. 3:1). Yahweh memilih Sion sebagai kediaman-Nya (Mzm. 132:13), Sion merupakan gunung Tuhan yang dipilih-Nya menjadi kediaman-Nya (Mzm. 68:17; bnd. 76:3; 78:68). Deutronomis menekankan, walaupun hal tersebut ditekankan lebih kepada tanda pemilihan umat-Nya, pada kenyataannya Allah  memilih tempat ini di antara suku-suku Israel, yang nama-Nya akan tinggal di sana, dan mungkin Dia tinggal di sana (Ul. 12:5; “Tetapi tempat yang akan dipilih TUHAN, Allah mu, dari segala sukumu sebagai kediaman-Nya untuk menegakkan nama-Nya di sana, tempat itulah harus kamu cari dan ke sanalah harus kamu pergi”); tempat tersebut pada dasarnya tidak dinyatakan melalui nama, tapi pada abad setelahnya dinyatakan itu merupakan Yerusalem dan Bait Suci ada di sana, dimana Yosia akan memusatkan ibadah Israel disana. Hal itu merupakan dampak dari pemilihan Allah  atas Daud, dan perjanjian bahwa keturunannya akan menetap di Yerusalem (bnd. 1 Raj. 8:16; dan 2 Taw. 6:5-6; 1 Raj. 11:13, 32). Pada akhirnya, umat Israel mempercayakan Yerusalem sebagai hasil dari kejadian sejarah, namanya, pembebesan Yerusalem, di bawah Hizkia dari pengepungan bangsa asing. Yahweh setia terhadap janji-Nya; “Dan Aku akan memagari kota ini untuk menyelamatkannya, oleh karena Aku dan oleh karena Daud, hamba-Ku” (2 Raj. 19:34; Yes. 37:35). Susunan Deutronomis mungkin disusun pada masa ini, dan hal itu ditandai dalam 1 raj. 8:44, 48’ 11;13, 32, 36; 14;21; 2 Raj. 21:7; 23; 27, dan paralelnya merupakan Tawarikh.
Penyelamatan Bait Suci pada 701 tampaknya merupakan tanda pemilihan Allah , dan mengingatkan pembebasan yang ajaib yang membangkitkan keyakinan bahwa Bait Suci akan selalu memberikan perlindungan.[64] Orang Israel kembali mengulangi; “Janganlah percaya kepada perkataan dusta yang berbunyi: Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN (Yer. 7:4). Kehancuran Bait Allah  pada 587 merupakan penderitaan yang sangat besar bagi Israel yang mengingatkan agar kembalinya iman Israel, karena pemilihan akan memperbaharui, setelah kembali dari pembuangan, Zakharia mengumumkan bahwa Tuhan akan membuat Yerusalem menjadi pilihan-Nya sekali lagi (Zak. 1:17; 2:16; 3:2), dan Nehemia, mengambil bentuk Deutronomis, mengingatkan Tuhan bahwa Dia telah berjanji untuk mengumpulkan lagi para buangan di tempat dimana Dia telah pilih sebagai kediaman bagi nama-Nya (Neh. 1:9)
3.    Simbolisme Bait Suci?
Pemikiran Yahudi, khususnya dalam beberapa tulisan-tulisan apokrifa, dan juga pemikiran Hellenistik, dalam Josephus dan Philo, berusaha keras menemukan Bait Suci tersebut sebagai sebuah simbol kosmis, bukit Bait Suci tersebut bagi mereka adalah pusat dunia. Pandangan yang sama juga dapat ditemukan dalam pemikiran beberapa pemikiran Bapa-bapa Gereja dan dalam teologia Abad Pertengahan, dan beberapa penulis modern telah mencoba untuk membenarkan simbolisme tersebut dengan menggali analogi-analogi di antara pemahaman religi Timur Kuno.
Dalam Alkitab kurang mendukung pandangan tersebut. Pandangan bahwa bukit Bait Suci sebagai pusat dunia secara eksplisit diakui, dan pernyataan yang menyatakan bahwa tempat tersebut dipersiapkan secara teoritis ketika Bukit Sion diagungkan sebagai “Bukit Yang Kudus”, atau dalam puisi, disamakan dengan Saphon, kediaman ilah-ilah. Tetapi tidak ada ayat tunggal yang memandang Bait itu dengan sendirinya selamanya mempunyai arti yang kosmis. Dalam Mazmur dinyatakan; “Ia membangun tempat kudus-Nya setinggi langit, laksana bumi yang didasarkan-Nya untuk selama-lamanya” (Mzm. 78:69), tetapi ayat tersebut berarti bahwa pemilihan Tuhan terhadap Sion sebagai kediaman-Nya, dan Daud sebagai hamba-Nya (Mzm. 78:68, 70), merupakan defenitif, dan sebagai yang kekal langit dan bumi. Hanya satu poin yang kelihatannya menyatakan simbolisme kosmis dari mezbah Yehezkiel yang dapat ditarik kesimpulan dari sebutan-sebutan yang dia berikan dalam beberapa bagian. Tetapi Yehezkiel merupakan seorang nabi penglihat, meminjam pernyataannya dari latarbelakang asing dimana dia pernah tinggal, dan menggambarkan mezbah yang ideal dari sebuah Bait yang tidak pernah dibangun.
Apabila kita melihat kepada Bait Suci yang sebenarnya, yang dibangun oleh Salomo, pembaca akan mengingat bahwa rencana dan dekorasinya merupakan inspirasi dari bangsa asing dan mereka memutuskan untuk menggunakan ahli-ahli dari bangsa asing. Kita tidak tahu simbolisme yang terdapat disana ketika orang asing yang memberikan dekorasi, juga kita tidak tahu apakah orang Israel menerima simbolisme tersebut. Sangat terbataslah dukungan yang melambangkan tiga bagian dari Bait Suci melambangkan tiga bagian dari dunia; Debir tentu saja sebuah simbolisme, tetapi itu menandakan dijelaskan  di teks dan itu bukan bermakna simbolisme, “TUHAN telah menetapkan matahari di langit, tetapi Ia memutuskan untuk diam dalam kekelaman” (1 Raj. 8:12). Hal itu tidak mungkin, menyebutkan beberapa contoh sampai zaman sekarang, bahwa dua pilar menandakan matahari dan bulan, atau musim panas dan dingin, atau 10 tiang lilin berarti lima planet di atas dan lima dibawah.
Jika Bait Suci dan perlengkapannya mempunyai arti yang kosmis, masalah bagi para teolog adalah bagaimana Allah  dapat berdiam di sana, yang telah kita uji sebelumnya, akankah menandakan hal lain. Lagi, pemecahannya yang timbul adalah Allah  pemilik semesta Akankah tinggal di Bait Suci yang menggambarkan semesta? Tapi pemikiran orang Israel tidak mengubah pemikirannya bahwa ” Tetapi benarkah Allah  hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini (1 Raj. 8:27), akibatnya mereka membedakan antara Bait Suci dimana mereka berdoa dan langit dimana Allah  berdiam (1 Raj. 8:30). Mereka tidak memikirkan bahwa Bait Suci melambangkan semesta, dan pemikiran simbolisme muncul lama setelahnya.[65]
2.2.6. Perlengkapan Bait Suci
Tabut Perjanjian merupakan unsur yang sangat penting yang ditempatkan di ruang Mahakudus. Digambarkan dalam Keluaran 15:10-22 dan 37:1-9. Tabut berbentuk peti agak persegi panjang (‘aron) dibuat dari kayu penaga, ukurannya 1,3x1x1 m. seluruh tabut ditutupi dengan emas. Untuk mengangkut tabut digunakan tongkat kayu yng dimasukkan ke lobang gelang-gelang pada keempat penjurunya. Tutup tabut (tutup pendamaian) dibuat dari emas, di kedua ujung tutup pendamaian itu terletak satu kerub. Wajah kedua kerub itu berhadapan dan sayap masing-masing terentang. Tabut tersebut tempat penyimpanan kedua Loh Hukum Dasa Titah (Kel. 25:16, 21; 40:20; Ul. 10:1-5); buli-buli berisi manna dan tongkat Harun (Ibr. 9:4-5). Di dalam Tabut itulah disimpan hukum Taurat yang tertulis (Ul. 31:9; Yos. 24:26). Raja Daud menempatkan tabut di sebuah kemah di Yerusalem (2 Sam. 6) dan tidak mau memindahkannya selama pemberontakan Absalom (2 Sam. 15:24-29). Dengan upacara kebesaran raja Salomo menempatkan tabut itu di Bait Suci (1 Raj. 8:1), dan kembali ditempatkan di tempat kudus sesudah pembaharuan oleh Yosia (2 Taw. 35:3). Yeremia (3:16) menubuatkan suatu zaman tanpa tabut itu. Mungkin tabut itu hilang waktu Yerusalem dibinasakan oleh orang Babel pada tahun 587 sM. Dalam Bait Suci kedua tidak ada lagi tabut itu.
Menurut 1 Raja-raja 7:23-26 di bagian pelataran Bait Allah  dibangun suatu bejana perungu raksasa dengan diameter 10 hasta (sekitar 4,5 meter,, 1 hasta= 45 cm) dan tinggi sekitar 5 hasta (2,25 meter)[66] yang dipikul oleh 12 patung lembu yang terbuat dari tembaga dengan ragam hias bermotif labu dan bunga bakung. Bejana raksasa ini dapat menampung air sebanyak 2.000 bat, jadi sekitar 72.000 liter air (1 bat = 36 liter). Luar biasa. Untuk apa bejana raksasa ini? Untuk menampung air bagi kepentingan Bait Allah ? Memang begitulah kira-kira fungsinya. Namun, harus diperhatikan bahwa di samping bejana raksasa ini disediakan pula 10 bejana pembasuhan yang terbuat dari tembaga, yang masing-masing dapat menampung 40 bat air atau 1.440 liter air (1 Raj. 7:38). Lalu untuk apa bejana raksasa ini? Menurut 2 Tawarikh 4:6 sepuluh bejana yang lebih kecil itu digunakan untuk membasuh segala hal yang dipakai untuk kurban bakaran, sedangkan bejana raksasa itu khusus digunakan oleh para imam untuk membasuh. Menarik sekali bahwa dalam 1 Raja-raja 7:23 dan 2 Tawarikh 4:6-11 bejana raksasa itu disebut yam ( ~Y"ßh; LAI: laut), suatu simbol yang merepresentasikan Dewa Yam, penguasa laut dan air dalam mitos Kanaan. [67]
Demikian juga dengan 12 lembu tembaga yang memikul bejana adalah symbol dewa Baal, dewa kesuburan Kanaan. Baal yang kuat diharuskan memiluk yam di atas pundaknya untuk melayani Yahweh di pelataran Bait Suci-Nya. Dengan kata lain, air sebagai unsur penting bagi kehidupan di bumi Israel (Kanaan) dihadirkan dalam pusat peribadahan, sekalipun dengan menggunakan symbol Yam dan Baal (bnd. cara Mzm. 82:3-4 melukiskan para dewa kafir itu sebagai hamba-hamba Yahweh). Di samping bejana air raksasa itu, dibangun dua tiang tembaga yang bernama Yakin dan Boas, masing-masing setinggi 8 hasta dan dililit oleh tali-tali sepanjang 12 hasta, ganja-ganjanya bermotif bunga bakung serta dihiasi dengan relief bermotif buah-buah delima (1 Raj. 7:15-22; 41-42;  !ykiêy" dan  z[;Bo)). Arti nama yakhin adalah “Yahweh akan menegakkan” (dalam bahasa Fenesia kata ini berarti “yang padat/kekar”), dan bo’az berarti “dalam kekuatan Yahweh” (dalam bahasa Fenesia berarti “dengan kekuatan”).[68] Jika kedua arti itu disatukan maka kedua tiang itu bermakna pengakuan bahwa (Ia (Yahweh) akan meneguhkan dengan kekuatan).[69]
Di Ruang luar yang disebut “Ruang Kudus”, terdapat juga meja untuk roti sajian dan sepuluh kandil (1 Raj. 7:48). Kita teringat bahwa ada roti sajian[70] di kuil Nob, waktu Daud berkunjung ke sana (1 Sam. 21:6), itu berarti bahwa roti sajian memainkan peranan dalam ibadat  sebelum Bait Suci didirikan. Pemakaian roti sajian juga dibuktikan dalam kebudayaan luar Israel. Roti itu ditaruh dalam Bait Allah  pada hari Sabat, kemudian dimakan habis oleh para imam waktu diambil kembali (Im. 24). Jumlah roti itu 12 dan mungkin angka itu merupakan lambang ke-12 suku Israel. Meja roti sajian itu mungkin terbuat dari kayu aras (1 Raj. 6:20) sedangkan dalam uraian tentang Kemah Suci dikatakan bahwa meja dibuat dari kayu peraga dan dilapisi dengan emas (Kel. 25:23, bnd, 1 Raj. 7:48, mezbah emas dan meja emas tempat menaruh roti sajian).
Dalam bahasa Ibrani terdapat dua kata yang dapat diterjemahkan dengan ukupan yang biasa dibedakan dalam LAI, yang satu (qetoreth) diterjemahkan dengn “ukupan”, dan yang kedua (lebonah) diterjemahkan dengan “kemenyan”. Kemenyan digunakan pada zaman pra-pembuangan. Disebut misalnya oleh Yeremia sebagai suatu barang yang diimpor dari Syeba (Yer. 6:20). Disebut pula berkenaan dengan aturan kurban (Yer. 17:26; 41:5; Yes. 43:23). Perikop Kodekh Hukum Kekudusan mengenai roti sajian mencatat bahwa kemenyan hendak ditaruh di samping roti sajian di atas meja roti sajian itu (Im. 24:7). Penggunaan kemenyan tidak merupakan ciri khas ibadat Israel, dan tak usah diragukan bahwa kemenyan memang dipakai di Israel.
Dalam Bait Suci digunakan juga mezbah untuk korban bakaran yang dibangun di luar gedung induk Bait Allah  di halaman luar. Tetapi aneh, pembuatan mezbah tersebut tidak disinggung dalam uraian tentang pembangunan Bait Suci, walaupun disebut dalam nats lain (1 Raj. 8:22, 54, 66; 9:25). Mezbah tersebut merupakan mezbah tembaga yang dapat dipindah-pindahkan, dan tidak disebut dalam uraian mengenai pembangunan Bait Suci, karena bentuknya tidak sesuai dengan adat Israel sebagaimana diuraikan dalam Keluaran 20:24.
Dalam 1 Raja-raja 7:49-51 dikatakan juga bahwa: “Salomo membuat juga segala perlengkapan yang ada di rumah TUHAN, yakni mezbah emas dan meja emas tempat menaruh roti sajian;  kandil-kandil dari emas murni, lima di sebelah kanan dan lima di sebelah kiri, di depan ruang belakang; kembang-kembangnya, lampu-lampunya dan sepit-sepitnya, dari emas;  pasu-pasunya, pisau-pisaunya, bokor-bokor penyiramannya, cawan-cawannya dan perbaraan-perbaraannya, dari emas murni; engsel-engsel untuk pintu ruang dalam, yakni tempat maha kudus, dan engsel-engsel untuk pintu ruang besar Bait Suci, dari emas.  Maka genaplah segala pekerjaan yang dilakukan Salomo di rumah TUHAN itu. Kemudian Salomo memasukkan barang-barang kudus Daud, ayahnya, dan menaruh perak, emas dan barang-barang itu dalam perbendaharaan rumah TUHAN”.
Mezbah untuk korban bakaran dibangun di luar gedung induk Bait Allah  di halaman luar. Pembuatan  mezbah itu tidak disinggung dalam uraian tentang pembangunan Bait Suci, walaupun disebut-sebut dalam nats-nats lain (1 Raj. 8:22, 54, 66, 9:25). Mezbah tersebut merupakan mezbah tembaga yang dapat dipindah-pindahkan, hal ini tentu saja karena yang membuatnya kemungkinan orang dari Fenesia yang dipekerjakan Salomo.

2.2.7. Keterkaitan Doa dan Bait Suci
            Untuk mengartikan doa dalam Perjanjian Lama digunakan kata תפלה   (tepilah) artinya doa atau permohonan (Yun.2: 8).[71] פלל (Palal) artinya berdoa (1 Raj.18: 28) dan paga artinya bersekutu dengan Allah  (Yeh.7: 16; Yes.53: 12; 59: 16). Ada juga istilah זצק (Zaaq) artinya doa teriakan dan tangisan (Yun. 1:5) dan  קרא (Qara) artinya doa seruan.[72] Köhler menemukan ada kira-kira 85 buah doa asli di dalam Perjanjian Lama dan 60 Mazmur lengkap dan 14 Mazmur yang secara tersirat dapat digolongkan kepada doa.[73] Pada zaman Bapak Leluhur, doa dipahami sebagai simbol hubungan yang erat antara Allah  dengan para leluhur (Kej.12:13; 15:2; 26:25; 28:20-22).
            Biasanya Kemah Suci dalam Perjanjian Lama merupakan tempat mempersembhkan kurban (1 raj. 8:5; 62-64). Namun ketika Salomo menahbiskan Bait Allah , dalm doanya ia mendeklarasikn bangunan itu juga sebagai tempat mempersembahkan doa (1 Raj. 8:27-53). Yang dipersembahkan Salomo di atas mezbah (ay. 22) adalah doa dan permohonan (ay. 54;  hL'îpiT.h;-lK'). Begitulah berulang-ulang ungkapan “doa dan permohonan” di seluruh perikop. Kepentingan Bait Allah sebagai tempat mempersembahkan kurban dan doa masih ditegaskan Nabi Yesaya beberapa abad setelah itu (Yes. 56:7), bahkan oleh Yesus Kristus (mat. 21:13; Mrk. 11:17; luk. 19:46).[74]
            Secara structural, perikop (1 Raj. 8) yakni penahbisan Bait Allah bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Perhimpunan (ay. 1-3)
   2. Persembahan kurban (ay. 5)
      3. Berkat (ay. 14-21)
    4. Posisi duduk berdiri Salomo (ay. 22)
       5. Seruan kepada Allah  (ay. 27-30)
          6. Tiga permohonan (ay. 31-36)
             7. Permohonan secara umum (ay. 37-40)
          6. Tiga permohonan (ay. 41-51)
        5. Seruan kepada Allah  (ay. 52-53)
    4. Posisi duduk berdiri Salomo (ay. 54)
 3. Berkat (ay. 55-61)
               2. Persembahan kurban (ay. 62-64)
            1. Perhimpunan selesai (ay. 66)[75]

Menurut arah gerak tubuh Salomo dalam upacara itu, mula-mula ia berhadapan dengan jemaat (ay. 14-21), lalu berbalik ke  mezbah untuk menaikkan doa (ay. 22-53) dan akhirnya menghadap jemaat lagi untuk memberi nasihat (ay. 54-61). Dengan demikian, pusat perikop adalah pusat doa permohonan Salomo (6,7,6).[76]
Dalam doanya Salomo meminta agar Tuhan mendengarkan doa yang dipanjatkan di Bait Allah dari orang yang sedang susah karena bencana alam, kalah perang, penyakit, dosa, pokoknya seluruh aspek kehidupan manusia (ay. 28-30). Dalam unit ayat terdapat tiga kelompok kata yng merujuk pada doa dan di seluruh peroop terus diulang: doa (ay. 28), “permohonan”, seruan ( hN")rI) mendengar doa (ay. 28-30), tempat berdoa (ay. 29,30; “rumah” (ay. 29). Ayat 28-30 diawali  dengan kata-kata Allah  “berpaling” (ay. 28) dan ditutup dengan Allah  “mengampuni” (ay. 30). Kata terakhir ini (mengampuni) menghubungkan unit ayat 28-30 dengan unit ayat 31-53 dimana Salomo menspesifikasikan tujuh kejadian yang menjadi alasan orang berdoa di atau berkiblat di Bait Suci dan Allah  diminta untuk mendengarnya. Dalam doanya Salomo menekankan bahwa rumah Allah  penting bagi nasib manusia individual maupun bangsa.
Di Bait Allah orang mencari keadilan atas perkaranya dengan meminta Allah  menjadi hakim untuk mengadili perkara. Tuhan akan “menyatakan bersalah orang yang bersalah dengan menanggungkan perbuatannya kepada orang itu sendiri, tetapi menyatkaan benar orang yang benar dengan memberikan pembalasan kepadanya yang sesuai dengan kebenarannya” (1 Raj. 8: 32). Kat kerja “berdosa” (ay. 31, 46;  aj'îx/y<), membentuk inklusio. Isi bagian ini ditegaskan lewat tujuh kali pengulangan frase “Engkaupun kiranya mendengarkan…” (ay. 32, 34, 36, 39, 43, 45, 49). Juga tujuh kali disebut Rumah Allah  (ay. 31, 33, 35, 38, 42, 44, 48). Jadi, tekanan utama dari bagian ini adalah ketika seorang berbuat dosa, Rumah Allah  menjadi tempat untuk berdoa mengaku dosa dan dijamin doa itu akan didengar. Memang berhadapan dengan Yang Mahatahu dan Mahaadil, manusia harus tulus.
            Dengan berdoa di Bait Allah , Salomo tidak membatasi Tuhan dalam ruang. 1 Raja-raja 8:27; “Tetapi benarkah Allah  hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini”. Berkali-kali Salomo menekankan kiranya Allah  mendengarkan doa dari surge (ay. 32, 34, 36, 39, 43, 49), tempat kediaman tetap-Nya (ay. 30, 39, 43, 49). Salomo tidak berpikir Allah  bisa dibatasi dalam suatu bangunan di bumi. Allah  mengizinkan nama-Nya dikaitkan dengan suatu tempat di bumi supaya ada hubungan antara bumi dan surge tempat kediaman-Nya.[77] Seperti juga nabi Yesaya menerima panggilan di Bait Allah (di bumi) namun yang dilihatnya adalah Tuhan di atas takhta yang tinggi (di surga). Keberadaan dan peran Bait Allah  dalam Perjanjian Lama memiliki makna teologis yang penting. Objek fisik yang dipakai dan rancangan Bait Allah yang ditentukan menunjuk pada realitas yang lebih dalam bahwa Israel, bukan tempatnya atau bangunannya, adalah tempat kediaman Allah .
            Doa Salomo pada saat penahbisan Bait Allah  memperlihatkan bahwa ruang dan waktu yang didedikasikan untuk Allah  ternyata memiliki efek yang melampaui batas-batas tanah perjanjian secara geografis. Doa bisa disampaikan diluar Yerusalem, asal kiblat pendoa terarah kepada Bait Allah . (bnd. Dan.6:11;  Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allah nya, seperti yang biasa dilakukannya).[78]
            Keberadaan Bait Allah  sebagai rumah doa sedikitnya bisa dikaitkan dengan gedung gereja dalam fungsi yang sama, meskipun tidak begitu saja identik. Sebagai tempat ibadah pintu gereja terbuka pada jam-jam terbatas, teapi sebagai rumah doa seharusnya pintu itu lebih lama terbuka bagi siapa saja yang ingin berdoa pribadi. Sekalipun Tuhan hadir tak dibatasi tempat dan waktu, umat tetap membutuhkan sebuah tempat yang khusyuk, jauh dari suasana rumah tangga. Itulah gereja. Alangkah idealnya bila umat bisa lebih banyak memanfaatkan Bait Allah  sebagai tempat menyampaikan doaw ketimbang pergi ke gereja untuk didoakan, namun sering itu lewat begitu saja bersama kesibukan sehari-hari dan ketiadaan privasi dalam keluarga. Maka fungsi gereja sebagai rumah doa sangat perlu untuk dioptimalkan.[79] Namun, untuk berfungsi demikian ruang utama gereja harus dikhususkan dengan kebersihan dan ketenangan yang terjaga.

2.2.8. Nyanyian Dan Musik Dalam Bait Suci
Penetapan formal kelompok-kelompok musik bait suci dan barisan musik terjadi pada masa pasca pembuangan (setelah sekitar 538 sM), dan menghubungkan pendiriannya dengan Daud semula merupakan perrkiraan arkheologi. Akan tetapi penemuan arkheologi menunjukkan bahwa para penilai tidak berhak untuk mengatakan bahwa Daud tidak dapat mengembangkan musik bait suci, karena penggalian-penggalian menunjukkan perkembangan yang pasti dari alat-alat musik, tidak saja pada masa Daud (sekitar 1000 sM), tetapi juga pada masa yang jauh lebih awal.[80]
              Musik di dalam Bait Allah  dilakukan oleh musisi profesional yang terlebih dahulu dilatih untuk dapat terlibat dalam ibadah. Untuk pelatihan pada masa itu sudah diadakan semacam sekolah musik gerejawi untuk mereka dapat diperlengkapi dalam ibadah dan musik. Dalam ibadah mereka, selalu ada kelompok paduan suara yang paling sedikit berjumlah 12 orang. Ibadah dilakukan dalam suasana yang khidmat dan khusuk bagi Allah  yang Mulia. Alat musik yang digunakan untuk fungsi tertentu, misal terompet melambangkan kuasa dan keagungan Allah  dan seruling untuk meratap.[81] Mazmur selalu diiringi alat musik dan dinyanyikan secara bersahutan. Allah  hadir bersama umatNya (Kel. 25:8, II Taw 6:7, Ezra 43:7). Bait Allah adalah ekspresi antitesis antara Israel dan bangsa kafir yakni bahwa bangsa Israel berbeda dengan bangsa kafir di sekitarnya. Bait Allah adalah lambang hubungan Israel kepada Tuhan. Ibadah di Bait Allah penuh dengan karakter simboliktempat kudus, imam kudus (hanya kaum Lewi), perlengkapan ibadah kudus (I Taw 28:12). Ibadah di Bait Allah dalam I Taw 28:19 merupakan komunikasi simbolik dengan Israel.
              Mungkin aturan musik di Bait Suci memang berakar pada zaman raja Daud, karena misalnya dalam cerita tentang waktu Daud diterima di halaman istana Saul, diceritakan bahwa ia sanggup menenangkan jiwa Saul waktu Saul dirasuk roh pengganggu (1 Sam. 16:17). Dengan jatuhnya Yerusalem di bawah kekuasaan Daud dan ditempatkannya kemah suci di kota itu, ibadah yang dilakukan menjadi semakin semarak dan dilengkapi dengan pagelaran musik. Suku Lewi ditugaskan untuk memberikan pelayanan musik dan memimpin ibadah ini. Di bawah kepemimpinan Daud paduan suara dan orkestra besar pertama dikelola untuk dipakai sebagai bagian dari ibadah di kemah suci (Neh. 12: 35-36, 45-46).[82] Ketika Salomo, anak Daud, menjadi raja dan membangun Bait Allah  yang pertama, semarak, pagelaran musik menjadi semakin agung Yosephus, sejarawan Yahudi yang terkenal, menulis bahwa dalam Bait Allah yang pertama ada 200.000 peniup terompet dan 200.000 penyanyi berjubah yang dilatih untuk ikut serta dalam ibadah ini. II Tawarikh pasal lima memberikan laporan tentang hadirnya sejumlah besar penyanyi dan instrumen musik, dalam ibadah tersebut.[83] Menurut koleksi tulisan Yahudi setelah penulisan kitab Injil (Midrash), Raja Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan mas kawin berupa 1000 peralatan musik.[84]
Setelah kembali dari tampat pembuangan di Babel,[85] ibadah di Bait Allah  kembali dilaksanakan, dengan pembangunan Bait Allah , yang kedua. Walaupun yang kedua ini tidak seindah yang pertama, namun jelas bahwa pagelaran musik merupakan bagian dari ibadah orang Ibrani. Kitab Talmud Yahudi menjelaskan tradisi menyanyikan mazmur dalam Bait Allah  kedua. Bagi orang Ibrani syair lagu lebih penting daripada musiknya, dan lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari syair dan aksen di antara kata-kata itu. Di dalam musik pengiring tarian, irama lagu itu lebih ditonjolkan.[86]

3.      Refleksi
Bait Suci melambangkan kehadiran dan perlindungan Tuhan Allah atas umat-Nya. Ketika Bait Suci ditahbiskan, Allah turun dari surga dan memenuhi bait itu dengan kemuliaan-Nya dan berjanji untuk menempatkan nama-Nya di situ. Jadi, apabila umat Allah ingin berdoa kepada Tuhan, mereka dapat melakukannya dengan menghadap bait suci dan Allah akan mendengar mereka dari bait-Nya. Bait suci juga mewakili penebusan umat-Nya oleh Allah. Dua fungsi penting dilaksanakan di dalamnya: persembahan korban-korban penghapus dosa setiap hari di atas mezbah perunggu dan Hari Raya Pendamaian, ketika imam besar memasuki Tempat Mahakudus untuk memercikkan darah di atas tutup tabut perjanjian untuk mendamaikan dosa-dosa umat-Nya. Melalui upacara-upacara ini, orang Israel diingatkan mengenai betapa mahalnya harga penebusan dan pendamaian mereka.
Tidak pernah di dalam sejarah umat Allah, Allah mempunyai lebih dari satu tempat tinggal atau bait; kenyataan ini menunjukkan bahwa hanya ada satu Allah -- Tuhan, Allah perjanjian bangsa Israel.  Akan tetapi, Bait Suci tidak memberikan jaminan mutlak akan kehadiran Allah; Bait Suci melambangkan kehadiran Allah hanya sejauh umat itu menolak ilah-ilah lain dan menaati hukum Allah yang kudus. Mikha, misalnya, mengecam para pemimpin umat Allah yang menjadi bengis dan materialistis serta pada saat bersamaan yakin bahwa mereka tidak akan ditimpakan malapetaka selama lambang kehadiran Allah masih ada di tengah-tengah mereka; ia bernubuat bahwa Allah akan memberi mereka pelajaran dengan membinasakan Yerusalem dan Bait Suci-Nya. Di kemudian hari Yeremia menegur rakyat Yehuda yang menyembah berhala karena menghibur diri dengan mengulang-ulang kata-kata, "Inilah bait Tuhan, bait Tuhan, bait Tuhan!". Karena gaya hidup mereka yang fasik, Allah akan memusnahkan lambang kehadiran-Nya -- Bait Suci itu; Allah bahkan memberitahukan Yeremia bahwa sia-sialah berdoa bagi Yehuda, karena Allah tidak akan mendengarkannya. Satu-satunya harapan mereka ialah memperbaiki tingkah langkah mereka.  Peranan Bait Suci (Bait Allah) dalam Perjanjian Baru harus dipahami berhubungan dengan lambang Bait Suci dalam Perjanjian Lama.  Yesus sendiri, seperti halnya nabi-nabi Perjanjian Lama, mengecam penyalahgunaan Bait Allah. Tindakan-Nya yang pertama dan terakhir di depan umum adalah membersihkan Bait Allah dari orang-orang yang menghancurkan maksud rohaninya yang sejati. Selanjutnya Ia menubuatkan saat ketika Bait Allah itu akan dibinasakan sama sekali. Jemaat yang mula-mula di Yerusalem sering kali memasuki Bait Allah pada saat-saat berdoa. Akan tetapi, mereka melakukan semua ini karena kebiasaan, sebab mengetahui bahwa Bait Allah bukan satu-satunya tempat di mana mereka bisa berdoa. Stefanus, dan kemudian Paulus, bersaksi bahwa Allah yang hidup tidak dapat dibatasi oleh bait yang dibuat oleh tangan manusia.
Fokus penyembahan orang Kristen berpindah dari Bait Allah kepada Yesus Kristus sendiri. Dialah, bukan Bait Allah, yang kini mewakili kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Dia adalah Firman Allah yang menjadi manusia, dan di dalam Dia berdiam seluruh kepenuhan ke-Allahan. Sesungguhnya, Yesus sampai mengatakan bahwa Dia adalah Bait Allah itu; dengan korban-Nya di salib Dia menggenapi semua persembahan yang dilaksanakan di Bait Suci. Perhatikan pula bahwa dalam percakapan-Nya dengan wanita Samaria, Yesus menyatakan bahwa tidak lama lagi penyembahan akan terjadi bukan di dalam bangunan tertentu tetapi di dalam roh dan kebenaran, yaitu di mana saja orang yang sungguh-sungguh mempercayai kebenaran Firman Allah dan menerima Roh Allah melalui Kristus. Karena Yesus Kristus sendiri merupakan perwujudan makna Bait Suci itu, dan karena gereja adalah tubuh-Nya, gereja disebut sebagai bait Allah karena didiami oleh Kristus dan Roh Kudus. Melalui Roh-Nya, Kristus berdiam di dalam gereja-Nya dan menuntut agar tubuh-Nya itu kudus. Sebagaimana dalam Perjanjian Lama Allah tidak dapat membiarkan pencemaran bait-Nya, demikian pula Dia mengatakan akan membinasakan semua orang yang membinasakan gereja-Nya. Roh Kudus tidak saja berdiam di dalam gereja, tetapi juga di dalam diri orang percaya sebagai bait-Nya. Oleh karena itu dengan tegas Paulus memperingatkan terhadap semua bentuk penajisan tubuh oleh kebejatan dan kemesuman.  Akhirnya, perhatikan bahwa di Yerusalem baru tidak diperlukan Bait Suci. Alasannya jelas: karena Bait Suci hanyalah lambang kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya dan bukan kenyataan sesungguhnya, maka tidak diperlukan Bait Suci karena Allah dan Anak Domba tinggal di antara umat-Nya; "sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu".

4.      Kesimpulan
Bait Suci merupakan pusat peribadatan umat Israel terhadap Yahweh yang pada awalnya belum permanen ketika bangsa Israel masih nomaden dan disebut dengan Kemah Suci. Sedangkan setelah zaman kerajaan khususnya Salomo dibangunlah Bait Suci namun diruntuhkan kembali ketika Israel ditawan ke pembuangan oleh pasukan tentara Nebukadnezar pada tahun 586 sM (1Raj. 6:1-38; 2Taw. 3:1-14).. Dan kembali dibangun oleh Ezra dan Nehemia pada tahun 537 sM dan selesai pada tahun 516 sM (Ezr. 6:13-15). Pembangunan itu terjadi pada zaman Nabi Hagai dan Zakharia (Hag. 1 dan 2). Bangunan tersebut diruntuhkan kembali dan dibangun lagi oleh Herodes seorang Romawi dengan alasan politis. Bait suci merupakan tempat kehadiran Allah  di tengah-tengah bangsa Israel yang walaupun Allah  tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Namun Allah  memberikan diri-Nya ditemui dalam Bait Allah  tersebut. Peranan Bait Allah  adalah tempat persekutuan umat percaya kepada Allah . Persekutuan itu penuh dengan hikmat dan keheningan karena umat Tuhan berhubungan dengan Allah  melalui doa, nyanyian, puji-pujian dan persembahan; di mana di dalamnya nyata tanda ajaib dari Allah , sehingga manusia memperoleh keadilan dan kedamaian. Bait Allah  berarti rumah ibadat. Di dalam Bait Allah  manusia sebagai ciptaan Allah  menerima hak yang sama sebagai anak-anak Allah  dan semua diperlakukan dengan kasih dan adil tanpa ada perbedaan. Artinya. Kebersamaan dan kesetaraan di Bait Allah merupakan tujuan dari rumah Tuhan. Dengan kata lain, peranan Bait Allah adalah rumah doa dan tempat menerima berkat surgawi. Karena di sana Tuhan menyatakan rencana keselamatan bagi umat-Nya. Dengan demikian, Bait Allah  itu haruslah kudus. Rumah Tuhan yang pertama, dibangun oleh Salomo dan sudah hancur ketika Yerusalem dirampas dan dibakar Rumah Tuhan yang kedua
5.      Kepustakaan
Barker, Margaret, Pintu Gerbang Sorga: Sejarah dan Simbolisme Bait Allah di Yerusalem, Terj. B.A. Abednego, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
Barth, Christoph, Theologia Perjanjian Lama 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989
Berkovits, Eliezer, Man And God, Canada: Wayne State University Press, Detroit, 1969
Boland, B.J., Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Bolkestein, M.H., Kerajaan Yang Terselubung: Ulasan atas Injil Markus, Terj. Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Borse, U., “ναός” dalam Exegetical Dictionary of the New Testament Volume II, eds. Horst Balz & G. Schneider, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991
Bryant, T. Alton (ed.), The New Compact Bible Dictionary, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1967, p. 236.  
Bullinger, Ethelbert W., A Critical Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1975
Cairns, I. J., Ibadat Israel Kuno, Jakarta: BPK-GM, 2004
Davidson, A.B.,  An Introductionary Hebrew Bible, Edinburg: T&T Clark, 1962,
de Vaux, Roland, Ancient Israel, Its Life and  Institution, New York: Mc Graw-Hill Book Company inc, tt
Douglas, J.D., “Bait Suci” dalam  Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000
Dyrness, William, Thema-thema dalam Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1992
 Elison, H.L., From Babylon To Betlehem, Philadelphia, The Atlic Press, 1976
Etherington, Charles L., Protestant Worship Music, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1962
Free, Joseph P., Arkheologi dan Sejarah Alkitab, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1997
Freeman, D., “Roti Sajian” dalam, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (M-Z) (Ed. J.D. Douglas), Jakarta:BPK-GM, 2005
Goldingay, John, Old Testamnet Theology: Israel Gospel Volume I, Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2003
Gooding, D.W., “Kemah Suci” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000
Green, Denis, Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
 Handol, John, Nyanyian Lucifer, Yogyakarta: ANDI, 2000
Hill, Andrew E., & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Hinson, David F., Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2001
Hoffner, Harry A., “tyIB” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume II, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975
Jacob, Edmond, Theology  of the Old Testament, New York : Harper & Brothers Publishers, 1958
Jagersma, H., Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari ± 330 sM-135 M, Terj. Soeparto Poerbo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, hlm. 134-136.
 Karman, Yonky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2007
Kellermann, D., “משכן” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume IX, eds. G. Johannes Botterweck, Helmer Ringgren & Heinz-Joseph Fabry, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1998
 Köhler, Ludwing, Old Testament Theology, Oxford: University Press,1957
Kraus, Hans- Joachim, Worship In Israel, Virginia: John Knox Press, 1966
Log, Burke O., 1 Kings With an Introduction To Historical Literature, Grand Rapids Michigan: W.M. Eerdmans, 1984
Mawene, M.T., Perjanjian Lama Dan Teologi Kontekstual,  Jakarta: BPK-GM,  2008
Michaelis, Wilhelm, “σκηνη” dalam The Dictionary of the New Testament Volume VII, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1971
Michel, Otto, “οίκος- οίκια ” dalam The Dictionary of the New Testament Volume V, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967
Mike & Viv Hibbert, Pelayanan Musik, Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988
Ottosson, M., “חכל” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume III, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1978
Paterson, Robert M., Tafsiran Alkitab Kitab Imamat, Jakarta: BPK-GM, 1997
 Preuss, Horst Dietrich, Old Testament Theology, Lousiville: Westminster John Knox Press, 1995
 Rontledge, Robin, Old Testament Theology, A Thematic Approach, Nottingham: Apollos Inter-Varsity Press, 2008
Schmidt, Karl Ludwig, “έκκλησία” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967
Schrage, Wolfgang, “συναγωγή” dalam  The Dictionary of the New Testament Volume VII, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1971
Schrenk, Gottlob, “ίερός dan ίερόν” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967
Seventer, A., Tafsiran Alkitab Zakharia dan Hagai, Jakarta: BPK-GM, 1983
Susanto, Hasan, Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II, Jakarta: LAI, 2003
Than, Jadidiah, Mekanika Doa: Bagaimana Anda Berkomunikasi Dengan Dia, Jakarta: Yayasan PI Imanuel, 1998
von Rad, Gerhard, Old Testament Theology Vol II, London: SCM Press LTD, 1993
von Rad, Gerhard, Old Testament Theology Volume I, London: SCM Press, 1975
Weber, Hans-Ruedi, Kuasa, Jakarta: BPK-GM, 1997
Westermann, Ernest Jenni Claus, Theological Lexicon Of The Old Testament Vol 3, America: Hendrickson Publisher, 1997, p. 1106
Wilson, Gerald H., “בית” dalam New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis Volume I, ed. Willem A. VanGemeren, United Kingdom: Paternoster Press, 1997
Zodhiates Spiros (ed.), The Complete Word Study Dictionary: New Testament, USA: AMG International, 1992




[1] Berasal dari kata tyIB; (diterjemahkan dalam bentuk maskulin). Dapat diterjemahkan dengan “rumah, tempat tinggal” kata tyBe dapat diterjemahkan dengan “rumah dari” jika dalam bentuk construct. Dalam perubahan selanjutnya seperti dalam kata latyb; ht'y>B; (h) dapat berarti “ke dalam rumah/ tempat  (manusia/ binatang)”. Dalam kombinasi dengan kata-kata lain dapat mengubah arti misalnya dalam kata%l,M,h; tyBe yang berarti “istana”, kata rh;Soh; tyBe yang berarti “penjara”, kata ~yviN"h; tyBe yang berarti “rumah para wanita”, kata !G"h; tyBe yang berarti “taman”, kata dq,[e-tyBe yang berarti “Bet-Eked ; 2 Raja-raja 10:12   Kemudian bangkitlah Yehu pergi ke Samaria. Di jalan dekat Bet-Eked, perkampungan para gembala,”, kata ~ydIb'[] tyBe yang berarti “rumah para budak”. Rumah sebagai sebuah gedung (Kej. 33:17; Ul. 20:5; 22:8; 28:30), tempat tinggal manusia dan keluarganya (Ul. 6:7; 19:1; 21:12b), istana kerajaan (Kej. 12:15; Yer. 39:8), rumah Tuhan (Kej. 12:8; Kel. 23:19; 34:26; Ul. 23:18; Hak. 17:5; Yer. 7:4; Dan. 1:2). 
[2] Harry A. Hoffner, “tyIB” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume II, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975, pp. 107-108.
[3] lh,aoß yang dapat berarti “kemah, tenda dari orang-orang nomaden”, dalam kata yang telah dikombinasikan misalnya dalam kata lh,ao bveyO maka berarti “orang-orang yang tinggal di kemah”, namun dapat juga berarti “tempat tinggal, istana” jika digabungkan dengan kata yang lain, hal ini tampak dari kata dwd  lh,ao yang berarti “istana Daud”, “tempat tinggal para puteri Sion/ Yerusalem” dinyatakan dalam kata !AYci tb lh,ao, “kemah suci sebagai tempat menyembah Allah” d[eAm lh,ao
[4] Ibid, pp. 108-109.
[5] Ibid, p. 110.
[6] Gerald H. Wilson, “בית” dalam New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis Volume I, ed. Willem A. VanGemeren, United Kingdom: Paternoster Press, 1997, p. 655. Kata Bayith dapat berarti rumah, tempat tinggal, bangunan, keluarga  dan dinasti. Secara nominative maka arti dasarnya adalah “rumah”, menandakan rumah pribadi dari individual ataupun keluarga. Jika dikatakan akan dibangun maka akan menggunakan kayu, batu, gading, dan material yang lainnya (Ul. 20:15, 22:8; 1 Raj. 2:36; 22:39; Mzm. 127:1), dan dibuat juga sotoh rumah tersebut (Yos. 2:6-8; 2 Sam. 11:2). Dalam pengertian tempat tinggal yang lain, bentuk nominatif bayit menggambarkan juga tempat tinggal undomesticated binatang-binatang (keledai liar, Ayb. 39:6, Ams. 30:6; Ayb. 8:14). Diantara manusia bayit juga digambarkan sebagai tempat tinggal raja (bet hammelek= istana) dimana sama artinya dari kata pinjaman hekal (dalam arti Sumeria e-gal“rumah besar”). Dalam pemahaman Mesopotamia, kata e-gal secara gradual dapat berari pusat kegiatan social dan kekuatan politis. Dalam bentuk nominatif bayit dapat juga menunjuk kepada Bait Allah atau bait ilah asing (bet ba’al  1 Raj. 16:32; bet YHWH , 2 Sam. 7:5, 13; Zakh. 1;16). Karena “Rumah Allah” merupakan Istana Allah dan juga sebagai pusat kegiatan ibadah Israel, disanalah tempat yang direpresentasikan sebagai tempat tinggal Allah atau tempat juga tempat pertemuan social (sama halnya seperti ohel moed, kemah pertemuan, dalam pengalaman Keluaran). Namun perlu juga dipahami bahwa Allah tidak tinggal dalam satu tempat tinggal tertentu (2 Sam. 7:1-7), juga tidak dibatasi oleh satu tempat tertentu, karena baik surga maupun bumi tidak dapat membatasi Dia (Yes. 66:1).   
[7] Di dalam Perjanjian Lama, “חכל” menunjuk pada tiga pengertian, yaitu: istana (palace), tempat suci  (temple), dan daerah bagian tengah di dalam istana Salomo (the middle area in the temple of Salomon), disebut sebagai tempat suci (holy place). Penggunaan kata khekal hampir sama dengan beth, terutama yang berkaitan dengan tempat raja (1Raj. 21:2); karena rumah Tuhan seringkali berhubungan dengan tempat tinggal Tuhan, maka hanya sedikit saja perbedaan antara istana dan rumah Tuhan. Di dalam Perjanjian Lama, khekal dalam menunjuk kepada rumah Tuhan. Khekal Yahweh searti dengan beth Yahweh (Ezr. 3:10; Yes. 1:9; 3:3; Hag. 2:16). Khekal adalah tempat kudus dan mahakudus yang hanya imam kepala yang bisa memasukinya untuk mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Lihat, M. Ottosson, “חכל” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume III, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1978, p. 383. 
[8] Dalam Perjanjian Lama,  sama halnya seperti Bait Allah, Hukum Taurat merupakan suatu jawaban atas persoalan mengenai kehadiran Allah; disatu sisi, Taurat membawa hadirat Allah yang transenden dan berdaulat yang diungkapkan dalam Firman-Nya. Disisi lain, Taurat menunjukkan bagaimana intervensi Allah didalam dunia tanpa terkecuali, bahkan sampai rincian yang terkecil sekalipun tidak ada yang berada diluar kedaulatan-Nya.  Bentuk keagamaan yang legalis dari Hukum Taurat muncul hanya pada terkemudian secara relatif. Walau demikian, perlu dipahami bahwa Hukum Taurat  tidak diberikan kepada keagamaan tersebut pada suatu masa tertentu saja, sebab Taurat merupakan sebuah kemutlakan dalam gagasan inti dari perjanjian. Edmond Jacob, Theology  of the Old Testament, New York : Harper & Brothers Publishers, 1958, pp. 270-271
[9] Ethelbert W. Bullinger, A Critical Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1975, p. 386.
[10] Otto Michel, “οίκος- οίκια ” dalam The Dictionary of the New Testament Volume V, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967, pp. 119-120.
[11] Tabernakel dan Bait Suci adalah rumah Tuhan, tempat keluarga atau umat pilihan-Nya. Di dalam Perjanjian Baru, rumah di mana keluarga Kristen tinggal disambut oleh saudara-saudara Kristen lainnya untuk beribadah bersama, dan ketika rumah Tuhan dihancurkan pada tahun 70 M dan Sinagoge ditutup bagi orang-orang Kristen oleh penganut agama Yahudi, maka jemaat persekutuan di rumah-rumah menjadi satu-satunya tempat perlindungan bagi orang percaya, sampai mereka membangun gedung khusus bagi tempat peribadatan. Lihat, T. Alton Bryant (ed.), The New Compact Bible Dictionary, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1967, p. 236.  
[12] Pemakaian kata ναός di dalam Perjanjian Baru sebanyak 45 kali (9 kali di Matius , 3 kali di Markus, 4 kali di Lukas, 2 kali di Kisah Para Rasul, 1 Korintus sebanyak 4 kali dan 2 Korintus 2 kali, 1 kali di Efesus dan 2 Tesalonika, dan di Kitab Wahyu sebanyak 16 kali). Yohanes dan Paulus menggunakan  ναός terutama dalam pengertian kiasan bagi umat dan tubuh (9 kali) dan sering mendekati tujuan aktual rumah Tuhan  (Yoh. 2:19, 21; 1Kor. 3:17; 2Kor. 6:16; Ef. 2:21). Kebanyakan bagian di dalam Kitab Wahyu berkaitan dengan rumah Tuhan di surga (11 kali). Lihat, U. Borse, “ναός” dalam Exegetical Dictionary of the New Testament Volume II, eds. Horst Balz & G. Schneider, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991, p. 457.
[13] Otto Michel, op.cit., pp. 121-128.
[14]  Menurut Michaelis, pengertian dari kata σκηνη secara umum adalah tempat tinggal, rumah, gubuk, pemondokan, dan penginapan.  Kata σκηνη (skene) sinonim dengan ‘ohel. Istilah ini digunakan secara terus-menerus karena di dalam terang dari pengembaraan di Padang Gurun, ketika orang Israel menetap di kemah. Kemah itu dianggap sebagai tempat di mana Tuhan bertemu dengan mereka dari waktu ke waktu, bukan sebagai tempat kediaman Allah. Lihat, Wilhelm Michaelis, “σκηνη” dalam The Dictionary of the New Testament Volume VII, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1971, p. 371. 
[15] Pengertian dasar dari Sinagoge (συναγωγή) ialah mengiring/menuntun (to lead), membawa bersama (bring together), berkumpul (to gather), kumpulan orang (gathering), tempat pertemuan (assembly), tempat persekutuan (union), umat secara individu (the individual congregation) semua umat (whole congregation), rumah pertemuan (house of meeting). Dengan demikian, Sinagoge merupakan suatu tempat ibadah, pertemuan, sekolah, berdoa, penginapan, mengajar Taurat. Bagi Yesus, Sinagoge sebagai tempat Ia mengajar dan berkhotbah. Lihat, Wolfgang Schrage, “συναγωγή” dalam  The Dictionary of the New Testament Volume VII, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1971, pp. 798-852. 
[16] Ungkapan ίερόν adalah kata benda neuter dari ίερός, yang artinya: suci, tempat suci. Apakah ίερός menunjuk kepada rumah Tuhan yang benar (Mat. 12:5-6) atau kuil berhala (Kis. 19:27)? Dalam nas Matius 21:12-17 kata ίερόν menunjuk pada rumah Tuhan di Yerusalem. Rumah Tuhan itu seringkali bukan hanya bangunan atau gedung, tetapi tempat pengadilan (court) dan seluruh daerah itu suci. Lihat, Spiros Zodhiates (ed.), The Complete Word Study Dictionary: New Testament, USA: AMG International, 1992, pp. 761-762. Disamping itu, ίερός atau  ίερόν di dalam Perjanjian Baru, terutama pada gereja mula-mula, digunakan untuk menunjuk pada rumah Tuhan. Sedangkan para penerjemah Alkitab Indonesia versi Terjemahan Baru menerjemahkannya dengan Bait Allah atau Bait Suci (house of God), dan BIS menggunakan kata rumah Tuhan. Rumah Tuhan sangat penting bagi Israel dan rumah Tuhan yang dimaksud ialah rumah Tuhan di Yerusalem. Fungsinya ialah sebagai tempat yang kudus/suci dari segala tempat, bahkan sampai sekarang. Pada zaman sekarang ini, di Yerusalem diyakini sebagai tanah suci bagi agama Yahudi, Islam, dan Kristen. Yesus dan para rasul mengajar di rumah Tuhan (Mat. 21:12). Sehingga dalam memahami tentang  ίερόν tidak terlepas dari konsep kekudusan. Yesus sangat menekankan kekudusan rumah Tuhan sebagai rumah Bapa-Nya dan tempat berdoa serta memuji Tuhan.  Lihat, Gottlob Schrenk, “ίερός dan ίερόν” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967, pp. 221-248.    
[17] Kata έκκλησία berasal dari dua suku kata (έκ artinya keluar, dan κάλέω artinya dipanggil). Dari kedua suku kata ini, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa έκκλησία berarti orang yang telah dipanggil keluar (1Ptr. 2:9). Dalam Perjanjian Lama, kata yang sinonim dengan  έκκλησία ialah qahal. Penggunaan kata έκκλησία dalam Injil hanya ditemukan pada Matius 16:18, “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya”, dan Matius 18:17, “menyampaikan persoalan kepada jemaat”. Dari dua teks ini, yang pertama menunjuk pada bangunan secara fisik atau lembaga, sedangkan bagian kedua menunjuk pada orang percaya sebagai tubuh Kristus itu sendiri. Dalam surat-surat Paulus, kata έκκλησία digunakan untuk menyebut jemaat dalam kaitan orang percaya (Rm. 16:23; 1Kor. 14:4; 2Kor. 11:8; 12:13; Kol. 1:24; Flm. 4:15, dan seterusnya). Jadi, kenyataannya έκκλησία menyatakan sekelompok orang yang dipanggil keluar dari dunia oleh Allah. Lihat, Karl Ludwig Schmidt, “έκκλησία” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967, pp. 501-536.
[18] Eliezer Berkovits, Man And God, Canada: Wayne State University Press, Detroit, 1969, p. 210
[19] Ibid, p. 883
[20] Ernest Jenni Claus Westermann, Theological Lexicon Of The Old Testament Vol 3, America: Hendrickson Publisher, 1997, p. 1106
[21] Willem A. Van Gemeren (ed), Op. Cit, p. 879
[22] Ibid, p. 877
[23] Christopher Wright, Op. cit, hlm. 112
[24] Hasan Susanto, Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II, Jakarta: LAI, 2003, hlm. 11
[25] Ibid, hlm. 12
[26] A. Murray, Op. Cit, hlm. 617
[27] Hasan Susanto,  Op. Cip, hlm. 12
[28] Ibid, hlm. 13
[29] Ibid, hlm. 12
[30] D.W. Gooding, “Kemah Suci” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000, hlm. 539.
[31] Tempat suci di Silo merupakan salah satu pusat ibadat dan tempat di mana orang Israel beribadah selama di Padang Gurun setelah menduduki tanah Kanaan. Hal itu diperlihatkan oleh kata-kata yang biasa untuk menunjukkan sebuah bangunan tempat beribadah, “rumah dan istana atau kuil” (1Sam. 7, 9); kemudian diajarkan bahwa Yahweh tinggal di dalam Kemah Suci itu, dan selalu berbicara kepada umat Israel. Kemah Suci itu lebih daripada sebuah rumah keluarga (2Sam. 7:6). Orang Israel mengakui bahwa di Gunung Sinai, Allah yang mengambil inisiatif di dalam menentukan sebuah tempat untuk didiami-Nya di tengah-tengah Israel, dan untuk bertemu dengan mereka, serta dengan tegas menyatakan sebagai kediaman Yahweh. Akibat dari pemahaman ini, orang Israel menganggap bahwa hanya di Gunung Sinai Tuhan berkenan ditemui. Sehingga mereka berencana untuk membangun rumah Tuhan yang permanen di Gunung Sinai. Namun, harus kita memahami bahwa Yahweh bukan TUHAN di Gunung Sinai, melainkan Tuhan yang Mahahadir di mana saja Ia kehendaki. Lih, John Goldingay, Old Testamnet Theology: Israel Gospel Volume I, Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2003, p. 563. 
[32] Secara etimologi “משכן (miskan) berasal dari kata שכן(skene) yang berarti tempat tinggal yang menunjuk pada sebuah tempat di mana aksi diekspresikan; sebab akar kata שכן (skene) mengambil tempat dalam habitat manusia dan tempat kudus. Di dalam teks Ugarit, משכן menyatakan kediaman Allah yang surgawi. D. Kellermann mengemukakan bahwa kata משכן jarang dipakai dalam kaitan tempat kediaman manusia, tetapi Kemah Yahweh. Jika kita memakai kata משכן (misykan) dalam kaitan rumah masyarakat, maka hal itu menunjuk pada tempat pertemuan  dan desa. Manfred Gorg, menyebut bahwa משכן (misykan) dapat menggambarkan suatu kediaman di mana seseorang menginap tanpa memiliki hak milik (penginapan, hotel), artinya ia bukan penghuni tetap, tetapi penghuni sementara. Dengan nada yang sama, Tuhan memproklamirkan di dalam Yehezkiel 37:27 bahwa tempat kediaman-Nya akan ada di tengah-tengah umat-Nya sepanjang masa. Demikianlah segala bangsa akan mengenal bahwa Tuhan menguduskan Israel. Istilah משכן (misykan) di sini menunjuk pada rumah Tuhan di Yerusalem. Lihat, D. Kellermann, “משכן” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume IX, eds. G. Johannes Botterweck, Helmer Ringgren & Heinz-Joseph Fabry, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1998, pp. 58-64. 
[33] Kemah Suci identik dengan kemah pertemuan atau kesaksian. Meskipun banyak tradisi tentang Kemah Suci, namun jarang diperbincangkan dari pada tabut. Kemah Suci itu tidak dalam pengertian tempat kediaman Tuhan di bumi, seperti kasus selanjutnya dengan rumah Tuhan yang dibangun oleh Salomo; itu hanya tempat pertemuan antara Tuhan dengan Musa. Tuhan menampakkan diri dari surga di dalam wujud awan yang memenuhi pintu Kemah Suci. Itulah sebabnya Kemah itu disebut kemah pertemuan  יעד (yada). Di tempat itu orang-orang Israel meminta petunjuk kepada Tuhan. Dengan demikian, kemah merupakan suatu tempat di mana dicari nubuat, dan memberitakan firman Tuhan. Namun, setelah orang Israel menetap di Kanaan, Kemah Suci tidak muncul lagi di dalam cerita sejarah. Lihat, Gerhard von Rad, Old Testament Theology Volume I, London: SCM Press, 1975, pp. 234-236.  
[34] Salah satu hal yang sangat penting dari janji Allah kepada umat Israel adalah kesepakatan/perjanjian  bahwa Tuhan tetap hadir untuk menyertai mereka. Meskipun hakekat Allah itu dimanifestasikan dengan simbol-simbol (seperti tiang api dan awan), tetapi itu menunjukkan suatu bukti bahwa Allah sedang berada di tengah-tengah mereka (Kel. 25:8). Struktur Kemah Suci (Kel. 25-40) dirancang untuk melambangkan kehadiran Allah secara aktif di hadapan mereka. Kemah Suci itu juga disebut sebagai kemah pertemuan, karena di sana Allah mengadakan pertemuan dengan umat-Nya, dengan keimaman kudus yang ditahbiskan untuk mewakili umat Israel di hadapan Allah. Kehadiran Allah berkaitan dengan Kemah Suci memulihkan kembali persekutuan yang intim antara Allah dan manusia pada saat manusia jatuh dalam dosa (Kej. 3:8). Perjanjian Baru membaharui tema kehadiran Allah di antara manusia dengan proklamasi bahwa, ”Firman itu telah menjadi manusia dan diam/berkemah di antara kita” (Yoh. 1:14). Lihat, Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004, hlm. 184-185. 
[35] Tabut tersebut dibawa dari Kiryat-Yearim. Qiryat-ye’arim secara harafiah disebut sebagai kota hutan-hutan. Satu kota utama orang Gibeon (Yos. 9:17), terletak di perbatasan Yehuda dan Benyamin (Yos. 18:14, 15 bnd. Hak. 18:12), mula-mula diberikan kepada Yehuda (Yos. 15:60). Kemudian kalau kita beranggapan bahwa kota ini identik dengan Kiryat diberikan kepada suku Benyamin (Yos. 15:60) yang memberi kesan bahwa di lokasi itu pernah didirikan bukit perngorbanan orang Kanaan, Baalah (Yos. 15:9, 10), Baale Yehuda (2 Sam. 6:2) dan Kiryat-Arim (Ezr. 2:25). Tabut Perjanjian dibawa ke kota ini dari Bet-Semes dan dititipkan kepada Eliezer (1 Sam. 7:1). Dua puluh tahun kemudian raja Daud membawa Tabut Perjanjian itu ke Yerusalem (2 Sam. 6:2; 1 Taw. 13:5; 2 Taw. 1:4). Waktu membawa tabut perjanjian itu terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan kematian Uza (2 Sam. 6:6-8).
[36] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari ± 330 sM-135 M, Terj. Soeparto Poerbo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, hlm. 134-136.
[37] Margaret Barker, Pintu Gerbang Sorga: Sejarah dan Simbolisme Bait Allah di Yerusalem, Terj. B.A. Abednego, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 4-7.
 [38] Ketika Raja Herodes Agung menjadi raja (keturunan setengah Yahudi dari Idumea) menguasai orang-orang Yahudi dari segi politik dan keagamaan. Nasib orang Yahudi sangat tergantung kepada pemerintahan Romawi. Hal itu memberikan pukulan berat bagi orang-orang Yahudi, karena ia campur tangan di dalam persoalan agama Yahudi. Herodes menggantikan Imam Agung Hirkanus II dan menggantikannya dengan pilihannya sendiri. Keluarga imam dibersihkan. Peranan Sanhedrin sebagai penguasa tertinggi disingkirkan. Tetapi untuk menarik simpati orang-orang Yahudi, Herodes mendirikan rumah Tuhan yang disebut Bait Allah (Yoh. 2:18-22). Pada saat pemerintahannya, rumah Tuhan tidak hanya berfungsi sebagai pusat keagamaan, melainkan pusat perdagangan. Usaha itu menentramkan rasa keagamaan orang-orang Yahudi, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang luas. Orang tidak terlalu dibebani pajak yang tinggi karena mereka telah melihat secara langsung hasil dari pajak yang mereka berikan kepada pemerintah Romawi untuk kebutuhan membangun rumah Tuhan. Praktek perdagangan itu tidak dilarang oleh pemimpin agama Yahudi karena dapat memberikan keuntungan bagi mereka secara pribadi. Mereka bisa menjual kurban-kurban dan ternak mereka dengan harga yang sangat tinggi kepada orang-orang Yahudi yang berziarah ke rumah Tuhan setiap tahun. Sebenarnya di luar kota Yerusalem, hewan-hewan kurban jauh lebih murah harganya, tetapi ada resikonya bahwa hewan-hewan itu tidak diterima oleh imam-imam karena cacat fisik. Jadi, terpaksalah orang membeli hewan-hewan kurban itu melalui para pedagang di rumah Tuhan. Para imam memanfaatkan kesempatan itu untuk memperkaya diri dengan cara menjual dengan harga tinggi. Praktek seperti itu merupakan secara tidak langsung disebut sebagai tindakan pemerasan, ketidakadilan, dan menimbulkan kesenjangan sosial. Karena jabatan mereka sebagai imam digunakan untuk mencari kuntungan sendiri dan memeras orang lain. Rumah Tuhan telah berubah menjadi tempat perdagangan, sehingga sirnalah kekudusan rumah Tuhan. Lihat, B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm.463-465. Bdk. M.H. Bolkestein, Kerajaan Yang Terselubung: Ulasan atas Injil Markus, Terj. Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 227-229. 
[39] H.H. Rowley, op.cit., hlm. 63-64.
[40] Yerusalem mendapat perhatian sentral bagi kepercayaan/keyakinan orang Israel. Mereka mengatakan bahwa Allah telah memilih Yerusalem sebagai gunung milik-Nya, tempat dan pusat kehadiran-Nya di atas muka bumi, sekadar untuk memberikan umat-Nya suatu dasar teguh dan tempat perlindungan yang mantap. Allah mengangkat hamba-Nya, Daud, dan para raja lainnya di Sion, sekadar untuk menjadikan kota itu suatu teladan bagi umat yang bermasyarakat secara merdeka, adil, bijaksana, dan rukun. Allah berkenan menerima rumah Tuhan di Sion sebagai tempat kehadiran-Nya yang khusus, sekadar untuk menjadi sembahan tunggal bagi umat-Nya di sana, dan untuk menguduskan umat itu sebagai jemaat yang berbakti kepada-Nya. Allah menghukum Yerusalem yang telah memberontak kepada-Nya, dengan tujuan untuk memperbaharui kota itu, sampai menjadi induk umat-Nya yang baru, terkumpul dari antara Israel dan bangsa-bangsa lainnya, di dalam dunia yang baru. Yerusalem disebut sebagai gunung dan kota Tuhan, kediaman yang dipilih Allah, gunung batu yang tidak pernah goyah, tempat perlindungan dan sukacita bagi umat, kota Daud, tempat lahirnya masyarakat yang utuh, benteng kebenaran dan keadilan, pusat pengajaran hikmat, tempat pertemuan dengan Allah dan perwujudan umat Tuhan. Tetapi juga sebagai kota sundal yang ditinggalkan oleh Allah. Lihat, Christoph Barth, Theologia Perjanjian Lama 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, hlm. 4.  
[41] J.D. Douglas, “Bait Suci” dalam  Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000, hlm. 136-143. Bait Allah (Yun. hieron dan naos) dalam Perjanjian Baru menunjuk pada bangunan fisik dan orang percaya. Dalam kitab-kitab Injil, sikap Yesus terhadap Bait Allah  di Yerusalem mengandung dua sisi yang bertentangan, yakni di satu sisi Yesus menghargainya, tetapi di pihak lain Yesus menganggapnya tidak begitu penting. Yesus menyebut rumah doa sebagai Bait Allah  (Mat. 12:4; Yoh. 2:16). Yesus mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di dalamnya kudus karena dikuduskan oleh Allah  yang berdiam di dalamnya (Mat. 23:17, 21). Semangat Yesus terhadap rumah Bapa-Nya mendorong Dia menyucikannya (Yoh. 2:17), dan keprihatinan-Nya akan hukuman yang mengancam kota suci itu membuat Dia menangis (Luk. 19:41). Sebaliknya, Yesus mengatakan bahwa Ia lebih agung dari Bait Allah (Mat. 12:6). Bait Allah telah digunakan untuk mengeringkan rohani Israel (Mrk. 11:12-26). Oleh karena itu, Bait Allah  itu akan dibinasakan karena kenajisannya yang mengerikan (Mrk. 13:1). Jadi, Yesus mula-mula menghormati Bait Allah  sebagai tempat beribadah, berdoa, bersekutu dalam kasih dan tempat yang kudus, namun kemudian karena Israel menolak-Nya, maka Bait Allah andalan mereka itu segera dihancurkan. Dalam surat-surat kiriman Paulus, Bait Allah disebut sebagai bangunan yang hidup yaitu gereja atau orang percaya (1Kor. 3:16-17; 6:19; 2Kor. 6:16-7:1; Ef. 2:19-22).
[42]  Christoph Barth, Op.Cit., hlm. 66-68
[43] Dalam ayat ini dinyatakan tempatnya di gunung Moria. Nama tempat ini muncul dua kali dalam PL. Dalam Kejadian 22:2 diceritakan bahwa Allah memerintahkan Abraham membawa Ishak ke “tanah Moria” ( hY"+rIMoh; #r<a,Þ) dan mempersembahkan dia di sana sebagai korban bakaran di salah satu gunung. Gunung yang dipilih itu jauhnya tiga hari perjalanan (22:4) dari tanah orang Filistin (21:34; daerah Gerar) dan kelihatan dari jauh (22:4). Ayat lain yang menyebut nama itu adalah 2 Tawarikh 3:1, di situ dikatakan Bait Suci Salomo terletak di “gunung Moria” ( hY"ërIAMæh; ‘rh;B.), yaitu tempat pengirikan Ornan/Arauna orang Yebus, tempat Allah menyatakan diri kepada Daud (3:2).
[44] Tempat Mahakudus merupakan kubus yang sempurna dengan sisi 20 hasta. Walaupun kita mnegharapkan lantainya dibuat lebih tinggi dari hekhal, tidak ada acuan untuk ini. Di dalamnya ada dua patung kayu berdampingan, tingginya 10 hasta. Dua dari sayap patung itu saling menyentuh di tengah-tengah di atas tabut perjanjian, dan sayap yang satu lagi dari setiap patung itu menyentuh dinding utara dan dinding selatan secara berurutan (1 Raj. 6:23-28). Di tempat Mahakudus inilah Allah menampakkan kehadiran-Nya dengan awan (1 Raj. 8:10). Tiap bilik dilapisi dengan kayu aras dan lantainya dilapisi dengan papan kayu atau kayu sanobar (berosy). Dinding-dinding dan pintu-pintu diukir dengan gambar-gambar bunga, pohon korma (1 Raj. 6:29) dan kerub-kerub disalut dengan emas. Tidak ada batu kelihatan (1 Raj. 6:18). Dinding luar tempat Mahakudus dan tempat kudus terbuat dari dua bagian yang tebalnya 1 hasta. Gunanya ialah menopang balok-balok penahan untuk tiga tingkat bilik yang kecil di sekeliling dinding itu. Jadi bilik-bilik di lantai dasar, lebarnya 5 hasta, yang diatasnya 6 hasta, dan yang paling atas 7 hasta. Bilik-bilik itu menjadi tempat penyimpanan berbagai barang persediaan dan pakaian-pakaian jabatan, barangkali juga tempat penginapan imam-imam yang bertugas, dan tempat penyimpanan uang persembahan dan barang-barang, yang datang dari orang-orang yang beribadah.
[45] Tempat kudus tersebut panjangnya 40 hasta, lebarnya 20 hasta dan tingginya 30 hasta. Bagian ini disekat dari balai oleh pintu kembar kayu saru, masing-masing dibuat dengan dua daun pintu. Jendela-jendela yang rapat bidainya di dekat langit-langit, menerangi tempat kudus (1 Raj. 6:4). Di senilah terdapat mezbah pedupaan atau mezbah pembakaran ukupan (Kel. 30), meja untuk roti sajian dan kelima pasang kandil, besama dengan alat-alat untuk korban-korban persembahan. Pintu-pintu kembar dari kayu saru yang menuju ke tempat Mahakudus jarang dibuka, barangkali hanya bagi imam besar waktu upacara hari raya pendamaian.
[46] Panjang balai 10 hasta dan ukuran lebarnya 20 hasta.
[47] Ada dua nabi yang bekerja selama masa pembuangan Babilonia, yakni Yehezkiel dan Yesaya (Deutro-Yesaya). Kedua nabi ini menubuatkan pengharapan yang baru tentang keluaran dari Babel ke Yerusalem. Allah akan mengizinkan mereka membangun kembali Yerusalem dengan segala kemegahannya sehingg seluruh bangsa di muka bumi akan memperoleh keselamatan yang daripada Allah (Yes. 45:22; 49:6; 54:11-14). Koresy berhasil menguasai Babilonia sejak tahun 539 sM. Ia kemudian menyetujui agar orang-orang Yahudi membangun kembali Bait Allah di Yerusalem. Ia juga menyetujui agar memulangkan segala peralatan Bait Allah yang dirampas oleh bangsa Babilonia dahulu. Begitu juga biaya pembangunan Bait Suci dimasukkannya ke dalam anggaran belanja kerajaannya (Ezr. 6:3-5). Ia memerintah orang-orang Yahudi yng pulang ke negerei meraka agar melaksanakan pekerjaan pembangunan tersebut, dan mendorong orang-orang Yahudi yang masih mau tinggal di Babilon untuk memberikan sumbangan bagi mereka yang pulang ke Yerusalem untuk tujuan tersebut (Ezr. 1:2-4). Begitulah ada sejumlah orang Yahudi yang menyatakan persetujuannya bagi kemungkinan baru untuk melayani Tuhan.

[48] Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab Kitab Imamat, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 24-25
[49]  Mungkin sekali dia adalah putra Yoyakhin. Ia menjadi pemimpin dari rombongan pertama orang-orang Yahudi yang pulang ke Yerusalem. Anehnya para sejarawan di kemudian hari sedikit sekali mengetahui tentang orang ini dan kelompok yang dipimpinya. Mereka membuat kekeliruan dengan menyamakan kegiatannya sebagai kegiatan dari seorang tokoh lain bernama Zerubabel, yang juga  memimpin rombongan berikut orang-orang Yahudi yang kembali ke Palestina pada waktu yang kemudia. Sehingga kita pun tidak mengetahui manakah dari mereka yang sebenarnya telah meletakkan dasar dari bangunan Bait Suci yang baru (Ezr. 5:6; Zak. 4:9). Lih. David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 216
[50] Mungkin cucu Yoyakhin yang bernama Zerubabel. Ia memimpin rombongan kedua yang pulang ke Yerusalem. Rombongan kedua ini adlaah rombongan yang lebih besar dari rombongan yang pertam, dan proses pulangnya mereka barangkali baru berakhir ketika Kambyses berhasil merebut Mesir pada tahun 525 sM.
[51] Denis Green, Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004,  hlm. 20-21
[52] H.L. Elison, From Babylon To Betlehem, Philadelphia, The Atlic Press, 1976, p. 5. Masa pembuangan bagi orang Yehuda merupakan suatu hukuman atas dosa dan kejahatan mereka supaya mereka dapat mengoreksi diri dan mentaati perintah-perintah Tuhan. Selama periode tersebut kaum Yehuda merupakan rakyat jajahan, kendati demikian mereka tidak diperhambakan malah mereka bebas untuk melakukan segala kebiasaan umum baik agama maupun perdagangan, sehingga banyak diantara mereka menjadi kaya dan mendapat jabatan pemerintahan yang tinggi. Pembuangan bangsa Israel juga mempunyai hasil yang baik diantaranya, monotheisme ditegakkan, umat Yahudi berpaling dari penyembahan berhala dan polytheisme dan sejak zaman itu orang Yehuda hanya menyembah dan berbakti kepada Allah  yang Mahaesa. Mereka menjadi bersemangat dalam bidang pendidikan sehingga rumah sembahyang dijadikan pusat pendidikan sekaligus merupakan suatu lembaga yanh kokoh bagi rakyat Yahudi. Bangsa Israel juga lebih menghormati taurat Musa di pembuangan karena sebelum pembuangan hukum Allah  hanya dipelajari oleh para Imam dan para nabi saja.
[53] Denis green, Op. Cit, hlm. 19-20
[54] A. Seventer, Tafsiran Alkitab Zakharia dan Hagai, Jakarta: BPK-GM, 1983, hlm.18. Pada tahun 520 sM nabi Hagai dan Zakharia datang ke Yerusalem untuk mendorong penduduknya meneruskan pembangunan kembali Bait Allah (Ezr. 5:1). Keduanya percaya bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan itu adalah langsung dari ketamakan dan sikap mementingkan diri sendiri. Penduduk Yehuda rupanya memperhatikan tantangan kedua nabi ini sehingga mereka meneruskan pekerjaan pembangunan Bait Allah tersebut. Hanya dalam tempo empat tahun pembangunan Bait Allah itu rampung. Akan tetapi hal itu bukan berarti tanpa kesukaran sama sekali. Sebab ketika Darius melancarakan programnya untuk menata ulang seluruh administrasi pemerintahannya dengan menyusun ulang pembagian seluruh wilayah kemaharajaannya dalam bentuk kesatrapan-kesatrapan, Palestina menjadi bagian dari propinsi yang disebut “Seberang Sungai” (seberang sungai Efrat bnd. Ezr. 5:6). Pejabat Persia yang memerintah daerah ini, yang bernama Tatnai, rupanya merasa sangat terganggu dengan adanya pembangunan tersebut. Ia kemudian melaporkan persoalan ini kepada raja Darius. Raja Darius kemudian memerintahkan agar dilaksanakan penyelidikan terhadap arsip-arsip kerajaan mengenai masalah tersebut, dan ia memperoleh bukti bahwa raja Koresy dahulu telah memerintahkan pembngunan Bait Allah tersebut. Berdasarkan bukti tersebut maka raja Darius memerintahkan Tatnai untuk membiayai seluruh pekerjaan pembangunan Bait Allah, yang dananya diambil “dari penghasilan kerajaan, dari upeti daerah seberang sungai Efrat” (Ezr. 5:3-6:12). Dengan demikian pada akhirnya pembangunan kembali Bait Allah itu rampung juga. Memang tataan tidak sebagus dan sekuat Bait Allah yang pertama yang dibangun raja Salomo. Juga dekorasinya tidak beranek-ragam seperti Bait Allah yang pertama. Walaupun demikian orang-orang Yahudi boleh merasa puas karena akhirnya juga mereka memiliki suatu pusat peribadan lagi.
[55] Th. Vriezen, Op. Cit, hlm. 276
[56] Gerhard Von Rad, Old Testament Theology Vol II, London: SCM Press LTD, 1993, p. 281
[57] A. Seventer, Op. Cit, hlm. 18
[58] Roland de Vaux, Ancient Israel, Its Life and  Institution, New York: Mc Graw-Hill Book Company inc, tt, pp. 324-329
[59] Bait Suci sering diasosiasikan sama dengan kehadiran Tuhan di antara umat-Nya. Di dalamnya dipenuhi dengan awan sebagai simbol kehadiran kemuliaan Allah (1 Raj. 8:10-11;  hw")hy> tyBeî-ta, aleÞm' !n"ï['h,w bnd Kel. 40:34-35) dan dianggap sebagai tempat Allah berdiam (1 Raj. 8:13; 2 Raj. 19:14; Mzm. 27:4, 76:2; 132:13-14).  Robin Rontledge, Old Testament Theology, A Thematic Approach, Nottingham: Apollos Inter-Varsity Press, 2008, p. 179
[60] Yesaya menerima panggilannya di dalam Bait Allah di Yerusalem, dan sangat terkejut merasakan kehadiran Allah . Kesadaran dan kehormatan pada kehadiran Allah ini menjadi dasar dari protes para nabi terhadap upacara-upacara peribadahan yng munafik. Perlunya menerima berkat, atau hak Allah untuk dipuja tidak dipertanyakan, demikian juga seluruh aspek kehidupan dari pemujaan itu. Malah sebaliknya. Kehadiran Allah mengharuskan adanya peribadahan pada Allah yng lebih mendalam dan serius, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hans-Ruedi Weber, Kuasa, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 159
[61] Bait seperti hal tersebutlah yang diutarakan Yeremia untuk melawan kebiasaan pada masa itu, melawan kepercayaan buta dalam bangunan yang telah digunakan untuk membenarkan tingkah laku yang keji (Yer. 7:1-15; 26:1-15).
[62] Sebenarnya kediaman Tuhan di bumi tidak akan pernah dibatasi oleh manusia. Karena Tuhan adalah Mahahadir (omnipresent). Kemahahadiran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tuhanlah yang menentukan di mana seharusnya Ia tinggal dan berkenan berdiam di dalamnya. Karena Dia adalah Mahakudus, sehingga tempat-Nya (Kemah Suci atau Tabernakel, Sinagoge, Bait Suci, gereja dan orang percaya) harus kudus atau suci. Kekudusan Allah itu harus menjadi kriteria utama bahwa suatu tempat disebut rumah kediaman Tuhan. Peranan rumah Tuhan yang sebenarnya (Kemah Suci atau Tabernakel, Sinagoge, Bait Suci, gereja, dan orang percaya) ialah tempat beribadah, berdoa, bersekutu, melayani, bersaksi,  meminta pengampunan dosa dan pengudusan, mengajarkan firman Tuhan, menyelesaikan persoalan kehidupan, dan tempat penyembuhan sakit penyakit atau penderitaan umat Tuhan (mukjizat). Dengan adanya rumah Tuhan, maka umat Tuhan merasakan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan mereka.
[63] Pada masa Hizkia oleh nabi Yesaya, mengingatkan bahwa Hizkia jangan menyerah kepada Sanherib. Yesaya membesarkan hati Hizkia dengan menghina keangkuhan orang Asyur demi nama Tuhan dan secara khusus menjanjikan kelepasan bagi Yerusalem: “Ia tidak akan masuk ke kota ini dan tidak akan menembakkan panah ke sana” (2 Raj. 19:32). Pembebasan yng dinubuatkan nabi Yesaya dan dilaksanakan oleh malaikat Tuhan, menimbulkan masalah-masalah untuk nabi-nabi berikutnya, seperti nabi Yeremia. Kelepasan yang dialami oleh Hizkia dianggap sebagai bukti bahwa Sion, di mana istana Daud dan Rumah Allah yang dibangun oleh Salomo terletak, tidak dapat diganggu-gugat. Tindakan Allah yang menyelamatkan mereka dijadikan dasar untuk berpuas diri dan berkompromi. Kisah perlindungan ajaib ini, kemudian berakhir dengan kisah tragis tentang kejatuhan Yerusalem (2 Raj. 25).
[64] Umat Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan telah merasakan lawatan kepedulian dan kehadiran Allah di sepanjang hidup mereka; buktinya menjadi nyata ketika Tuhan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan di Babel (Kel. 13:17-22; 14:15-31; Ezr. 1:1-10). Pembebasan itu merupakan momen yang sangat penting dan berharga dalam sejarah Israel, juga berlaku bagi orang Kristen. Pembebasan umat Israel itu diyakini sebagai bagian dari janji Allah yang menyelamatkan umat pilihan-Nya. Israel sebagai umat yang percaya kepada Tuhan yang Esa (Ul. 6:5) meresponi kasih Allah itu dengan ucapan syukur. Sebagai wujud keyakinan bangsa Israel kepada Tuhan, mereka membuat tempat khusus atau kudus bagi Tuhan, yaitu sebagai tempat berdoa, menyembah dan bersekutu. Tempat itu harus dijaga kekudusannya oleh setiap orang yang datang menghampiri-Nya. Rumah Tuhan yang dimaksud adalah rumah Tuhan atau pusat ibadah di Yerusalem.
[65]  Jika Bait Suci tidak mempunyai nilai simbolis, kita sebaiknya melihat pemahaman tentang itu bukan dalam mite ataupun dalam kosmologi, tetapi dalam sejarah Israel, karena agama Israel bukan agama mite atau juga bukan agama natural, tetapi yang mempunyai sejarah tersendiri. Hanya sebagai perayaan ibadah keluarnya dari pembebasan perbudakan, jadi Bait Suci disebut dan berarti Yahweh memilih Yerusalem dan keturunan Daud dan sebagai lambang perlindungan kepada kota dan keturunan tersebut.
[66] Ditempatkan pada halaman gedung induk Bait Suci. Di pulau Siprus ditemukan adanya sebuah baskom dari batu. Lambang lembu itu memang lazim dipakai di Kanaan sebagai simbol kesuburan, dan kemungkinan besar lambang ini diambil alih dari sumber-sumber Kanaan untuk dipakai sebagai perhiasan di dalam Bait Suci. Kita ingat bahwa Yerobeam mendirikan patung-patung lembu di dalam kuil-kuilnya di Betel dan di Dan (1 Raj. 12:28). Penggalian-penggalian arkeologis telah menemukan patung-patung lembu, dengan patung olah yang berdiri di atas punggung lembu  tersebut,. Lembu-lembu yang didirikan Yerobeam tidak dimaksudkan sebagai patung yang menggambarkan Yahweh, melainkan sebagai “kendaraan Yahweh  dengan tidak ada tergambar figure Yahweh berdiri diatasnya. Hal ini disebabkan Yahwisme merupakan agama tanpa patung yang melarang keras penggambaran figur Yahwe (1 Raj. 14:9; Hos. 8:5; 2 Raj. 17:16; 2 Taw. 13:8)”. Du halaman depan Bait Suci ada sepuluh tempat yang lebih kecil untuk penyucian (pembasuhan), juga dari tembaga (1 Raj. 7:38), dan tempat-tempat penyucian juga dapat dipararelkan dengan tempat-tempat kuil lainnya. Lih. H.H. Rowley, Op.Cit, hlm. 66-67
[67]  M.T. Mawene, Perjanjian Lama Dan Teologi Kontekstual,  Jakarta: BPK-GM,  2008, hlm. 68
[68] Tidak dapat dipastikan apakah tiang-tiang  tersebut  berdiri lepas dari gedung atau tidak, tetapi baik bentuk tiang  yang lepas, baik bentuk tiang yang menyokong gedung, terdapat juga dalam kuil-kuil kuno yang lain. Pernah timbul banya dugaan tentang makna nama Yakhin dan Boas itu. Banyak teori yang diajukan, tetapi sukar mendapat kepastian. Sebenarnya nama-nam ini tidak banyak membantu pengertian kita tentang cara-cara dan makna ibadat di Israel. Tiang-tiang itu merupakan masseboth seperti yang terdapat pada kuil-kuil Kanaani kuno. Tiang Yakub di Betel juga merupakan massebah (Kej. 28:18) dan sepanjang Perjanjian Lama sering disebut-sebut adanya tiang-tiang yang demikian di atas bukit-bukit pengorbanan. Penggunaan masseboth ditolak dalam Ulangan 16:22 tetapi tidak ada bahan bukti bahwa ada suara-suara di Israel yang menolaknya sebelum Ulanang itu (Hos. 3:4). Pendapat lain mengatakan bahwa tiang tersebut terbuat dari perunggu yang dihiasi, berdiri di sebelah kanan dan kiri jalan masuk ke Bait Suci (1 Raj. 721; 2 Taw. 3:15-1 7). Waktu Yerusalem dimusnahka tahun 587 sM kedua tiang itu dirobohkan dan logamnya dibawa ke Babel (2 Raj. 25:13). Di Bait Suci yang dinubuatkan oleh nabi Yehezkiel tiang-tiang ini didirikan kembali, tetapi dari kayu (2 raj. 40:49)
[69] Penggunaan dua nama yang berasal dari bahasa Fenesia ini dapat dimengerti sebab seniman pembuatnya, yakni Haran, berasal dari kota pelabuhan bangsa Fenesia. Dialah yang ditugaskan Salomo untuk mengerjakan semua peralatan tembaga dalam Bait Allah. Tiang seperti itu terdapat juga dalam kuil-kuil Kanaan dan merupakan lambang dewi kesuburan Asyera. Biasanya tiang-tiang itu berada di sebelah kiri dan kanan mezbah, dan merupakan lambang-lambang kuno di Kanaan bagi suatu tempat pemujaan. Jelas sekali bahwa kehadiran kedua tiang tersebut dalam Bait Allah bukan sekedar untuk memenuhi unsur dekoratif, tetapi juga menghadirkan simbol kesuburan negeri dan tanah Israel di hadapan Yahweh, Allah Israel, dengan makna baru, yakni tindakan Alah meneguhkan dengan kekuatan-Nya.
[70]  ~ynIßP' ~x,l, secara harafiah berarti “roti di hadapan wajah”, yaitu wajah Allah (Kel. 25:30), atau  tk,r"_[]M;h;( ~x,l,ä roti teratur (1 Taw. 9:32). Sesudah Musa menerima petunjuk Allah  tentang  meja, pinggan, cawan, kendi dan piala untuk “tempat kudus” di Kemah Suci, maka Allah  menyuruh di meletakkan roti sajian di atas meja itu, peraturan yang tidak boleh dihentikan (Kel. 25:30). Roti sajian adalah 12 roti bundar yang dibakar, dibuat dari tepung yang terbaik. Tiap roti bundar itu  du persepuluh efa. Roti disusun berjajar dua, 6 roti satu susun (Im. 24:6;  tAkßr"[]m;(). Di atas susunan roti itu dibubuhi kemenyan tulen “menjadi bagian ingat-ingatan” dan menjadi korban bakaran bagi Yahweh (Im. 24:7). Tiap Sabat imam wajib menyusun roti yang baru atau panas di atas meja (1 Sam. 21:6), roti yang lama menjadi jatah tambahan bagi Harun dan anaknya, yang harus memakannya di tempat kudus karena roti itu adalah “maha kudus” (Im. 24:5-9). Roti sajian demikianlah yang diminta Daud dari imam Ahimelekh bagi dirinya dan pengikutnya ( 1 Sam. 21:1-6). Meja roti sajian diletakkan di dalam tempat kudus di utara Kemah Suci berhadapan dengan kandil emas (Kel. 26:35). Meja itu dibuat dari kayu penaga disaluti dengan emas dan berbingkai mahkota emas. Di ke-4 sudutnya ada galang emas untuk kayu pengusung bila mengangkutnya (Kel. 25:23-28). Sesuai dengan perintah semula, meja sajian tidak pernah alpa dari tempat yang telah ditentukan untuk ibadah memuja Allah (2 Taw. 4:19; 13:11). Bani Kehat bertugas mengurus roti sajian (1 Taw. 9:32). Lih. D. Freeman, “Roti Sajian” dalam, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (M-Z) (Ed. J.D. Douglas), Jakarta:BPK-GM, 2005, hlm. 329-330
[71]  Doa ini diucapkan oleh Yunus ketika ia pulang kembali ke rumah dari dalam perut ikan paus. Doanya termasuk jenis ratapan karena, pada ayat 2 dengan segera mulai dilukiskan penderitaannya. Akhir dari doanya adalah ungkapan kepercayaan dan syukur kepada Tuhan, yang percaya kepada keselamatan dari Tuhan, dengan iman yang teguh. Ada persamaan khusus antara ratapan dari Yunus dengan Mzm 18 dan 116. A.B. Davidson,  An Introductionary Hebrew Bible, Edinburg: T&T Clark, 1962, p. 261
[72] Jadidiah Than, Mekanika Doa: Bagaimana Anda Berkomunikasi Dengan Dia, Jakarta: Yayasan PI Imanuel, 1998, hlm. 58
[73] Ludwing Köhler, Old Testament Theology, Oxford: University Press,1957, p. 251
[74] Doa syafaat juga dilakukan. Doa syafaat dapat didefinisikan sebagai doa kudus, penuh keyakinan, dan tekun yang dengannya seseorang memohon dengan sangat kepada Allah demi seseorang atau beberapa orang lain yang benar-benar membutuhkan campur tangan Allah. Alkitab sering kali mengacu kepada doa syafaat orang percaya dan mencatat banyak contoh dari doa yang luar biasa dan penuh kuasa.  …, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas, 2006, hlm. 1360. Pada zaman sebelum pembuangan jenis doa syafaat sering terdengar yang dilakukan oleh orang-orang khusus seperti nabi, imam, dan raja. Dalam Perjanjian Lama pemimpin  umat Allah, seperti raja (1 Taw.21: 17; 2 Taw.16: 14-42), nabi (1 Raj.18:41-45; Dan. 9), dan imam (Ezr.9:5-15; Yl.1: 13; 2:17-18) bertugas memimpin dalam doa syafaat bagi bangsa itu.  Nyanyian dan doa juga mendapat peranan yang penting dalam ibadah di bait suci dipimpim para imam. Unsur pelayanan kenabian yang penting dalam mewakili para penyembah dalam memanjatkan doanya kepada Tuhan. Nabi tidak hanya penyampai firman Allah kepada manusia tetapi juga menjadi wakil dan penyambung lidah manusia dihadapan Tuhan karenanya, nabi sering muncul sebagai juru doa syafaat. William Dyrness, Thema-thema dalam Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1992, hlm. 147
[75] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2007, hm. 197
[76] Burke O. Log, 1 Kings With an Introduction To Historical Literature, Grand Rapids Michigan: W.M. Eerdmans, 1984, p. 94 
[77]  Horst Dietrich Preuss, Old Testament Theology, Lousiville: Westminster John Knox Press, 1995, pp. 250-253
                [78]  Dalam Perjanjian Lama memang ada pola-pola bagi doa, tapi tidak ada aturan yang mengikat yang mengatur baik isinya maupun upacaranya. Doa-doa yang dilakukan melalui korban di Bait Suci di Yerusalem dan melalui pujian, maupun doa dan eksposisi Firman dalam sinagoge di perantauan dan melalui sunat, juga puasa semua ini dilakukan untuk mendapatkan pertolongan dari Allah melalui hubungan peribadi antara umat-Nya dengan Allah.
[79] Gereja mula-mula telah mengadopsi peraktek ibadah harian keyahudian yang diadopsi dan dikembangkan oleh Gereja mula-mula. Menurut tradisi keyahudian dalam satu hari terdapat saat-saat berdoa yang dibagi berdasarkan waktu. Pemazmur menyinggung waktu doa sebanyak tujuh kali (bnd. Maz. 119:164) bahkan ada bagian-bagian yang dinyanyikan dari kitab suci. Yaitu nyanyian doa yang dilakukan di Bait suci, kadang kala diperaktekkan di Sinagoge.
[80] Joseph P. Free, Arkheologi dan Sejarah Alkitab, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1997, hlm. 190-191
[81] I. J. Cairns, Ibadat Israel Kuno, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm. 168
[82] Charles juga menegaskan bahwa bahkan ketika 300 tahun setelah pembuangan dari Babel pun tradisi ini tetap terpelihara. Charles L. Etherington, Protestant Worship Music, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1962, pg. 14. Peranan rja-raja, sangat berarti dalam pengembangan musik di Bait Suci tersebut terkait dengan mazmur. Mungkin mazmur-mazmur tersebut dipakai berkali-kali, karena tidak ada sesuatu dalam mazmur-mazmur itu yang mengaikatkannya dengan situasi historis tertentu. Misalnya Mazmur 24 agaknya merupakan mazmur untuk mengiringi pawai ketika tabut diangkut masuk ke Yerusalem. Tetapi ternyata bahwa saat yang dimaksudkn dalam mazmur itu bukanlah saat historis, waktu tbut tersebut pertama kali dibawa raja Daud ke dalam kota Yerusalem, karena Mazmur 24 memberikan kesan bahwa Bait Suci sudah berdiri (lih. Mzm 24:7).  Mungkin mazmur ini dipakai pertama-tama ketika Salomo membwa tabut masuk ke dalam Bait Suci yang baru saja dibangunnya (1 Raj. 8:1). Tetapi tempat Mazmur ini dalam kitab Mazmur memberi kesan bahwa Mazmur 24 memanglah dipakai secara berkala.
[83] Di Bait Allah, musik diorganisir dalam skala besar (Israel Taw. 23:1-5; II Taw. 29: 25-26). Kadang-kadang paduan musik akbar diorganisir seperti pada waktu pentahbisan bait ketika 120 peniup nafiri (terompet panjang) terlibat (II Taw. 5: 12-13). John Handol, Nyanyian Lucifer, Yogyakarta: ANDI, 2000, hlm. 20
[84] Mike & Viv Hibbert, Pelayanan Musik, Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988, hlm. 5
[85] Selama mereka di pembuangan Babilonia, ibadah mereka dipengaruhi oleh budaya setempat. Hans banyak megupas tentang keberadaann orang Israel selama dalam pembuangan, terkhusus mengenai sikap hidup religius mereka. Lih. Hans- Joachim Kraus, Worship In Israel, Virginia: John Knox Press, 1966, pg. 229-230
[86] Ibid, hlm. 6

1 komentar:

  1. No Deposit Bonuses | Online Casinos with Instant Payouts
    Free 인카지노 Money — Online casino bonuses generally require deposit in order septcasino to claim 제왕카지노 the bonus. They do not require you to make a deposit to

    BalasHapus