1.
Pendahuluan
Peribadatan Israel tidak terlepas
dengan tempat-tempat yang dikhususkan salah satunya adalah Bait Allah yang diawali dengan Kemah Suci. Dan Bait
Allah sering disebut sebagai pusat
peribadahan ataupun pusat kultus bangsa Israel terhadap Allah . Dan tentu saja
Perjanjian Lama sama sekali tidak terlepas dengan peranan Bait Allah bagi bangsa Israel. Oleh karena hal tersebut
maka kali ini akan dibahas mengenai Bait Suci ataupun Bait Allah dan perlengkapannya.
2.
Pembahasan
2.1.
Etimologi Judul
2.1.1.
Pengertian Bait Suci Dalam Perjanjian
Lama
Dalam Perjanjian Lama, etimologi kata yang menunjuk
kepada bait disebut tyIB'ê (bayith)
berasal dari akar kata בת (beth)
yang berarti rumah, tempat tinggal, gudang, benteng, istana, penginapan, tempat
beribadah, dan keluarga.[1]
Dalam tradisi Israel
kekeluargaan yang rukun dan damai ditentukan oleh hubungan yang baik antara
orangtua dan anak. Di dalam rumah tercipta suatu dinamika keluarga yang
harmonis. Orangtua berperan mengajarkan tentang hukum Taurat kepada
anak-anaknya di rumah. Selain itu, rumah juga berperan sebagai tempat
berlindung, berteduh, istrahat, penampungan keluarga dan tempat pendidikan
(Kej. 19:8; 43:16-17; Ul. 6:4-9; Yos. 2:18; Yer. 29:5; Kis. 5:42). Demikian
halnya yang terjadi dalam rumah Tuhan, di mana di dalamnya semua umat Allah diperlakukan sebagai keluarga kerajaan surga
dan tidak ada diskriminasi karena semua sama di hadapan Bapa, yaitu Allah .
Bait dalam bahasa Semitis merupakan kata yang sangat umum dan lazim digunakan.
Karena pemakaian kata בית (bayith) bagi orang Israel sangat beraneka-ragam dan
bervariasi, hal ini menunjukkan sesuatu keadaan yang tidak mungkin dapat
dipahami tanpa kita menelusuri persamaan makna dengan yang lain.[2] Sinonim dari bait adalah אהל (‘ohel)
yang artinya
“kemah”, lebih dari sebuah rumah yang dapat dipindah-pindahkan.[3] Seringkali אהל (‘ohel)
diterjemahkan dengan rumah, tempat tinggal, dan keluarga. Hal ini berarti בית (bayith) pada-mulanya mempunyai arti lain daripada rumah.
Bagi orang-orang Mesir rumah disebut dengan istilah pr. Rumah dalam pemahaman ini mengandung arti bukan hanya sebuah
gedung/bangunan, tetapi juga bagian dari rumah atau (ibarat) sebuah kotak.
Rumah yang bertingkat dan mewah, pr
berarti istana raja atau rumah besar dan kuil/tempat suci.[4] Dari pemahaman inilah kita dihantar kepada
pemahaman rumah Tuhan.
Dalam teks-teks Ugarit kata בת (beth) diterjemahkan dengan cara yang berbeda, misalnya: Bait
Allah disebut בית־יהוה (bayith - YHWH),
rumah Allah disebutבתאל (beth-El),
rumah atau istana seorang raja disebut בת־המּלך (beth-hammelekh),
dan juga bisa
berarti kandang, rumah, dinasti dan kerajaan.[5] Istilah בית (bayith) tidak hanya menunjuk kepada Bait Allah (2Sam. 7:5,
13; Za. 1:16), tetapi juga menunjuk kepada kuil para dewa/dewi (1Raj. 16:32).
Oleh karena itu, “rumah Tuhan” adalah tempat istana Tuhan dan pusat ibadat
Israel.[6] Di samping kata בית (bayith) dan אהל (‘ohel), ada juga istilah חכל (khekal) yang menunjuk pada rumah Tuhan.[7] Bait Allah selain dijadikan
sebagai tempat kudus bagi penyembahan kepada Allah , juga sebagai tempat
pertemuan (kemah pertemuan dalam kisah keluaran).
Jadi, dapat dikatakan bahwa pemahaman tentang Bait
Allah dalam tradisi Israel berkaitan erat dengan tempat khusus untuk beribadah
kepada Tuhan. Karena pusat dari ibadat Israel terletak dalam tempat tinggal
Tuhan yang mereka bangun/dirikan sesuai dengan permintaan–Nya. Bait Allah dalam Perjanjian Lama identik dengan Kemah
Suci (Tabernakel), Sinagoge, dan Bait Suci/Allah di Yerusalem.[8] Dan beberapa hal yang sangat menonjol dalam pemahaman
tentang Bait Allah adalah penekanan terhadap nilai kekudusan, pengajaran dan
persekutuan kepada Tuhan. Jadi, Bait Allah adalah rumah persekutuan antara
manusia dan Allah ; yang di dalamnya manusia memberikan persembahan kurban yang
hidup dan berkenan kepada Tuhan.
2.1.2.
Pemahaman Bait Suci Dalam
Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru,
istilah yang mengandung pengertian tentang rumah ialah οίκος (oikos) yang
berarti sebuah rumah, tempat tinggal dengan menyebut secara khusus penghuninya,
dan kampung halaman. Dari kata οίκος
(oikos), maka muncullah kata οίκια
(oikia), yang berarti sebuah rumah,
tempat tinggal, seperti nyata dari penghuninya, dan semua harta milik yang
diwariskan oleh seseorang yang telah meninggal dunia.[9]
Warisan yang dimaksud adalah rumah, tanah, harta, dan keluarga.
Penggunaan
kata οίκος dalam bahasa Yunani umum
dan Helenistis berarti rumah atau tempat tinggal. Tetapi kadang-kadang secara
spesifik rumah itu menyatakan sebuah tempat ibadat, suatu rumah tempat
menyimpan harta benda, istana, bahkan kuburan, dan kuil. Demikian halnya dalam
naskah Papirus. Selain itu, οίκος
dapat juga diartikan dalam kaitan urusan domestik (domestic affair), kekayaan (wealth),
barang milik (possession), juga
keluarga/ras (family) atau tanah
milik keluarga (family property),
sekelompok masyarakat, serta peti atau lemari (chest).[10]
Selanjutnya, οίκος mengandung arti
dan makna yang banyak, yakni: secara khusus Bait Allah (Tabernakel dan Bait
Suci)[11]
di mana Allah hadir (Mat. 12:4; Mrk.
2:25; Luk. 6:4); kiasan terhadap orang-orang Kristen sebagai kediaman Roh Allah
(1Ptr. 2:5); dan dalam pengertian yang
lebih luas sebagai tempat tinggal, penginapan, kota atau negeri (Mat. 23:38; Luk. 13:35).
Di
dalam Septuaginta (LXX), kata οίκος merupakan kata yang sering digunakan.
Itulah sebabnya muncul kata Οίκος θεού
(rumah Allah ), suatu istilah tertentu bagi tempat kudus (sanctuary) di dalam Septuaginta, yang digunakan untuk Bait Allah (Bayith Elohim) di dalam Kejadian 28:17
dan Betel (Kej. 28:19). Di dalam pengajaran Damaskus, adalah nyata sebuah
kekhususan dari pemakaian “rumah, rumah Taurat, dan rumah permanen”. Hal ini semakin jelas hubungannya dengan pemahaman
perkumpulan atau komunitas Perjanjian Baru sebagai “rumah Tuhan” (Ibr. 3:1-6).
Rumah Allah (Οίκος τού θεού) dipakai dalam menghormati keduniawian tempat
kudus Israel. Namun, komunitas
orang-orang Kristen itu sendiri disebut juga ναός[12] τού θεού atau οίκος τού θεού (1Tim. 3:15;
Ibr. 3:6; 1Ptr. 4:17), dan οίκος Пνευματικός (1Ptr. 2:5).[13] Penyebutan Bait Allah dalam Perjanjian Baru tidak
jauh berbeda dengan Perjanjian Lama, misalnya Kemah Suci (σκηνη),[14] Sinagoge (συναγωγή),[15] Bait Allah (ίερόν),[16] dan gereja (έκκλησία).[17] Tetapi keunikan dari Bait Allah pada zaman
Perjanjian Baru ialah menyatakan secara tidak langsung bahwa Bait Allah yang
sesungguhnya ialah di surga. Dan orang percaya atau gereja itu sendiri disebut
sebagai rumah Tuhan. Inilah Bait Allah yang sesungguhnya di bumi (kiasan), di
mana Roh Kudus tinggal di dalamnya (1Kor. 3:16). Sehingga dapat dikatakan bahwa
rumah yang ditawarkan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya bukan hanya sekedar
bangunan (buatan manusia), tetapi lebih pada tubuh manusia itu sebagai buatan
tangan Allah . Bait Allah itu adalah rumah doa (bdk. Yes. 56:7; 60:7).
Bait Allah (Kemah Suci, Sinagoge, dan Bait
Suci/Allah ) harus berperan sebagai rumah doa bagi siapa saja yang mengaku
percaya kepada Tuhan. Demikian halnya dengan gereja sebagai rumah Tuhan, harus
berfungsi sebagai rumah doa atau menjadi berkat bagi orang lain (Kej. 12:1-3).
Umat Tuhan seharusnya tidak menjual dan membeli di rumah Tuhan, tetapi berdoa,
sehingga “semua bangsa” akan beribadah di sana. Yesus bahkan menyebut Bait
Allah sebagai “rumah Bapa-Nya” (Luk. 2:49). Jadi, Bait Allah dalam Perjanjian
Baru sangat menekankan aspek rohani dan jasmani seperti tempat persekutuan,
mukjizat penyembuhan, menaikkan doa dan pujian, hubungan, kebersamaan dan
kekeluargaan di dalam Tuhan.
2.1.3. Pengertian Suci
(Kudus)
Kata suci sama halnya dengan kata kudus. Kekudusan
dalam istilah Ibrani disebut qadosi dan qodesi (קדש) yang artinya terpisah (dikhususkan),
terpotong dari, dilepaskan seseorang atau benda, dan dikususkan bagi Tuhan
supaya Tuhan dapat memakainya. Ide ini diadopsi dari komentator klasik dalam
Alkitab. Rupanya tafsiran kekudusan mempunyai sumber dalam sebuah keterangan
perintah Alkitab midrasi. Dalam pengamatan Torah
Kohanim pasal 11, pasal 168, 170, dikatakan bahwa “Saya kudus kamu juga
harus kudus, saya terpisah kamu juga harus terpisah, saya dikhususkan kamu juga
dikhususkan, ini sejajar dengan Im. 19:2”.[18]
Kudus atau kekudusan
dalam bentuk kata sifat yaitu קָדַשּ atau קֹדֶש yang artinya suatu peralihan kepada
fakta-fakta keagungan atau kekudusan. Kudus mengandung arti tentang lingkaran
suci / keramat, terang dan terpisah dari hal yang kotor. Kekudusan sebagian
besar melukiskan kesucian dari ritual orang Lewi. Dalam Kel. 29:21, anak Harun
dan pakaian mereka dimaksutkan untuk yang kudus dan mereka mengakui tentang
kesucian yang nyata. Dupa Korah juga dikatakan hormat dan kudus karena mereka
telah mencurahkannya kepada Tuhan.[19]. Qodes merupakan suatu kualitas yang digunakan
untuk Tuhan atau memuji Tuhan, contoh : hari yang kudus yaitu sabat (Yes.
58:13), kata ini terdapat 469 kali dalam PL. Qados menyangkut tentang pribadi yang kudus, pikiran, tempat, atau
waktu yang diabdikan untuk Tuhan dan terdapat sebanyak 127 x dalam PL.[20] Qados ini juga mengacu kepada pribadi Tuhan
(Kel.15:11) baik roh-Nya, nama-Nya, perbuatanNya (Yes. 52:10), jalan-Nya (Maz.
77:1), juga mengacu kepada manusia, Imam (Im. 21:6), objek persembahan (Kel.
29:33) dan persembahan (Kel. 28:38).[21]
Kata qados memperoleh kata sifat qasdum yang menunjukkan rasa hormat
untuk dan sebuah tempat yang murni / suci. Secara tidak langsung qados
merupakan hal yang terbebas dari yang tidak bersih atau kotor. Qados dan qasdum mengarah kepada sebuah tempat yang menyinggung bagi
keTuhanan, dan terbebas dari hal yang tidak dikehendaki oleh Allah . Dalam
bahasa ibrani kata kudus (qodes dan qados) dipengaruhi oleh hal yang gaib
dengan kata lain kata kudus tersebut bersifat abstrak.[22] Kata sifat dari kudus itu sendiri hanya dalam
hubungan bidang keTuhanan (1 Sam. 6:20, Yes. 43:3, Hab. 1:12), manusia (Ul.
14:2, 26:19), keadilan dalam korban (Kel. 29:31, Im. 6:16, Ezek. 42:13).
Gelar hanya Israel yang kudus, ini menggambarkan
supremasi Allah yang melebihi kesetiaan
dan juga kesempurnaan moral (Yes. 30:12). Hanya “Israel yang kudus” ini
merupakan kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan Israel ketika Allah memberikan peradilan dalam peperangan umatNya
karena hanya Allah yang kudus. Orang
yang penuh dosa, kesalahan, memandang rendah terhadap Israel yang kudus (Yes.
1:4, 30:5), oleh karena itu Dia menegur ciptaanNya Israel yang kudus itu dan
menebus Israel keluar dari tanah perbudakan.[23] Penghukuman begitu jauh dari umatNya, karena Ia
menciptakan segala sesuatu sebelum penghukuman. Selanjutnya kata sifat tentang
gelar “satu yang kudus”terdapat dalam Hos. 11:9, ini mempunyai kemiriban pesan
dalam kitab Yesaya. Meskipun hanya Allah
yang kudus bukan berarti umatNya rusak atau setan. Sehingga bila umatNya
bersalah secara nyata Allah melakukan
pembersihan untuk umatNya.
άγίός yang artinya kudus, yang ditahbiskan (kemah suci),
bait suci, ruang suci atau ruang maha suci.[24]άγίός mempunyai konsep yang sama dengan qados, dan
merupakan konsep kultus. Hal ini diindikasikan dengan kesucian / kesetiaan dan
kekuatan untuk pendekatan kepada Ilahi. a[gio,j tidak digunakan untuk relasi manusia dalam hubungan
kultus, tapi sejumblah besar peristiwa a[gio,j digunakan pada pribadi dan sangat penting dalam
hubungan dengan Tuhan (Yoh. 17:11, 1 Pet. 1:15).[25]
a[gio,j mempunyai dasar pemikiran yang sama mengenai
keterpisahan dan kesucian terhadap Allah . Kata maha kudus dalam Kis. 2:27 dan
kata kudus dalam Why. 15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani hagios (di tempat
lain diterjemahkan suci / saleh), yaitu hubungan yang benar dengan Allah ,
mungkin juga dalam pengertian kekasih.[26] άγίαςω yang artinya menguduskan, mengasingkan, septuaginta
menterjemahkan dengan upacara pendamaian / penebusan (Kel. 29:33, 36).
Pengudusan dapat dicapai dengan praktek kultus (Kel. 19:20, Ul. 5:12), dengan
satu subjek dan objek Ilahi. Hal ini juga dapat dianggap menyangkut penyataan
(Kej. 2:3, Kel 19:23).[27] Subjeknya adalah pribadi, apakah Allah , hakim,
bangsa atau umat, tapi Allah jarang
sebagai objek. Objek tersebut kebanyakan Imam, bangsa, tempat kudus serta
bejana yang kudus. Melalui pengudusan mereka dipisahkan dari sifat duniawi dan
najis. άγίασνος yang artinya pengudusan (menduduskan). Menguduskan
disini lebih baik dari peristiwa pengudusan, karena tindakan menguduskan hanya
dapat dilakukan oleh seorang yang kudus. Tindakan menguduskan
diri itu selalu dikerjakan atas dasar status pengudusan yang dicapai dalam
pendamaian (band Why. 22:11).[28]
άγίοσυνη yaitu suatu keadaan kudus, sifat pengudusan / kekudusan yang lebih
dari pada tindakan menguduskan dan merupakan suatu kualitas yang lebih dari
pada suatu status. Dalam Perjanjian Baru hanya Paulus yang memakai kata
tersebut (Im. 1:4, 14, 2 Kor. 7:11, 1 Tes. 3:13). άγίοτης artinya sifat yang
kudus, pengudusan, hanya terdapat dalam Ibr. 12:10.[29] άγίοί artinya sifat yang kudus. Kata ini juga
dipakai sebagai petunjuk rasuli bagi orang-orang kudus. Arti utamanya adalah hubungan dengan pribadi,
menggambarkan sifat, terutama sifat seperti Kristus. Dimana-mana dalam PB
ditekankan arti kekudusan secara etis, bertentangan dengan hal-hal yang kotor.
Kekudusan juga merupakan panggilan tertinggi bagi orang Kristen dan tujuan dari
pada hidupnya.
2.2.
Latarbelakang
Pembangunan Bait Suci
2.2.1. Kemah Suci
Gagasan untuk
mendirikan Kemah Suci (Tabernakel) adalah berawal dari sejarah Israel ketika
di Padang Gurun. Kemah Suci tidak terlepas dari pengakuan iman Israel terhadap
Tuhan Yang Esa (Ul. 6:4), yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir
(Kel. 13-15). Sebelum Kemah Suci didirikan, kita membaca tentang kemah
pertemuan, yakni suatu tempat perjumpaan sementara dari Allah dengan umat-Nya (Kel. 33:7-11).[30]
Kemah Suci sebagai tempat yang kudus dapat dibawa-bawa yang di dalamnya
terdapat tabut perjanjian, karena kehidupan mereka yang masih nomaden
(berpindah-pindah). Mereka meyakini kemah itu sebagai tempat tinggal Allah di tengah-tengah bangsa Israel di Padang
Gurun. Kemah Suci masih digunakan lama sesudah orang Israel sampai di tanah Kanaan.
Pada zaman hakim-hakim,
tempat kudus/suci itu ada di Silo (Yos. 18:1),[31]
dan pada masa pemerintahan Raja Saul di Nob (1Sam. 21; Mrk. 2:25-26), kemudian hari di Gibeon
(1Taw. 16:39), dan di tempat-tempat lain. Akhirnya, Raja Salomo
menempatkan segala peralatan kudus dan tabut Tuhan di dalam Bait Allah (1Raj.
8:4). Mengenai bahan-bahan yang dipakai, diuraikan dengan jelas di dalam kisah
Keluaran (Kel. 25:3-7; 35:5-9). Kemah itu disebut משכן (misykan)[32] yang berarti
tempat tinggal (Yos. 26:1), dan lh,ao (‘ohel)
yang berarti tenda atau kemah (Kel. 33:7),[33]
kemah kesaksian hd'[e (‘edah),
d[eAm (mo’ed) yang berarti umat sebagai
tempat perjumpaan yang ditentukan bagi Allah dan umat-Nya serta rumah Yahweh (Kej. 18:14;
Kel. 34:26; Bil. 14:5; Yos. 6:24).[34]
Kemah Suci di Silo dikemukakan bahwa telah menjadi suatu pusat keagamaan
suku-suku Israel
pada abad ke-12 sM. Kemah Suci itu didirikan atas permintaan Allah bagi umat Israel (Kel. 40:1-38). Tuhan hadir
di tempat suci itu dalam manifestasi awan dan kemuliaan-Nya memenuhi Kemah Suci
(Kel. 40:34-35). Sehingga dapat dipahami bahwa Kemah Suci itu dibangun demi
tujuan Allah . Itu berarti Kemah Suci mempunyai arti simbolis pada zamannya. Di
dalam Perjanjian Baru, secara khas menyatakan bahwa Kemah Suci adalah gambaran
dan bayangan dari apa yang ada di surga (Ibr. 8:5; 9:9, 24).
2.2.2.
Bait Suci
Salah
satu kesalahan Saul yang mendasar adalah ketidakpekaannya terhadap
pranata-pranata agama Israel,
khususnya terhadap tempat ibadat dan para imam. Daud sebaliknya memahami
pentingnya warisan spiritual bangsanya dan berusaha memelihara serta
mengembangkannya. Bangsa Israel
tidak dapat benar-benar disatukan kecuali jika pemimpin dalam bidang politik
adalah juga pemimpin dalam bidang agama. Tabut Tuhan yang sudah lama diabaikan
oleh Saul, dipindahkannya ke Yerusalem dan ditempatkannya dlam sebuah kemah
disana. Dengan demikian, Daud membuat kotanya menjadi ibu kota dalam bidang agama maupun politik.
Tindakan Daud ini sangat bijaksana dan semakin memperdalam kesetiaan rakyatnya
kepadanya. Tanpa segan-segan Daud secara aktif ikut dalam upacara penyambutan
tabut itu (2 Sam. 6:20).[35]
Walaupun
demikian Daud tidak diperkenankan membangun rumah Allah yang permanen, Allah menyatakan bahwa putranya akan melakukannya.
Namun Daud telah mempersiapkan pembangunan tersebut untuk nantinya dibangun
oleh Salomo putranya (1 Taw. 22). Daud tidak diperkenankan membangun Bait Allah di Yerusalem dengan alasan yang diberikan oleh
Allah dalam 1 Tawarikh 22:8 ;”Tetapi firman TUHAN datang kepadaku, demikian: Telah
kautumpahkan sangat banyak darah dan telah kaulakukan peperangan yang besar;
engkau tidak akan mendirikan rumah bagi nama-Ku, sebab sudah banyak darah
kautumpahkan ke tanah di hadapan-Ku.”
2.2.2.1. Pembangunan Bait Suci Oleh Salomo Putra Daud
Menara Babel
adalah bangunan pertama yang disebut dalam Alkitab, yang menjelaskan tentang
adanya rumah (Kej. 11:4). Walaupun tujuannya untuk berjumpa dengan Allah ,
tetapi itu menunjukkan kepercayaan diri atau optimistis manusia untuk mendaki
ke atas, menuju surga/langit. Itulah yang disebut keangkuhan manusia, yang pada
akhirnya mendapat hukuman. Para bapak leluhur Israel yang masih setengah nomaden,
tidak membangun rumah khusus bagi Allah . Allah
menyatakan diri-Nya menurut waktu dan tempat yang disukai-Nya. Peristiwa
itu kadang-kadang menjadi momen yang ditandai dengan membangun sebuah mezbah
persembahan, dan tanda peringatan atau tugu (Kej. 22:9; 28:22). Sesudah Israel berkembang
menjadi suatu bangsa, dirasakanlah betapa pentingnya tempat pusat ibadat, dan
merupakan suatu keharusan sebagai tempat berkumpul bagi seluruh umat Allah dan menjadi lambang kesatuan dalam ibadah
kepada Tuhan.
Peranan Bait Allah adalah sangat penting dalam kehidupan umat
Israel sebagai satu bangsa pilihan Tuhan, yakni identitas atau ibu kota negara
dan pusat agama Israel dari berbagai daerah. Di Yerusalem sampai sekarang ada
tiga Bait Allah yang pernah dibangun, yakni pertama,
dibangun oleh Salomo pada pertengahan abad ke-10 sM, yang kemudian dihancurkan
oleh orang-orang Babel pada tahun 585 sM (1Raj. 5-8; 2 Raj. 25:8-17; 2Taw.
3-4); kedua, didirikan oleh orang
Yahudi yang kembali dari pembuangan di Babel di bawah pimpinan Zerubabel pada
zaman Nabi Hagai dan Nabi Zakharia (Ezr. 3:8-13) dan diresmikan pada tahun 515
sM yang dihancurkan oleh panglima tentara Romawi Pompeius pada tahun 63 sM;[36]
ketiga, dibangun oleh Herodes Agung
pada tahun 20 sM dan dihancurkan oleh tentara Titus pada tahun 70 M.[37]
Selama rentang sejarah yang panjang itu, Bait Allah sering menjadi konflik dan
tindakan kekerasan. Karena pada kenyataannya, Yerusalem dan Bait Allah berperan
sebagai tempat untuk membicarakan tentang seluruh aspek kehidupan umat
(keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya). Sehingga seringkali terjadi
perebutan kekuasaan khususnya bagi para imam dan pemerasan di Bait Allah itu.
Selain itu, tempat suci
pada umumnya dipahami sebagai lambang politik (kekuasaan) dan tanda
kesalehan. Pemahaman ini berasal dari kebiasaan agama kuno, di mana jikalau
rakyatnya kalah dalam suatu peperangan, maka dewanya dan kuilnya berarti telah
dicemari. Demikian juga dengan orang-orang Yahudi, mereka memberikan perhatian
besar kepada rumah Tuhan. Karena apabila Bait Allah itu tidak ada, berarti
Allah tidak berada di pihak mereka. Di
samping itu, terjadi pengalihan fungsi daripada Bait Allah itu sendiri yakni
telah menjadi tempat bersarangnya para penyamun.[38]
Hal ini berarti bahwa di tempat kudus atau suci telah menjadi tempat yang
jorok, kotor, najis, karena di dalamnya bersembunyi para pembunuh, perampok,
pemberontak, lintah darat, pemeras. Dan inilah yang dikritisi oleh Yesus. Yesus
mau mengembalikan peranan Bait Allah yang
sebenarnya.
Pembangunan Bait
Allah di Yerusalem dipahami dalam dua
hal, yakni kediaman raja dan kemuliaan Tuhan. Salomo memiliki figur yang sangat
penting dalam pembangunan Bait Allah
(1Raj. 5-7; 8:12-13). Bait Allah
sering juga disebut sebagai kuil kerajaan di seluruh Israel.[39]
Sehingga seringkali pemahaman tentang Bait Allah di Yerusalem dikaitkan dengan politik Israel.
Yerusalem[40]
dipandang sebagai kota
kediaman atau rumah yang kudus, yang digunakan sebagai tempat umat beribadah.
Akibat dari umat Israel
sendiri yang tidak menjaga kekudusan hidup dan kekudusan Tuhan, maka berdampak
sekali pada Bait Allah yang mereka bangun. Misalnya beberapa kali Bait Allah yang
dianggap sebagai tempat yang suci dari antara tempat suci yang lain oleh Israel, telah
dihancurkan oleh bangsa lain. Hal ini tentu menyatakan secara tidak langsung
bahwa klaim itu tidak sesuai dengan harapan Israel karena keberdosaan mereka
kepada Tuhan. Dengan kata lain, umat Israel sendiri yang mengakui Bait
Allah sebagai tempat yang istimewa dari tempat yang lainnya, dan mereka juga
yang mencemarinya karena pemberontakan kepada Allah. [41]
2.2.2.1.1. Letak dan Arsitektur Bait Suci
Salomo
Laporan dari Tawarikh menyatakan
bahwa; (2 Taw. 3:1) “Salomo mulai
mendirikan rumah TUHAN di Yerusalem di gunung Moria, di mana TUHAN menampakkan
diri kepada Daud, ayahnya, di tempat yang ditetapkan Daud, yakni di tempat
pengirikan Ornan, orang Yebus itu”. Ternyata bahwa keputusan tentang tempat
pembangunan Bait itu telah diambil oleh Daud, semasa hidupnya. Hal ini terjadi
dipengaruhi ketika peristiwa di dekat Yerusalem. Ketika Daud memerintahkan
pendaftaran orang Israel dari Dan sampai ke Bersyeba (2 Sam. 24:4). Perintah
itu dilaksanakan oleh Yoab dan para panglima tentara. Sekembalinya di
Yerusalem, hasil pendaftaran itu mereka laporkan kepada raja (24:8-9). Penyakit
sampar dari Tuhan menimpa bangsa Israel, sehingga matilah 70.000 orang (24:15).
Daud mengakui kesalahannya kepada Tuhan. Nabi Gad menyuruh Daud untuk
mendirikan mezbah bagi Tuhan di tempat pengirikan Arauna/Ornan, orang Yebus
(24:18). Daud melaksakan perintah itu, maka berhentilah tulah itu menimpa orang
Israel. Dalam 1 Tawarikh 21 dinyatakan bahwa atas terjadinya kejadian tersebut
Daud menyatakan (1 Taw. 22:1) “ Di
sinilah rumah TUHAN, Allah kita, dan di sinilah mezbah untuk korban bakaran
orang Israel”. Dinyatakan pula bahwa “Tuhan menampakkan diri kepada Daud” (2
Taw. 3:1), di pengirikan Ornan itu. Jadi letak tempat itu berada di Utara kota
Yerusalem tua, bekas kota orang Yebus. Peranan Daud sangat banyak, terlebih dia
telah mempersiapkan bagannya, dana pembangunan, bahan-bahan bangunan angkatan
kerja, tak lupa segenap pelayan Bait Suci (1 Taw. 22:2-29), tetapi Tuhan
mempunyai alasan mengapa bukan dia tetapi keturunannya Salomo.[42]
Bait Suci yang dulu ada
di tempat Bait yang sekarang disebut “Haram esy-Syerif” di sebelah Timur “Kota
Tua Yerusalem”, itu tidak diragukan. Nama tempat yang setepat-tepatnya di dalam
lahan yang luas dan berpagar itu, memang kurang pasti. Bagian yang paling
tinggi dari bukit itu (sekarang ditempati oleh mesjid yang terkenal dengan nama
Mesjid el-Haram) mungkin itulah tempat letaknya bagian yang mahakudus (debir),
atau mezbah untuk korban bakaran yang di halaman luar (2 Taw. 3:1).[43]
Bukit ini diduga termasuk bagian dari tempat pengirikan Arauna yang dibeli oleh
Daud dengan harga 50 sykal perak (2 Sam. 24:24) atau 600 sykal emas (1 Taw.
21:25). Dari bangunan Bait Suci Salomo tak ada yang tinggal di atas tanah,
begitu juga tak ada didapati suatu bekas yang jelas dalam penggalian-penggalian
yang dibiayai oleh Dan Penelitian Palestina. Agaknya pekerjaan meratakan bukit
itu dulu dan pembangunan tembok penahan yang besar untuk halaman Bait Suci
bangunan Herodes, menghancurkan tuntas gedung Bait Suci pertama.
Laporan-laporan
alkitabiah mengenai pembangunan Bait Suci oleh Salomo memuat banyak informasi
tentang ukuran-ukuran, bahan-bahan dan teknik pembangunan (1 Raj. 6), tentang
benda-benda logam (1 Raj. 7:13-51) dan tentang upacara pentahbisah Bait itu (1
Raj. 8), tetapi dengan semuanya ini hanyalah diberi suatu gambaran yang
samar-samar saja. Bangunan itu empat persegi panjang. Isi rumah itu terbagi
atas sebuah “balai” yang terbuka ke sebelah Timur, sebuah “ruang besar” di
tengahnya, dan sebuah “ruang pribadi” yang agak kecil di bagian paling dalam di sebelah Barat. Di depan balai terletaklah
“pelataran dalam” yang luas. Ruang pribadi yang disebut Ruang Mahakudus
(debir), berbentuk kubus dengan ukuran 10 m panjangnya, lebarnya dan tingginya,
menjadi tempat berdirinya dua kerub
raksasa besar dari kayu minyak, perannya adalah untuk menjaga tempat kehadiran
Allah secara tidak kelihatan, dan di bawah sayapnya pun berdirilah Tabut Allah yang tadinya menjadi lambang
kehadiran Allah ( 1 Raj. 6:19-28).[44]
Di depannya terletak “ruang besar” (hekal;
istana) berukuran 20 m panjangnya
dan 10 m lebarnya dan 15 m tingginya, dengan mezbah persembahan ukupan (1 Raj.
6:20), meja tempat menaruh roti sajian, dan sepuluh buah kandil (1 Raj.
7:48-50a).[45]
Kalau Balai (ulam atau elam), ruang yang berukuran 5 m
panjangnya dan 10 m[46]
lebarnya ini tidak ada alat-alat, kecuali kedua tiang Yakhin dan Boas di
depannya (1 Raj. 7:15-22), agaknya ruangan ini dimaksud untuk menerima tamu,
sama seperti balai-balai di dalam istana Salomo (1 Raj. 7:1-12). Pelataran yang
berada di depan Bait itu dapt diduga 50x50 m, dengan mezbah korban bakaran yang
besar di tengahnya, sebuah “laut” tuangan yang besar yang berada di atas
duabelas lembu, dikatakan berdiri ke arah tenggara ( 1 Raj. 7:23-26), sedangkan
10 buah kereta penopang bejana pembasuhan ditaruh di kedua sisi kiri dan kanan
bait itu ( 1 Raj. 7:27-39). Pelataran dan alat-alatnya ini nampaknya dimaksud
untuk menerima umat yang menghadap untuk beribadah.
2.2.3. Pembangunan Bait Suci Kedua[47]
Pada abad ke-6 (598) raja Nebukadnesar serta tentara Babel
datang melawan Yehuda dan terjadilah pengepungan kota Yerusalem yang pertama.
Setelah kematian raja Yoyakim maka anaknya Yoyhakin masih memerintah selama 3
bulan sebelum menyerahkan diri kepada Babel. Kekalahan kota Yerusalem yang
pertama oleh Nebukadnesar tahun 597 menyebabkan Yoyhakin dan para warganya yang
terkemuka lainnya dibuang ke Babel. Nebukadnesar menetapkan Zedekia sebagai
raja Yehuda. Pada tahun 595 terjadi pemberontakan di Babel yang didalamnya
rupa-rupanya terlibat beberapa orang Yehuda buangan. Pada tahun 594
Psammethikus II menggantikan Nekho II sebagai raja Mesir.
Utusan-utusan dari
Edom, Moab, Amon, Tirus dan Sidon berkumpul di Yerusalem untuk merencanakan
pemberontakan, tetapi rupa-rupanya tidak berhasil karena Yeremia memakai kuk,
dan juga melawan nabi Hanaya. 589 Zedekia memberontak melawan Babel, dan pada
saat itu raja yang memerintah di Mesir adalah Hofra. Pada tahun 588 pengepungan
yang kedua terjadi lagi bagi kota Yerusalem yang di mulai pada bulan Januari.
Pada waktu itu orang Babel angkat kaki untuk sementara karena adanya tentara
yang datang dari Mesir pada waktu budak-budak di Yerusalem juga diperlakukan
secara tidak adil. Pada saat kekalahan kota Yerusalem yang kedua oleh
Nebukadnesar maka Bait Suci dibakar dan dibinasakan. Pembuangan para
warganegara terjadi untuk kedua kalinya ke Babel. Yehuda dijadikan propinsi
dalam kerajaan Babel dan Gedalya ditetapkan sebagai Gubernur di Mizpa tetapi
akhirnya dia dibunuh sehingga orang-orang Mizpa lari ke Mesir.
Tahun 562 Nebukadnesar raja Babel
meninggal dan dijadikan oleh ewil-Morodakh, tahun 561 Ewil Morodakh melepaskan
raja Yoyhakin dari penjara di Babel dan 539/8 Koresy raja Persia berhasil
mengalahkan kota Babel.[48] Tahun
538 raja Khoresy mengumumkan bahwa orang-orang Israel diijinkan untuk kembali
pulang ke negri mereka. Raja Khoresy seorang yang bersikap moderat /lunak
terhadap orang tawanan yang dibawa ke Babel oleh raja-raja sebelumnya. Dia
memegang prinsip bahwa akan lebih baik kalau orang buangan diperbolehkan
kembali ke negeri asal mereka, dimana mereka dapat membangun kembali hidup
kebangsaan dan keagamaan mereka. Rombongan pertama yang kembali dari Babel
ketanah Yehuda dipinpin oleh seorang bernama Sesbazar (Ezr 1:11, 5:14),[49]
sekitar 538 SM. Mereka meletakkan pondasi untuk pembangunan Bait Suci yang baru
(Ezr. 5:16), kemudian sekitar tahun 520 SM rombongan kedua kembali ke Yehuda
dipimpin oleh Hagai, Zakharia, Zerubabel[50]
seorang pembesar dan Yesua/Yosia seorang imam besar (Ezr. 2:1).
Jumlah rombongan kedua
itu ialah 42.000 orang lebih (Ezr. 2:1) dan pembangunan Bait suci selesai
dibangun pada sekitar 515/6 SM. Nabi yang terkemuka pada saat itu Hagai dan
Zakharia, mereka bernubuat pada waktu yang sama dan keduanya mengingatkan
rakyat Yahudi akan tanggungjawabnya untuk menyelesaikan Bait Suci sebab
pekerjaan itu tertunda selama 14 tahun.[51]
Maleakhi juga menentang kesalahan rakyat Yahudi dan memperingatkan supaya
mereka taat akan Taurat Musa. Ia juga bernubuat tentang seorang utusan besar
yang akan datang. Orang-orang Yahudi yang kembali pulang dari Babel ketanah
asal, mereka melakukannya dengan keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan
Allah , penjaga hukum taurat dan Bait suci. Sementara itu orang-orang Yahudi
yang tinggal di Babel tidak dapat berpartisipasi dalam penyembahan di Bait
Allah seperti dahulu karena masa pembuangan merupakan suatu titik tolak penting
dalam perkembangan agama mereka.[52]
Tapi ketika mereka di
pembuangan bangsa Israel mulai mengetahui tentang hukum Allah . Dengan
permahaman akan hukum Allah , semakin lama bangsa Israel semakin berharap akan
kedatangan Mesias untuk melepaskan mereka dari penderitaan yang mereka alami
dalam pembuangan di Babel. Nabi-nabi yang bekerja pada saat itu Yehezkiel dan
dia memperkuat iman umat Yehuda dan meyakinkan mereka bahwa Tuhan tidak
meninggalkan mereka. Yehezkiel
mengajarkan bahwa mereka menngalami penderitaan karena dosa, tetapi Tuhan tetap
mengasihi dan menyertai mereka di Babel. Daniel juga menubuatkan tentang masa
depan dan akhir zaman yakni memberi pengharapan tentang pembebasan dari
pembuangan dan pendirian kerajaan Allah
yang sejati di Yerusalem.[53]
Namun ada ketegangan antara orang-orang yang tinggal di Yerusalem dan yang
dibawa ke tanah pembuangan. Ketegangan itu dari segi sosial dimana orang-orang
yang tinggal di Yerusalem sesudah kehancuranya merupakan rakyat jelata sehingga
dalam pembangunan kembali kota Yerusalem mereka banyak mengalami halangan dari
suku-suku sekitar. Ketika mereka kembali dari pembuangan nabi yang berperan
Hagai (520 SM) dan Zakharia (520- 518 SM).[54]
Suasana mesianistis
untuk Hagai dan Zakharia sangat berhubungan erat dengan pembangunan kembali
Bait suci di Yerusalem. Sekitar tahun 520 secara umum rakyat sedang mengejar
keuntungan pribadi dalam bidang ekonomi dan tidak mementingkan Bait Allah .[55]
Walaupun mereka cukup berada ketika pulang dari pembuangan, namun masih gagal
dalam membangun suatu eksistensi baru. Beberapa kali panen tidak berhasil,
kemungkinan karena belum menyesuaikan diri dengan keadsaan tanah di Palestina
yang kurang subur dibandingkan dengan tanah di Mesopotamia. Selain itu
kegagalan panen juga terjadi karena kekeringan menimpa negri Palestina dan
selebihnya karena kekacauan politik yang menyebabkan kekacauan perekonomian
kaum buangan setelah kembali menjadi gawat. Sekitar tahun 520 SM, kerajaan
Persia mulai dilanda serangkaian pemberontakan yang menggoncangkan seluruh
kerajaan termasuk palestina. Orang-orang Yahudi hanya mendiami daerah sangat
kecil dan yang sebenarnya tidak berdaya mulai memimpikan kemerdekaan
politiknya. Akibat keadaan yang kurang menguntungkan itu orang-orang Yahudi
kehilangan semangat untuk menangani pembangunan, khususnya pembangunan Bait
Allah menjadi terlantar. Akibat keadaan
di atas kehidupan ekonomi terasa sulit sekali dan berpengaruh kepada
spiritualitas bangsa israel yang mengakibatkan mereka menjadi egois
(mengutamakan kepentingan pribadi ) dan mengabaikan kepentingan rumah Ibadah.[56]
Dalam situasi ini Hagai mendorong rekan-rekannya untuk memberi prioritas kepada
apa yang dapat mempersatukan mereka, meninggalkan kepentingan egoistis dan
bersatu disekitar pembangunan Bait Allah . Pembangunan Bait suci memaksa mereka
untuk merenungkan secara konkrit kehadiran Allah di tengah-tengah mereka.[57]
2.2.5. Makna dan Teologi Bait
Suci[58]
1.
Bait
Suci Sebagai Tempat Kehadiran Allah
Bait
suci merupakan “Tempat kediaman Allah ”.[59]
Ketika Tabut Perjanjin ditempatkan disana,
Allah menjadikannya menjadi
kediaman bagi-Nya, dan Bait tersebut dipenuhi dengan awan (1 Raj. 8:10), awan
yang digambarkan dalam peristiwa Keluaran, sebagai tanda kehadiran Allah di Kemah Pertemuan (Kel. 33:9; 40:34-35; Bil.
12:4-10). Dalam pernyataan singkat Salomo ketika peresmian Bait tersebut
dinyatakan bahwa dia telah membangun
kediaman bagi Allah “1 Raj. 8:13; “Sekarang, aku telah mendirikan rumah
kediaman bagi-Mu, tempat Engkau menetap selama-lamanya”,
dan dalam kekelaman, dimana Allah
bertakhta di atas Tabut Perjanjian dan kerubim, dinyatakan melalui awan
(1 Raj. 8:12). Inilah kepercayaan kepada kehadiran Tuhan di Bait Suci itu
dengan segala alasan tersebutlah maka dirayakan kegiatan peribadatan di sana
dan menumbuhkan kebiasaan yang taat.
Tindakan Hizkia menunjukkan contoh yang konkrit, ketika dia menerima pernyataan
melalui surat dari utusan, “kemudian pergilah ia ke rumah TUHAN dan membentangkan
surat itu di hadapan TUHAN” (2 Raj. 19:14). Kaitan dari
Mazmur dengan ibadah dan Bait Suci telah jelas: mereka sering menyatakan devosi
terhadap “Kediaman Allah ” atau kepada “pengadilan Allah ” dan mereka
melakukannya karena penulis “adanya kepercayaan bahwa Allah tinggal di Bait Suci” (Mzm. 27:4; 42:5; 76:3;
84; 122:1-4; 132:13-14; 134).
Para nabi juga mempunyai keyakinan yang sama,
walaupun mereka keberatan dengan praktek ibadah pada masa itu “TUHAN mengaum
dari Sion dan dari Yerusalem Ia memperdengarkan suara-Nya; keringlah
padang-padang penggembalaan dan layulah puncak gunung Karmel” (Am. 1:2). Yesaya dipanggil menjadi
seorang nabi ketika dia berada di dalam Bait Suci, dia mempunyai penglihatan
Tuhan bertakhta di atas takhta yang menjulang dan tinggi, dan awan penuh dengan
kemuliaan sama seperti peresmian Bait Suci tersebut (Yes. 6:1-4).[60] Bait
Suci tersebut dibangun di atas “Gunung Tuhan” (Yes. 2:2-3) dan khususnya dari
masa Yesaya seterusnya nama Sion mempunyai arti yang religious. Bagi Yeremia,
takhta kemuliaan Allah adalah di Sion
(Yer. 14:21). Kehadiran Allah di antara umat-Nya merupakan anugerah dan
akan ditarik Allah jika mereka murtad.[61]
Yehezkiel juga, melihat kemuliaan Tuhan ada di Bait Suci, yang mana Israel
telah penuh dengan dosa (Yeh. 8-10), tetapi Allah akan kembali ke Bait Suci, yang merupakan
tumpuan takhta-Nya, dimana Dia akan tinggal selamanya bersama keturuan Israel
(Yeh. 43:1-12). Nama Yerusalem akan menjadi “Yahweh-is-there” (Yeh. 48:35; hM'v'( hw"ïhy>). Lagi, setelah adanya pertobatan, para nabi membangun kembali Bait
Suci, dan menjadi alasan bahwa Tuhan akan tinggal kembali di sana (Zak. 2:14;
8:3). Bait suci, kediaman yang suci, masih merupakan tempat yang paling sentral
bagi Yahudi.
Pada periode yang sama terlihat perubahan
yang sedikit berubah dalam pemikiran mengenai kehadiran Allah di Bait Suci. Jika Allah diam di “rumah” ini, jika Dia membuat
suara-Nya terdengar dari Sion (Am. 1:2; Mik. 4:2), jika Dia bertindak dari
tempat kudus-Nya (Mzm. 20:3; 134:3), bukankah itu kemungkinan pembatasan, atau
pada akhirnya ikatan, kehadira-Nya di Bait Suci yang berupa materi? Pemikiran
teologia dengan sadar menekankan antara
transendensi Allah , yang dari awal telah mengenal Pemilik semesta, dan sejarah
juga kedekatan-Nya dengan Israel. Redactor Deutronomis dalam Raja-raja bertanya
dan menjawab pertanyaan di dalam doa yang dinyatakan oleh Salomo dalam
peresmian Bait Suci tersebut: “I Raj. 8:27; “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit,
bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau,
terlebih lagi rumah yang kudirikan ini”. Pemecahannya dinyatakan di ayat berikutnya: doa
yang dinyatakan dengan iman di Bait Suci dan Yahweh mendengar mereka dari surga,
dimana Dia tinggal (1 Raj. 8:30-40).[62] Untuk
menghindarkan konsep yang dapat salah tersebut, maka mereka berkata nama Allah
lah yang tinggal di sana (1 Raj. 8:17, 19), selanjutnya digunakan juga dalam
Ulangan (Ul. 2:5,11).
2.
Bait
Suci Sebagai Tanda Pemilihan Bangsa Israel[63]
Lambang
kehadiran Allah baru saja telah
ditegaskan merupakan anugerah Allah . Tuhan memilih tinggal bersama umat-Nya,
dan Dia memilih untuk tinggal di Yerusalem/Sion dan di Bait Suci. Sebelum Bait
Suci dibangun, tempatnya telah ditandai dengan teofani Allah (2 Sam. 24:16; 2: 2 Taw. 3:1). Yahweh memilih
Sion sebagai kediaman-Nya (Mzm. 132:13), Sion merupakan gunung Tuhan yang
dipilih-Nya menjadi kediaman-Nya (Mzm. 68:17; bnd. 76:3; 78:68). Deutronomis
menekankan, walaupun hal tersebut ditekankan lebih kepada tanda pemilihan
umat-Nya, pada kenyataannya Allah
memilih tempat ini di antara suku-suku Israel, yang nama-Nya akan
tinggal di sana, dan mungkin Dia tinggal di sana (Ul. 12:5; “Tetapi tempat
yang akan dipilih TUHAN, Allah mu, dari segala sukumu sebagai kediaman-Nya
untuk menegakkan nama-Nya di sana, tempat itulah harus kamu cari dan ke sanalah
harus kamu pergi”); tempat tersebut pada dasarnya tidak
dinyatakan melalui nama, tapi pada abad setelahnya dinyatakan itu merupakan
Yerusalem dan Bait Suci ada di sana, dimana Yosia akan memusatkan ibadah Israel
disana. Hal itu merupakan dampak dari pemilihan Allah atas Daud, dan perjanjian bahwa keturunannya
akan menetap di Yerusalem (bnd. 1 Raj. 8:16; dan 2 Taw. 6:5-6; 1 Raj. 11:13,
32). Pada akhirnya, umat Israel mempercayakan Yerusalem sebagai hasil dari
kejadian sejarah, namanya, pembebesan Yerusalem, di bawah Hizkia dari
pengepungan bangsa asing. Yahweh setia terhadap janji-Nya; “Dan Aku akan
memagari kota ini untuk menyelamatkannya, oleh karena Aku dan oleh karena Daud,
hamba-Ku” (2 Raj. 19:34; Yes. 37:35). Susunan Deutronomis
mungkin disusun pada masa ini, dan hal itu ditandai dalam 1 raj. 8:44, 48’
11;13, 32, 36; 14;21; 2 Raj. 21:7; 23; 27, dan paralelnya merupakan Tawarikh.
Penyelamatan
Bait Suci pada 701 tampaknya merupakan tanda pemilihan Allah , dan mengingatkan
pembebasan yang ajaib yang membangkitkan keyakinan bahwa Bait Suci akan selalu
memberikan perlindungan.[64]
Orang Israel kembali mengulangi; “Janganlah percaya kepada perkataan dusta yang berbunyi:
Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN” (Yer. 7:4). Kehancuran Bait Allah
pada 587 merupakan penderitaan yang sangat besar bagi Israel yang
mengingatkan agar kembalinya iman Israel, karena pemilihan akan memperbaharui,
setelah kembali dari pembuangan, Zakharia mengumumkan bahwa Tuhan akan membuat
Yerusalem menjadi pilihan-Nya sekali lagi (Zak. 1:17; 2:16; 3:2), dan Nehemia,
mengambil bentuk Deutronomis, mengingatkan Tuhan bahwa Dia telah berjanji untuk
mengumpulkan lagi para buangan di tempat dimana Dia telah pilih sebagai
kediaman bagi nama-Nya (Neh. 1:9)
3.
Simbolisme
Bait Suci?
Pemikiran
Yahudi, khususnya dalam beberapa tulisan-tulisan apokrifa, dan juga pemikiran
Hellenistik, dalam Josephus dan Philo, berusaha keras menemukan Bait Suci
tersebut sebagai sebuah simbol kosmis, bukit Bait Suci tersebut bagi mereka
adalah pusat dunia. Pandangan yang sama juga dapat ditemukan dalam pemikiran
beberapa pemikiran Bapa-bapa Gereja dan dalam teologia Abad Pertengahan, dan
beberapa penulis modern telah mencoba untuk membenarkan simbolisme tersebut
dengan menggali analogi-analogi di antara pemahaman religi Timur Kuno.
Dalam Alkitab
kurang mendukung pandangan tersebut. Pandangan bahwa bukit Bait Suci sebagai
pusat dunia secara eksplisit diakui, dan pernyataan yang menyatakan bahwa
tempat tersebut dipersiapkan secara teoritis ketika Bukit Sion diagungkan
sebagai “Bukit Yang Kudus”, atau dalam puisi, disamakan dengan Saphon, kediaman ilah-ilah. Tetapi tidak
ada ayat tunggal yang memandang Bait itu dengan sendirinya selamanya mempunyai
arti yang kosmis. Dalam Mazmur dinyatakan; “Ia membangun tempat kudus-Nya setinggi langit, laksana
bumi yang didasarkan-Nya untuk selama-lamanya” (Mzm. 78:69),
tetapi ayat tersebut berarti bahwa pemilihan Tuhan terhadap Sion sebagai
kediaman-Nya, dan Daud sebagai hamba-Nya (Mzm. 78:68, 70), merupakan defenitif,
dan sebagai yang kekal langit dan bumi. Hanya satu poin yang kelihatannya
menyatakan simbolisme kosmis dari mezbah Yehezkiel yang dapat ditarik
kesimpulan dari sebutan-sebutan yang dia berikan dalam beberapa bagian. Tetapi
Yehezkiel merupakan seorang nabi penglihat, meminjam pernyataannya dari
latarbelakang asing dimana dia pernah tinggal, dan menggambarkan mezbah yang
ideal dari sebuah Bait yang tidak pernah dibangun.
Apabila kita
melihat kepada Bait Suci yang sebenarnya, yang dibangun oleh Salomo, pembaca
akan mengingat bahwa rencana dan dekorasinya merupakan inspirasi dari bangsa
asing dan mereka memutuskan untuk menggunakan ahli-ahli dari bangsa asing. Kita
tidak tahu simbolisme yang terdapat disana ketika orang asing yang memberikan
dekorasi, juga kita tidak tahu apakah orang Israel menerima simbolisme
tersebut. Sangat terbataslah dukungan yang melambangkan tiga bagian dari Bait
Suci melambangkan tiga bagian dari dunia; Debir tentu saja sebuah simbolisme,
tetapi itu menandakan dijelaskan di teks
dan itu bukan bermakna simbolisme, “TUHAN telah menetapkan matahari di langit, tetapi Ia
memutuskan untuk diam dalam kekelaman” (1 Raj. 8:12). Hal
itu tidak mungkin, menyebutkan beberapa contoh sampai zaman sekarang, bahwa dua
pilar menandakan matahari dan bulan, atau musim panas dan dingin, atau 10 tiang
lilin berarti lima planet di atas dan lima dibawah.
Jika Bait Suci
dan perlengkapannya mempunyai arti yang kosmis, masalah bagi para teolog adalah
bagaimana Allah dapat berdiam di sana,
yang telah kita uji sebelumnya, akankah menandakan hal lain. Lagi, pemecahannya
yang timbul adalah Allah pemilik semesta
Akankah tinggal di Bait Suci yang menggambarkan semesta? Tapi pemikiran orang
Israel tidak mengubah pemikirannya bahwa ” Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya
langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat
Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini” (1 Raj. 8:27), akibatnya
mereka membedakan antara Bait Suci dimana mereka berdoa dan langit dimana
Allah berdiam (1 Raj. 8:30). Mereka
tidak memikirkan bahwa Bait Suci melambangkan semesta, dan pemikiran simbolisme
muncul lama setelahnya.[65]
2.2.6. Perlengkapan Bait Suci
Tabut Perjanjian
merupakan unsur yang sangat penting yang ditempatkan di ruang Mahakudus.
Digambarkan dalam Keluaran 15:10-22 dan 37:1-9. Tabut berbentuk peti agak
persegi panjang (‘aron) dibuat dari
kayu penaga, ukurannya 1,3x1x1 m. seluruh tabut ditutupi dengan emas. Untuk
mengangkut tabut digunakan tongkat kayu yng dimasukkan ke lobang gelang-gelang
pada keempat penjurunya. Tutup tabut (tutup pendamaian) dibuat dari emas, di
kedua ujung tutup pendamaian itu terletak satu kerub. Wajah kedua kerub itu
berhadapan dan sayap masing-masing terentang. Tabut tersebut tempat penyimpanan
kedua Loh Hukum Dasa Titah (Kel. 25:16, 21; 40:20; Ul. 10:1-5); buli-buli
berisi manna dan tongkat Harun (Ibr. 9:4-5). Di dalam Tabut itulah disimpan
hukum Taurat yang tertulis (Ul. 31:9; Yos. 24:26). Raja Daud menempatkan tabut
di sebuah kemah di Yerusalem (2 Sam. 6) dan tidak mau memindahkannya selama
pemberontakan Absalom (2 Sam. 15:24-29). Dengan upacara kebesaran raja Salomo
menempatkan tabut itu di Bait Suci (1 Raj. 8:1), dan kembali ditempatkan di
tempat kudus sesudah pembaharuan oleh Yosia (2 Taw. 35:3). Yeremia (3:16)
menubuatkan suatu zaman tanpa tabut itu. Mungkin tabut itu hilang waktu
Yerusalem dibinasakan oleh orang Babel pada tahun 587 sM. Dalam Bait Suci kedua
tidak ada lagi tabut itu.
Menurut 1 Raja-raja 7:23-26 di bagian pelataran Bait
Allah dibangun suatu bejana perungu
raksasa dengan diameter 10 hasta (sekitar 4,5 meter,, 1 hasta= 45 cm) dan
tinggi sekitar 5 hasta (2,25 meter)[66]
yang dipikul oleh 12 patung lembu yang terbuat dari tembaga dengan ragam hias
bermotif labu dan bunga bakung. Bejana raksasa ini dapat menampung air sebanyak
2.000 bat, jadi sekitar 72.000 liter air (1 bat = 36 liter). Luar biasa. Untuk
apa bejana raksasa ini? Untuk menampung air bagi kepentingan Bait Allah ?
Memang begitulah kira-kira fungsinya. Namun, harus diperhatikan bahwa di
samping bejana raksasa ini disediakan pula 10 bejana pembasuhan yang terbuat
dari tembaga, yang masing-masing dapat menampung 40 bat air atau 1.440 liter
air (1 Raj. 7:38). Lalu untuk apa bejana raksasa ini? Menurut 2 Tawarikh 4:6
sepuluh bejana yang lebih kecil itu digunakan untuk membasuh segala hal yang
dipakai untuk kurban bakaran, sedangkan bejana raksasa itu khusus digunakan
oleh para imam untuk membasuh. Menarik sekali bahwa dalam 1 Raja-raja 7:23 dan
2 Tawarikh 4:6-11 bejana raksasa itu disebut yam ( ~Y"ßh; LAI: laut), suatu simbol yang
merepresentasikan Dewa Yam, penguasa laut dan air dalam mitos Kanaan. [67]
Demikian juga dengan 12 lembu tembaga yang memikul
bejana adalah symbol dewa Baal, dewa kesuburan Kanaan. Baal yang kuat
diharuskan memiluk yam di atas
pundaknya untuk melayani Yahweh di pelataran Bait Suci-Nya. Dengan kata lain,
air sebagai unsur penting bagi kehidupan di bumi Israel (Kanaan) dihadirkan
dalam pusat peribadahan, sekalipun dengan menggunakan symbol Yam dan Baal (bnd.
cara Mzm. 82:3-4 melukiskan para dewa kafir itu sebagai hamba-hamba Yahweh). Di
samping bejana air raksasa itu, dibangun dua tiang tembaga yang bernama Yakin dan Boas, masing-masing setinggi 8 hasta dan dililit oleh tali-tali
sepanjang 12 hasta, ganja-ganjanya bermotif bunga bakung serta dihiasi dengan
relief bermotif buah-buah delima (1 Raj. 7:15-22; 41-42; !ykiêy" dan z[;Bo)). Arti nama yakhin adalah “Yahweh akan menegakkan”
(dalam bahasa Fenesia kata ini berarti “yang
padat/kekar”), dan bo’az berarti
“dalam kekuatan Yahweh” (dalam bahasa Fenesia berarti “dengan kekuatan”).[68]
Jika kedua arti itu disatukan maka kedua tiang itu bermakna pengakuan bahwa (Ia
(Yahweh) akan meneguhkan dengan kekuatan).[69]
Di Ruang luar yang disebut “Ruang Kudus”, terdapat
juga meja untuk roti sajian dan sepuluh kandil (1 Raj. 7:48). Kita teringat
bahwa ada roti sajian[70]
di kuil Nob, waktu Daud berkunjung ke sana (1 Sam. 21:6), itu berarti bahwa
roti sajian memainkan peranan dalam ibadat
sebelum Bait Suci didirikan. Pemakaian roti sajian juga dibuktikan dalam
kebudayaan luar Israel. Roti itu ditaruh dalam Bait Allah pada hari Sabat, kemudian dimakan habis oleh
para imam waktu diambil kembali (Im. 24). Jumlah roti itu 12 dan mungkin angka
itu merupakan lambang ke-12 suku Israel. Meja roti sajian itu mungkin terbuat
dari kayu aras (1 Raj. 6:20) sedangkan dalam uraian tentang Kemah Suci
dikatakan bahwa meja dibuat dari kayu peraga dan dilapisi dengan emas (Kel.
25:23, bnd, 1 Raj. 7:48, mezbah emas dan meja emas tempat menaruh roti sajian).
Dalam bahasa Ibrani terdapat dua kata yang dapat
diterjemahkan dengan ukupan yang biasa dibedakan dalam LAI, yang satu (qetoreth) diterjemahkan dengn “ukupan”,
dan yang kedua (lebonah)
diterjemahkan dengan “kemenyan”. Kemenyan digunakan pada zaman pra-pembuangan.
Disebut misalnya oleh Yeremia sebagai suatu barang yang diimpor dari Syeba
(Yer. 6:20). Disebut pula berkenaan dengan aturan kurban (Yer. 17:26; 41:5;
Yes. 43:23). Perikop Kodekh Hukum Kekudusan mengenai roti sajian mencatat bahwa
kemenyan hendak ditaruh di samping roti sajian di atas meja roti sajian itu
(Im. 24:7). Penggunaan kemenyan tidak merupakan ciri khas ibadat Israel, dan
tak usah diragukan bahwa kemenyan memang dipakai di Israel.
Dalam Bait Suci digunakan juga mezbah untuk korban
bakaran yang dibangun di luar gedung induk Bait Allah di halaman luar. Tetapi aneh, pembuatan
mezbah tersebut tidak disinggung dalam uraian tentang pembangunan Bait Suci,
walaupun disebut dalam nats lain (1 Raj. 8:22, 54, 66; 9:25). Mezbah tersebut
merupakan mezbah tembaga yang dapat dipindah-pindahkan, dan tidak disebut dalam
uraian mengenai pembangunan Bait Suci, karena bentuknya tidak sesuai dengan
adat Israel sebagaimana diuraikan dalam Keluaran 20:24.
Dalam 1 Raja-raja 7:49-51
dikatakan juga bahwa: “Salomo membuat
juga segala perlengkapan yang ada di rumah TUHAN, yakni mezbah emas dan meja
emas tempat menaruh roti sajian;
kandil-kandil dari emas murni, lima di sebelah kanan dan lima di sebelah
kiri, di depan ruang belakang; kembang-kembangnya, lampu-lampunya dan
sepit-sepitnya, dari emas; pasu-pasunya,
pisau-pisaunya, bokor-bokor penyiramannya, cawan-cawannya dan
perbaraan-perbaraannya, dari emas murni; engsel-engsel untuk pintu ruang dalam,
yakni tempat maha kudus, dan engsel-engsel untuk pintu ruang besar Bait Suci,
dari emas. Maka genaplah segala
pekerjaan yang dilakukan Salomo di rumah TUHAN itu. Kemudian Salomo memasukkan
barang-barang kudus Daud, ayahnya, dan menaruh perak, emas dan barang-barang
itu dalam perbendaharaan rumah TUHAN”.
Mezbah untuk korban bakaran
dibangun di luar gedung induk Bait Allah
di halaman luar. Pembuatan mezbah
itu tidak disinggung dalam uraian tentang pembangunan Bait Suci, walaupun
disebut-sebut dalam nats-nats lain (1 Raj. 8:22, 54, 66, 9:25). Mezbah tersebut
merupakan mezbah tembaga yang dapat dipindah-pindahkan, hal ini tentu saja
karena yang membuatnya kemungkinan orang dari Fenesia yang dipekerjakan Salomo.
2.2.7. Keterkaitan Doa dan Bait
Suci
Untuk mengartikan doa dalam Perjanjian Lama digunakan
kata תפלה (tepilah)
artinya doa atau permohonan (Yun.2: 8).[71]
פלל
(Palal) artinya berdoa (1 Raj.18: 28)
dan paga artinya bersekutu dengan Allah
(Yeh.7: 16; Yes.53: 12; 59: 16). Ada
juga istilah זצק
(Zaaq) artinya doa teriakan dan
tangisan (Yun. 1:5) dan קרא (Qara)
artinya doa seruan.[72]
Köhler menemukan ada kira-kira 85 buah doa asli di dalam Perjanjian Lama dan 60
Mazmur lengkap dan 14 Mazmur yang secara tersirat dapat digolongkan kepada doa.[73]
Pada zaman Bapak Leluhur, doa dipahami sebagai simbol hubungan yang erat antara
Allah dengan para leluhur (Kej.12:13;
15:2; 26:25; 28:20-22).
Biasanya Kemah Suci dalam Perjanjian
Lama merupakan tempat mempersembhkan kurban (1 raj. 8:5; 62-64). Namun ketika
Salomo menahbiskan Bait Allah , dalm doanya ia mendeklarasikn bangunan itu juga
sebagai tempat mempersembahkan doa (1 Raj. 8:27-53). Yang dipersembahkan Salomo
di atas mezbah (ay. 22) adalah doa dan permohonan (ay. 54; hL'îpiT.h;-lK'). Begitulah
berulang-ulang ungkapan “doa dan permohonan” di seluruh perikop. Kepentingan
Bait Allah sebagai tempat mempersembahkan kurban dan doa masih ditegaskan Nabi
Yesaya beberapa abad setelah itu (Yes. 56:7), bahkan oleh Yesus Kristus (mat.
21:13; Mrk. 11:17; luk. 19:46).[74]
Secara structural, perikop (1 Raj.
8) yakni penahbisan Bait Allah bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Perhimpunan (ay. 1-3)
2. Persembahan kurban (ay. 5)
3. Berkat (ay. 14-21)
4. Posisi duduk berdiri Salomo (ay. 22)
5. Seruan kepada Allah (ay.
27-30)
6. Tiga permohonan (ay. 31-36)
7. Permohonan secara umum (ay.
37-40)
6. Tiga permohonan (ay. 41-51)
5. Seruan kepada Allah (ay. 52-53)
4. Posisi duduk berdiri Salomo (ay. 54)
3. Berkat (ay. 55-61)
2. Persembahan kurban (ay. 62-64)
1. Perhimpunan selesai (ay. 66)[75]
Menurut arah gerak tubuh Salomo dalam upacara itu,
mula-mula ia berhadapan dengan jemaat (ay. 14-21), lalu berbalik ke mezbah untuk menaikkan doa (ay. 22-53) dan
akhirnya menghadap jemaat lagi untuk memberi nasihat (ay. 54-61). Dengan
demikian, pusat perikop adalah pusat doa permohonan Salomo (6,7,6).[76]
Dalam
doanya Salomo meminta agar Tuhan mendengarkan doa yang dipanjatkan di Bait
Allah dari orang yang sedang susah karena bencana alam, kalah perang, penyakit,
dosa, pokoknya seluruh aspek kehidupan manusia (ay. 28-30). Dalam unit ayat
terdapat tiga kelompok kata yng merujuk pada doa dan di seluruh peroop terus
diulang: doa (ay. 28), “permohonan”, seruan ( hN")rI)
mendengar doa (ay. 28-30), tempat berdoa (ay. 29,30; “rumah” (ay. 29). Ayat
28-30 diawali dengan kata-kata
Allah “berpaling” (ay. 28) dan ditutup
dengan Allah “mengampuni” (ay. 30). Kata
terakhir ini (mengampuni) menghubungkan unit ayat 28-30 dengan unit ayat 31-53
dimana Salomo menspesifikasikan tujuh kejadian yang menjadi alasan orang berdoa
di atau berkiblat di Bait Suci dan Allah
diminta untuk mendengarnya. Dalam doanya Salomo menekankan bahwa rumah
Allah penting bagi nasib manusia
individual maupun bangsa.
Di Bait Allah orang mencari keadilan atas perkaranya
dengan meminta Allah menjadi hakim untuk
mengadili perkara. Tuhan akan “menyatakan bersalah orang yang bersalah dengan
menanggungkan perbuatannya kepada orang itu sendiri, tetapi menyatkaan benar
orang yang benar dengan memberikan pembalasan kepadanya yang sesuai dengan
kebenarannya” (1 Raj. 8: 32). Kat kerja “berdosa” (ay. 31, 46; aj'îx/y<), membentuk inklusio.
Isi bagian ini ditegaskan lewat tujuh kali pengulangan frase “Engkaupun kiranya
mendengarkan…” (ay. 32, 34, 36, 39, 43, 45, 49). Juga tujuh kali disebut Rumah
Allah (ay. 31, 33, 35, 38, 42, 44, 48).
Jadi, tekanan utama dari bagian ini adalah ketika seorang berbuat dosa, Rumah
Allah menjadi tempat untuk berdoa
mengaku dosa dan dijamin doa itu akan didengar. Memang berhadapan dengan Yang
Mahatahu dan Mahaadil, manusia harus tulus.
Dengan berdoa di Bait Allah , Salomo
tidak membatasi Tuhan dalam ruang. 1 Raja-raja 8:27; “Tetapi
benarkah Allah hendak diam di atas bumi?
Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat
memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini”.
Berkali-kali Salomo menekankan kiranya Allah
mendengarkan doa dari surge (ay. 32, 34, 36, 39, 43, 49), tempat
kediaman tetap-Nya (ay. 30, 39, 43, 49). Salomo tidak berpikir Allah bisa dibatasi dalam suatu bangunan di bumi.
Allah mengizinkan nama-Nya dikaitkan
dengan suatu tempat di bumi supaya ada hubungan antara bumi dan surge tempat
kediaman-Nya.[77]
Seperti juga nabi Yesaya menerima panggilan di Bait Allah (di bumi) namun yang
dilihatnya adalah Tuhan di atas takhta yang tinggi (di surga). Keberadaan dan
peran Bait Allah dalam Perjanjian Lama
memiliki makna teologis yang penting. Objek fisik yang dipakai dan rancangan Bait
Allah yang ditentukan menunjuk pada realitas yang lebih dalam bahwa Israel,
bukan tempatnya atau bangunannya, adalah tempat kediaman Allah .
Doa Salomo pada saat penahbisan Bait
Allah memperlihatkan bahwa ruang dan
waktu yang didedikasikan untuk Allah
ternyata memiliki efek yang melampaui batas-batas tanah perjanjian
secara geografis. Doa bisa disampaikan diluar Yerusalem, asal kiblat pendoa
terarah kepada Bait Allah . (bnd. Dan.6:11; Demi
didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke
rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem;
tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allah nya, seperti yang biasa
dilakukannya).[78]
Keberadaan
Bait Allah sebagai rumah doa sedikitnya
bisa dikaitkan dengan gedung gereja dalam fungsi yang sama, meskipun tidak
begitu saja identik. Sebagai tempat ibadah pintu gereja terbuka pada jam-jam
terbatas, teapi sebagai rumah doa seharusnya pintu itu lebih lama terbuka bagi
siapa saja yang ingin berdoa pribadi. Sekalipun Tuhan hadir tak dibatasi tempat
dan waktu, umat tetap membutuhkan sebuah tempat yang khusyuk, jauh dari suasana
rumah tangga. Itulah gereja. Alangkah idealnya bila umat bisa lebih banyak
memanfaatkan Bait Allah sebagai tempat
menyampaikan doaw ketimbang pergi ke gereja untuk didoakan, namun sering itu
lewat begitu saja bersama kesibukan sehari-hari dan ketiadaan privasi dalam
keluarga. Maka fungsi gereja sebagai rumah doa sangat perlu untuk dioptimalkan.[79]
Namun, untuk berfungsi demikian ruang utama gereja harus dikhususkan dengan
kebersihan dan ketenangan yang terjaga.
2.2.8.
Nyanyian Dan Musik Dalam Bait Suci
Penetapan
formal kelompok-kelompok musik bait suci dan barisan musik terjadi pada masa
pasca pembuangan (setelah sekitar 538 sM), dan menghubungkan pendiriannya
dengan Daud semula merupakan perrkiraan arkheologi. Akan tetapi penemuan
arkheologi menunjukkan bahwa para penilai tidak berhak untuk mengatakan bahwa
Daud tidak dapat mengembangkan musik bait suci, karena penggalian-penggalian
menunjukkan perkembangan yang pasti dari alat-alat musik, tidak saja pada masa
Daud (sekitar 1000 sM), tetapi juga pada masa yang jauh lebih awal.[80]
Musik di dalam Bait Allah dilakukan oleh musisi profesional yang terlebih
dahulu dilatih untuk dapat terlibat dalam ibadah. Untuk pelatihan pada masa itu
sudah diadakan semacam sekolah musik gerejawi untuk mereka dapat diperlengkapi
dalam ibadah dan musik. Dalam ibadah mereka, selalu ada kelompok paduan suara
yang paling sedikit berjumlah 12 orang. Ibadah dilakukan dalam suasana yang
khidmat dan khusuk bagi Allah yang
Mulia. Alat musik yang digunakan untuk fungsi tertentu, misal terompet
melambangkan kuasa dan keagungan Allah dan seruling untuk meratap.[81]
Mazmur selalu diiringi alat musik dan dinyanyikan secara bersahutan. Allah hadir bersama umatNya (Kel. 25:8, II Taw 6:7,
Ezra 43:7). Bait Allah adalah ekspresi antitesis antara Israel dan bangsa kafir
yakni bahwa bangsa Israel berbeda dengan bangsa kafir di sekitarnya. Bait Allah
adalah lambang hubungan Israel kepada Tuhan. Ibadah di Bait Allah penuh dengan
karakter simbolik – tempat
kudus, imam kudus (hanya kaum
Lewi), perlengkapan ibadah kudus (I Taw 28:12). Ibadah di Bait Allah dalam I
Taw 28:19 merupakan komunikasi simbolik dengan Israel.
Mungkin
aturan musik di Bait Suci memang berakar pada zaman raja Daud, karena misalnya
dalam cerita tentang waktu Daud diterima di halaman istana Saul, diceritakan
bahwa ia sanggup menenangkan jiwa Saul waktu Saul dirasuk roh pengganggu (1
Sam. 16:17). Dengan jatuhnya Yerusalem
di bawah kekuasaan Daud dan ditempatkannya kemah suci di kota itu, ibadah yang
dilakukan menjadi semakin semarak dan dilengkapi dengan pagelaran musik. Suku
Lewi ditugaskan untuk memberikan pelayanan musik dan memimpin ibadah ini. Di
bawah kepemimpinan Daud paduan suara dan orkestra besar pertama dikelola untuk
dipakai sebagai bagian dari ibadah di kemah suci (Neh. 12: 35-36, 45-46).[82]
Ketika Salomo, anak Daud, menjadi raja dan membangun Bait Allah yang pertama, semarak, pagelaran musik menjadi semakin agung
Yosephus, sejarawan Yahudi yang terkenal, menulis bahwa dalam Bait Allah yang
pertama ada 200.000 peniup terompet dan 200.000 penyanyi berjubah yang dilatih
untuk ikut serta dalam ibadah ini. II Tawarikh pasal lima memberikan laporan
tentang hadirnya sejumlah besar penyanyi dan instrumen musik, dalam ibadah
tersebut.[83]
Menurut koleksi tulisan Yahudi setelah penulisan kitab Injil (Midrash), Raja
Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan mas kawin berupa 1000 peralatan
musik.[84]
Setelah kembali
dari tampat pembuangan di Babel,[85]
ibadah di Bait Allah kembali dilaksanakan, dengan pembangunan Bait Allah , yang kedua. Walaupun
yang kedua ini tidak seindah yang pertama, namun jelas bahwa pagelaran musik
merupakan bagian dari ibadah orang Ibrani. Kitab Talmud Yahudi menjelaskan
tradisi menyanyikan mazmur dalam Bait Allah kedua. Bagi orang Ibrani syair lagu lebih penting daripada musiknya, dan
lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari syair dan aksen
di antara kata-kata itu. Di dalam musik pengiring tarian, irama lagu itu lebih
ditonjolkan.[86]
3.
Refleksi
Bait Suci melambangkan
kehadiran dan perlindungan Tuhan Allah atas umat-Nya. Ketika Bait Suci
ditahbiskan, Allah turun dari surga dan memenuhi bait itu dengan kemuliaan-Nya
dan berjanji untuk menempatkan nama-Nya di situ. Jadi, apabila umat Allah ingin
berdoa kepada Tuhan, mereka dapat melakukannya dengan menghadap bait suci dan
Allah akan mendengar mereka dari bait-Nya. Bait suci juga mewakili penebusan
umat-Nya oleh Allah. Dua fungsi penting dilaksanakan di dalamnya: persembahan
korban-korban penghapus dosa setiap hari di atas mezbah perunggu dan Hari Raya
Pendamaian, ketika imam besar memasuki Tempat Mahakudus untuk memercikkan darah
di atas tutup tabut perjanjian untuk mendamaikan dosa-dosa umat-Nya. Melalui
upacara-upacara ini, orang Israel diingatkan mengenai betapa mahalnya harga
penebusan dan pendamaian mereka.
Tidak pernah di dalam
sejarah umat Allah, Allah mempunyai lebih dari satu tempat tinggal atau bait;
kenyataan ini menunjukkan bahwa hanya ada satu Allah -- Tuhan, Allah perjanjian
bangsa Israel. Akan tetapi, Bait Suci
tidak memberikan jaminan mutlak akan kehadiran Allah; Bait Suci melambangkan
kehadiran Allah hanya sejauh umat itu menolak ilah-ilah lain dan menaati hukum
Allah yang kudus. Mikha, misalnya, mengecam para pemimpin umat Allah yang
menjadi bengis dan materialistis serta pada saat bersamaan yakin bahwa mereka
tidak akan ditimpakan malapetaka selama lambang kehadiran Allah masih ada di
tengah-tengah mereka; ia bernubuat bahwa Allah akan memberi mereka pelajaran
dengan membinasakan Yerusalem dan Bait Suci-Nya. Di kemudian hari Yeremia
menegur rakyat Yehuda yang menyembah berhala karena menghibur diri dengan
mengulang-ulang kata-kata, "Inilah bait Tuhan, bait Tuhan, bait
Tuhan!". Karena gaya hidup mereka yang fasik, Allah akan memusnahkan
lambang kehadiran-Nya -- Bait Suci itu; Allah bahkan memberitahukan Yeremia
bahwa sia-sialah berdoa bagi Yehuda, karena Allah tidak akan mendengarkannya.
Satu-satunya harapan mereka ialah memperbaiki tingkah langkah mereka. Peranan Bait Suci (Bait Allah) dalam
Perjanjian Baru harus dipahami berhubungan dengan lambang Bait Suci dalam
Perjanjian Lama. Yesus sendiri, seperti
halnya nabi-nabi Perjanjian Lama, mengecam penyalahgunaan Bait Allah.
Tindakan-Nya yang pertama dan terakhir di depan umum adalah membersihkan Bait
Allah dari orang-orang yang menghancurkan maksud rohaninya yang sejati.
Selanjutnya Ia menubuatkan saat ketika Bait Allah itu akan dibinasakan sama
sekali. Jemaat yang mula-mula di Yerusalem sering kali memasuki Bait Allah pada
saat-saat berdoa. Akan tetapi, mereka melakukan semua ini karena kebiasaan,
sebab mengetahui bahwa Bait Allah bukan satu-satunya tempat di mana mereka bisa
berdoa. Stefanus, dan kemudian Paulus, bersaksi bahwa Allah yang hidup tidak
dapat dibatasi oleh bait yang dibuat oleh tangan manusia.
Fokus penyembahan orang
Kristen berpindah dari Bait Allah kepada Yesus Kristus sendiri. Dialah, bukan
Bait Allah, yang kini mewakili kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Dia
adalah Firman Allah yang menjadi manusia, dan di dalam Dia berdiam seluruh
kepenuhan ke-Allahan. Sesungguhnya, Yesus sampai mengatakan bahwa Dia adalah
Bait Allah itu; dengan korban-Nya di salib Dia menggenapi semua persembahan
yang dilaksanakan di Bait Suci. Perhatikan pula bahwa dalam percakapan-Nya
dengan wanita Samaria, Yesus menyatakan bahwa tidak lama lagi penyembahan akan
terjadi bukan di dalam bangunan tertentu tetapi di dalam roh dan kebenaran,
yaitu di mana saja orang yang sungguh-sungguh mempercayai kebenaran Firman Allah
dan menerima Roh Allah melalui Kristus. Karena Yesus Kristus sendiri merupakan
perwujudan makna Bait Suci itu, dan karena gereja adalah tubuh-Nya, gereja
disebut sebagai bait Allah karena didiami oleh Kristus dan Roh Kudus. Melalui
Roh-Nya, Kristus berdiam di dalam gereja-Nya dan menuntut agar tubuh-Nya itu
kudus. Sebagaimana dalam Perjanjian Lama Allah tidak dapat membiarkan
pencemaran bait-Nya, demikian pula Dia mengatakan akan membinasakan semua orang
yang membinasakan gereja-Nya. Roh Kudus tidak saja berdiam di dalam gereja,
tetapi juga di dalam diri orang percaya sebagai bait-Nya. Oleh karena itu
dengan tegas Paulus memperingatkan terhadap semua bentuk penajisan tubuh oleh
kebejatan dan kemesuman. Akhirnya, perhatikan
bahwa di Yerusalem baru tidak diperlukan Bait Suci. Alasannya jelas: karena
Bait Suci hanyalah lambang kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya dan bukan
kenyataan sesungguhnya, maka tidak diperlukan Bait Suci karena Allah dan Anak
Domba tinggal di antara umat-Nya; "sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa
adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu".
4.
Kesimpulan
Bait
Suci merupakan pusat peribadatan umat Israel terhadap Yahweh yang pada awalnya
belum permanen ketika bangsa Israel masih nomaden dan disebut dengan Kemah
Suci. Sedangkan setelah zaman kerajaan khususnya Salomo dibangunlah Bait Suci
namun diruntuhkan kembali ketika Israel ditawan ke pembuangan oleh pasukan
tentara Nebukadnezar pada tahun 586 sM (1Raj. 6:1-38; 2Taw. 3:1-14).. Dan
kembali dibangun oleh Ezra dan Nehemia pada tahun 537 sM dan selesai pada tahun
516 sM (Ezr. 6:13-15). Pembangunan itu terjadi pada zaman Nabi Hagai dan
Zakharia (Hag. 1 dan 2). Bangunan tersebut diruntuhkan kembali dan dibangun
lagi oleh Herodes seorang Romawi dengan alasan politis. Bait suci merupakan
tempat kehadiran Allah di tengah-tengah
bangsa Israel yang walaupun Allah tidak
dapat dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Namun Allah memberikan diri-Nya ditemui dalam Bait Allah tersebut. Peranan Bait Allah adalah tempat persekutuan umat percaya kepada Allah
. Persekutuan itu penuh dengan hikmat dan keheningan karena umat Tuhan
berhubungan dengan Allah melalui doa,
nyanyian, puji-pujian dan persembahan; di mana di dalamnya nyata tanda ajaib
dari Allah , sehingga manusia memperoleh keadilan dan kedamaian. Bait Allah berarti rumah ibadat. Di dalam Bait Allah manusia sebagai ciptaan Allah menerima hak yang sama sebagai anak-anak Allah
dan semua diperlakukan dengan kasih dan
adil tanpa ada perbedaan. Artinya. Kebersamaan dan kesetaraan di Bait Allah merupakan
tujuan dari rumah Tuhan. Dengan kata lain, peranan Bait Allah adalah rumah doa
dan tempat menerima berkat surgawi. Karena di sana Tuhan menyatakan rencana
keselamatan bagi umat-Nya. Dengan demikian, Bait Allah itu haruslah kudus. Rumah Tuhan yang pertama,
dibangun oleh Salomo dan sudah hancur ketika Yerusalem dirampas dan dibakar
Rumah Tuhan yang kedua
5.
Kepustakaan
Barker, Margaret, Pintu Gerbang
Sorga: Sejarah dan Simbolisme Bait Allah di Yerusalem, Terj. B.A. Abednego, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
Barth, Christoph, Theologia
Perjanjian Lama 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989
Berkovits, Eliezer, Man And God,
Canada: Wayne State University Press, Detroit, 1969
Boland, B.J., Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003
Bolkestein, M.H., Kerajaan Yang
Terselubung: Ulasan atas Injil Markus, Terj. Tati S.L.
Tobing-Kartohadiprojo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Borse, U., “ναός” dalam Exegetical
Dictionary of the New Testament Volume II, eds. Horst Balz & G.
Schneider, Grand Rapids, Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1991
Bryant, T. Alton (ed.), The New
Compact Bible Dictionary, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing
House, 1967, p. 236.
Bullinger, Ethelbert W., A
Critical Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament,
Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1975
Cairns, I. J., Ibadat Israel Kuno,
Jakarta: BPK-GM, 2004
Davidson, A.B., An
Introductionary Hebrew Bible, Edinburg: T&T Clark, 1962,
de Vaux, Roland, Ancient Israel,
Its Life and Institution, New York:
Mc Graw-Hill Book Company inc, tt
Douglas,
J.D., “Bait Suci” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (A-L), ed.
J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000
Dyrness, William, Thema-thema
dalam Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1992
Elison, H.L., From Babylon To Betlehem, Philadelphia, The Atlic Press, 1976
Etherington, Charles L., Protestant
Worship Music, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1962
Free, Joseph P., Arkheologi dan
Sejarah Alkitab, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1997
Freeman, D.,
“Roti Sajian” dalam, Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini (M-Z) (Ed. J.D. Douglas), Jakarta:BPK-GM, 2005
Goldingay, John, Old Testamnet
Theology: Israel Gospel Volume I, Downers
Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2003
Gooding, D.W., “Kemah Suci” dalam Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000
Green, Denis, Pembimbing Pada
Pengenalan Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Handol, John, Nyanyian Lucifer, Yogyakarta: ANDI, 2000
Hill, Andrew E., & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Hinson, David F., Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2001
Hoffner, Harry A., “tyIB” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume II, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975
Jacob, Edmond, Theology of the Old Testament, New York : Harper
& Brothers Publishers, 1958
Jagersma, H., Dari Aleksander
Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari ± 330 sM-135 M, Terj. Soeparto
Poerbo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, hlm. 134-136.
Karman, Yonky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta:
BPK-GM, 2007
Kellermann, D., “משכן” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume
IX, eds. G. Johannes Botterweck,
Helmer Ringgren & Heinz-Joseph Fabry, Grand Rapids, Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1998
Köhler, Ludwing, Old Testament Theology, Oxford:
University Press,1957
Kraus, Hans- Joachim, Worship In
Israel, Virginia: John Knox Press, 1966
Log, Burke O., 1 Kings With an
Introduction To Historical Literature, Grand Rapids Michigan: W.M.
Eerdmans, 1984
Mawene, M.T., Perjanjian Lama Dan
Teologi Kontekstual, Jakarta:
BPK-GM, 2008
Michaelis, Wilhelm, “σκηνη” dalam The
Dictionary of the New Testament Volume VII, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1971
Michel, Otto, “οίκος- οίκια ” dalam The
Dictionary of the New Testament Volume V, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967
Mike & Viv Hibbert, Pelayanan
Musik, Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988
Ottosson, M., “חכל” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume
III, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1978
Paterson, Robert M., Tafsiran
Alkitab Kitab Imamat, Jakarta: BPK-GM, 1997
Preuss, Horst Dietrich, Old Testament Theology, Lousiville:
Westminster John Knox Press, 1995
Rontledge, Robin, Old Testament Theology, A Thematic Approach, Nottingham: Apollos
Inter-Varsity Press, 2008
Schmidt, Karl Ludwig, “έκκλησία” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1967
Schrage, Wolfgang, “συναγωγή” dalam
The Dictionary of the New
Testament Volume VII, eds.
Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1971
Schrenk, Gottlob, “ίερός dan ίερόν” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1967
Seventer, A., Tafsiran Alkitab Zakharia dan Hagai, Jakarta: BPK-GM, 1983
Susanto, Hasan, Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II,
Jakarta: LAI, 2003
Than, Jadidiah, Mekanika Doa:
Bagaimana Anda Berkomunikasi Dengan Dia, Jakarta: Yayasan PI Imanuel, 1998
von Rad, Gerhard, Old Testament
Theology Vol II, London: SCM Press LTD, 1993
von Rad, Gerhard, Old Testament
Theology Volume I, London: SCM
Press, 1975
Weber, Hans-Ruedi, Kuasa,
Jakarta: BPK-GM, 1997
Westermann, Ernest Jenni Claus, Theological
Lexicon Of The Old Testament Vol 3, America: Hendrickson Publisher, 1997,
p. 1106
Wilson,
Gerald H., “בית” dalam New
International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis Volume I, ed. Willem A. VanGemeren, United
Kingdom: Paternoster Press, 1997
Zodhiates Spiros (ed.), The
Complete Word Study Dictionary: New Testament, USA: AMG International, 1992
[1] Berasal dari
kata tyIB; (diterjemahkan dalam bentuk maskulin).
Dapat diterjemahkan dengan “rumah, tempat tinggal” kata tyBe dapat diterjemahkan dengan “rumah dari” jika dalam
bentuk construct. Dalam perubahan
selanjutnya seperti dalam kata latyb; ht'y>B; (h) dapat
berarti “ke dalam rumah/ tempat
(manusia/ binatang)”. Dalam kombinasi dengan kata-kata lain dapat
mengubah arti misalnya dalam kata%l,M,h;
tyBe
yang
berarti “istana”, kata
rh;Soh; tyBe yang berarti
“penjara”, kata
~yviN"h; tyBe yang berarti
“rumah para wanita”, kata
!G"h; tyBe yang berarti
“taman”, kata
dq,[e-tyBe yang berarti “Bet-Eked ; 2 Raja-raja 10:12 Kemudian bangkitlah Yehu pergi ke Samaria. Di jalan dekat
Bet-Eked, perkampungan para gembala,”, kata ~ydIb'[]
tyBe yang berarti “rumah para budak”. Rumah sebagai
sebuah gedung (Kej. 33:17; Ul. 20:5; 22:8; 28:30), tempat tinggal manusia dan
keluarganya (Ul. 6:7; 19:1; 21:12b), istana kerajaan (Kej. 12:15; Yer. 39:8),
rumah Tuhan (Kej. 12:8; Kel. 23:19; 34:26; Ul. 23:18; Hak. 17:5; Yer. 7:4; Dan.
1:2).
[2]
Harry A. Hoffner, “tyIB” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume
II, eds. G. Johannes Botterweck &
Helmer Ringgren, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1975, pp. 107-108.
[3] lh,aoß yang dapat
berarti “kemah, tenda dari orang-orang nomaden”, dalam kata yang telah
dikombinasikan misalnya dalam kata lh,ao
bveyO
maka
berarti “orang-orang yang tinggal di kemah”, namun dapat juga berarti “tempat
tinggal, istana” jika digabungkan dengan kata yang lain, hal ini tampak dari
kata
dwd lh,ao yang berarti
“istana Daud”, “tempat tinggal para puteri Sion/ Yerusalem” dinyatakan dalam
kata !AYci tb lh,ao, “kemah suci sebagai tempat menyembah
Allah”
d[eAm lh,ao
[4]
Ibid, pp. 108-109.
[5]
Ibid, p. 110.
[6] Gerald H.
Wilson, “בית” dalam New International
Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis Volume I, ed. Willem A. VanGemeren, United
Kingdom: Paternoster Press, 1997, p. 655. Kata Bayith dapat berarti rumah, tempat tinggal, bangunan, keluarga dan dinasti. Secara nominative maka arti
dasarnya adalah “rumah”, menandakan rumah pribadi dari individual ataupun
keluarga. Jika dikatakan akan dibangun maka akan menggunakan kayu, batu, gading, dan material yang lainnya (Ul. 20:15,
22:8; 1 Raj. 2:36; 22:39; Mzm. 127:1), dan dibuat juga sotoh rumah tersebut
(Yos. 2:6-8; 2 Sam. 11:2). Dalam pengertian tempat tinggal yang lain, bentuk
nominatif bayit menggambarkan juga
tempat tinggal undomesticated
binatang-binatang (keledai liar, Ayb. 39:6, Ams. 30:6; Ayb. 8:14). Diantara
manusia bayit juga digambarkan
sebagai tempat tinggal raja (bet hammelek=
istana) dimana sama artinya dari kata pinjaman hekal (dalam arti Sumeria e-gal“rumah
besar”). Dalam pemahaman Mesopotamia, kata e-gal
secara gradual dapat berari pusat kegiatan social dan kekuatan politis. Dalam
bentuk nominatif bayit dapat juga
menunjuk kepada Bait Allah atau bait ilah asing (bet ba’al 1 Raj. 16:32; bet YHWH , 2 Sam. 7:5, 13; Zakh. 1;16).
Karena “Rumah Allah” merupakan Istana Allah dan juga sebagai pusat kegiatan
ibadah Israel, disanalah tempat yang direpresentasikan sebagai tempat tinggal
Allah atau tempat juga tempat pertemuan social (sama halnya seperti ohel moed, kemah pertemuan, dalam
pengalaman Keluaran). Namun perlu juga dipahami bahwa Allah tidak tinggal dalam
satu tempat tinggal tertentu (2 Sam. 7:1-7), juga tidak dibatasi oleh satu
tempat tertentu, karena baik surga maupun bumi tidak dapat membatasi Dia (Yes.
66:1).
[7]
Di dalam Perjanjian Lama, “חכל”
menunjuk pada tiga pengertian, yaitu: istana (palace), tempat suci (temple), dan daerah bagian tengah di
dalam istana Salomo (the middle area in
the temple of Salomon), disebut sebagai tempat
suci (holy place). Penggunaan kata khekal hampir sama dengan beth, terutama yang berkaitan dengan
tempat raja (1Raj. 21:2); karena rumah Tuhan seringkali berhubungan dengan
tempat tinggal Tuhan, maka hanya sedikit saja perbedaan antara istana dan rumah
Tuhan. Di dalam Perjanjian Lama, khekal
dalam menunjuk kepada rumah Tuhan. Khekal
Yahweh searti dengan beth Yahweh
(Ezr. 3:10; Yes. 1:9; 3:3; Hag. 2:16). Khekal
adalah tempat kudus dan mahakudus yang hanya imam kepala yang bisa memasukinya
untuk mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Lihat, M. Ottosson, “חכל” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume
III, eds. G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1978, p. 383.
[8]
Dalam Perjanjian Lama, sama halnya
seperti Bait Allah, Hukum Taurat merupakan suatu jawaban atas persoalan
mengenai kehadiran Allah; disatu sisi, Taurat membawa hadirat Allah yang
transenden dan berdaulat yang diungkapkan dalam Firman-Nya. Disisi lain, Taurat
menunjukkan bagaimana intervensi Allah didalam dunia tanpa terkecuali, bahkan
sampai rincian yang terkecil sekalipun tidak ada yang berada diluar kedaulatan-Nya. Bentuk keagamaan yang legalis dari Hukum
Taurat muncul hanya pada terkemudian secara relatif. Walau demikian, perlu
dipahami bahwa Hukum Taurat tidak
diberikan kepada keagamaan tersebut pada suatu masa tertentu saja, sebab Taurat
merupakan sebuah kemutlakan dalam gagasan inti dari perjanjian. Edmond Jacob,
Theology
of the Old Testament, New
York : Harper & Brothers Publishers, 1958, pp.
270-271
[9]
Ethelbert W. Bullinger, A Critical
Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament, Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1975, p. 386.
[10]
Otto Michel, “οίκος- οίκια ” dalam The
Dictionary of the New Testament Volume V, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1967, pp. 119-120.
[11] Tabernakel dan Bait Suci adalah
rumah Tuhan, tempat keluarga atau umat pilihan-Nya. Di dalam Perjanjian Baru,
rumah di mana keluarga Kristen tinggal disambut oleh saudara-saudara Kristen
lainnya untuk beribadah bersama, dan ketika rumah Tuhan dihancurkan pada tahun
70 M dan Sinagoge ditutup bagi orang-orang Kristen oleh penganut agama Yahudi,
maka jemaat persekutuan di rumah-rumah menjadi satu-satunya tempat perlindungan
bagi orang percaya, sampai mereka membangun gedung khusus bagi tempat
peribadatan. Lihat, T. Alton Bryant
(ed.), The New Compact Bible Dictionary, Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1967, p. 236.
[12]
Pemakaian kata ναός di dalam
Perjanjian Baru sebanyak 45 kali (9 kali di Matius , 3 kali di Markus, 4 kali
di Lukas, 2 kali di Kisah Para Rasul, 1 Korintus sebanyak 4 kali dan 2 Korintus
2 kali, 1 kali di Efesus dan 2 Tesalonika, dan di Kitab Wahyu sebanyak 16
kali). Yohanes dan Paulus menggunakan ναός terutama dalam pengertian kiasan
bagi umat dan tubuh (9 kali) dan sering mendekati tujuan aktual rumah
Tuhan (Yoh. 2:19, 21; 1Kor. 3:17; 2Kor.
6:16; Ef. 2:21). Kebanyakan bagian di dalam Kitab Wahyu berkaitan dengan rumah
Tuhan di surga (11 kali). Lihat, U. Borse, “ναός” dalam Exegetical Dictionary of the New Testament Volume II, eds. Horst
Balz & G. Schneider, Grand
Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991, p. 457.
[13]
Otto Michel, op.cit., pp. 121-128.
[14] Menurut Michaelis, pengertian dari kata σκηνη secara umum adalah tempat tinggal,
rumah, gubuk, pemondokan, dan penginapan.
Kata σκηνη (skene) sinonim
dengan ‘ohel. Istilah ini digunakan
secara terus-menerus karena di dalam terang dari pengembaraan di Padang Gurun,
ketika orang Israel
menetap di kemah. Kemah itu dianggap sebagai tempat di mana Tuhan bertemu
dengan mereka dari waktu ke waktu, bukan sebagai tempat kediaman Allah. Lihat,
Wilhelm Michaelis, “σκηνη” dalam The
Dictionary of the New Testament Volume VII, eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1971, p. 371.
[15]
Pengertian dasar dari Sinagoge (συναγωγή)
ialah mengiring/menuntun (to lead),
membawa bersama (bring together),
berkumpul (to gather), kumpulan orang
(gathering), tempat pertemuan (assembly), tempat persekutuan (union), umat secara individu (the individual congregation) semua umat
(whole congregation), rumah pertemuan
(house of meeting). Dengan demikian, Sinagoge
merupakan suatu tempat ibadah, pertemuan, sekolah, berdoa, penginapan, mengajar
Taurat. Bagi Yesus, Sinagoge sebagai tempat Ia mengajar dan berkhotbah.
Lihat, Wolfgang Schrage, “συναγωγή” dalam
The Dictionary of the New
Testament Volume VII, eds.
Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Grand Rapids, Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1971, pp. 798-852.
[16]
Ungkapan ίερόν adalah kata benda
neuter dari ίερός, yang artinya:
suci, tempat suci. Apakah ίερός
menunjuk kepada rumah Tuhan yang benar (Mat. 12:5-6) atau kuil berhala (Kis.
19:27)? Dalam nas Matius
21:12-17 kata ίερόν menunjuk pada rumah Tuhan di
Yerusalem. Rumah Tuhan itu seringkali bukan hanya bangunan atau gedung, tetapi
tempat pengadilan (court) dan seluruh
daerah itu suci. Lihat, Spiros Zodhiates (ed.), The Complete Word Study Dictionary: New Testament, USA: AMG International, 1992, pp. 761-762. Disamping
itu, ίερός atau ίερόν di dalam Perjanjian Baru, terutama
pada gereja mula-mula, digunakan untuk menunjuk pada rumah Tuhan. Sedangkan
para penerjemah Alkitab Indonesia
versi Terjemahan Baru menerjemahkannya dengan Bait Allah atau Bait Suci (house of God), dan BIS menggunakan kata
rumah Tuhan. Rumah Tuhan sangat
penting bagi Israel
dan rumah Tuhan yang dimaksud ialah rumah Tuhan di Yerusalem. Fungsinya ialah
sebagai tempat yang kudus/suci dari segala tempat, bahkan sampai sekarang. Pada
zaman sekarang ini, di Yerusalem diyakini sebagai tanah suci bagi agama Yahudi,
Islam, dan Kristen. Yesus dan para rasul mengajar di rumah Tuhan (Mat. 21:12).
Sehingga dalam memahami tentang ίερόν tidak terlepas dari konsep
kekudusan. Yesus sangat menekankan kekudusan rumah Tuhan sebagai rumah Bapa-Nya
dan tempat berdoa serta memuji Tuhan.
Lihat, Gottlob Schrenk, “ίερός dan ίερόν” dalam The Dictionary of the New Testament Volume III, ed. Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1967, pp. 221-248.
[17]
Kata έκκλησία berasal dari dua suku
kata (έκ artinya keluar, dan κάλέω artinya dipanggil). Dari kedua suku kata
ini, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa έκκλησία berarti orang yang telah dipanggil keluar (1Ptr. 2:9). Dalam Perjanjian Lama,
kata yang sinonim dengan έκκλησία ialah qahal.
Penggunaan kata έκκλησία dalam Injil hanya ditemukan pada
Matius 16:18, “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas
batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan
menguasainya”, dan Matius 18:17, “menyampaikan persoalan kepada jemaat”. Dari
dua teks ini, yang pertama menunjuk pada bangunan secara fisik atau lembaga,
sedangkan bagian kedua menunjuk pada orang percaya sebagai tubuh Kristus itu
sendiri. Dalam surat-surat Paulus, kata έκκλησία digunakan untuk menyebut jemaat dalam kaitan
orang percaya (Rm. 16:23; 1Kor. 14:4; 2Kor. 11:8; 12:13; Kol. 1:24; Flm. 4:15,
dan seterusnya). Jadi, kenyataannya έκκλησία menyatakan sekelompok orang
yang dipanggil keluar dari dunia oleh Allah. Lihat, Karl Ludwig Schmidt,
“έκκλησία” dalam The Dictionary of the
New Testament Volume III, ed.
Gerhard Kittel, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company,
1967, pp. 501-536.
[18]
Eliezer Berkovits, Man And God, Canada:
Wayne State
University Press, Detroit, 1969, p. 210
[19]
Ibid, p. 883
[20]
Ernest Jenni Claus Westermann, Theological
Lexicon Of The Old Testament Vol 3, America: Hendrickson Publisher,
1997, p. 1106
[21]
Willem A. Van Gemeren (ed), Op. Cit,
p. 879
[22]
Ibid, p. 877
[23]
Christopher Wright, Op. cit, hlm. 112
[24] Hasan Susanto, Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II,
Jakarta: LAI, 2003, hlm. 11
[25]
Ibid, hlm. 12
[26]
A. Murray, Op. Cit, hlm. 617
[27]
Hasan Susanto, Op. Cip, hlm. 12
[28]
Ibid, hlm. 13
[29]
Ibid, hlm. 12
[30]
D.W. Gooding, “Kemah Suci” dalam Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
2000, hlm. 539.
[31]
Tempat suci di Silo merupakan salah satu pusat ibadat dan tempat di mana orang Israel
beribadah selama di Padang Gurun setelah menduduki tanah Kanaan. Hal itu
diperlihatkan oleh kata-kata yang biasa untuk menunjukkan sebuah bangunan
tempat beribadah, “rumah dan istana atau kuil” (1Sam. 7, 9); kemudian diajarkan
bahwa Yahweh tinggal di dalam Kemah Suci itu, dan selalu berbicara kepada umat Israel.
Kemah Suci itu lebih daripada sebuah rumah keluarga (2Sam. 7:6). Orang Israel mengakui bahwa di Gunung Sinai, Allah
yang mengambil inisiatif di dalam menentukan sebuah tempat untuk didiami-Nya di
tengah-tengah Israel,
dan untuk bertemu dengan mereka, serta dengan tegas menyatakan sebagai kediaman
Yahweh. Akibat dari pemahaman ini, orang Israel menganggap bahwa hanya di
Gunung Sinai Tuhan berkenan ditemui. Sehingga mereka berencana untuk membangun
rumah Tuhan yang permanen di Gunung Sinai. Namun, harus kita memahami bahwa
Yahweh bukan TUHAN di Gunung Sinai, melainkan Tuhan yang Mahahadir di mana saja
Ia kehendaki. Lih, John Goldingay, Old
Testamnet Theology: Israel
Gospel Volume I, Downers Grove, Illinois:
InterVarsity Press, 2003, p. 563.
[32]
Secara etimologi “משכן”
(miskan) berasal dari kata “שכן” (skene)
yang berarti tempat tinggal yang menunjuk pada sebuah tempat di mana aksi
diekspresikan; sebab akar kata שכן (skene) mengambil
tempat dalam habitat manusia dan tempat kudus. Di dalam teks Ugarit, משכן menyatakan
kediaman Allah yang surgawi. D. Kellermann mengemukakan bahwa kata משכן jarang dipakai dalam
kaitan tempat kediaman manusia, tetapi Kemah Yahweh. Jika kita memakai kata משכן (misykan) dalam kaitan rumah masyarakat,
maka hal itu menunjuk pada tempat pertemuan
dan desa. Manfred Gorg, menyebut bahwa משכן (misykan)
dapat menggambarkan suatu kediaman di mana seseorang menginap tanpa memiliki
hak milik (penginapan, hotel), artinya ia bukan penghuni tetap, tetapi penghuni
sementara. Dengan nada yang sama, Tuhan memproklamirkan di dalam Yehezkiel
37:27 bahwa tempat kediaman-Nya akan ada di tengah-tengah umat-Nya sepanjang
masa. Demikianlah segala bangsa akan mengenal bahwa Tuhan menguduskan Israel.
Istilah משכן (misykan)
di sini menunjuk pada rumah Tuhan di Yerusalem. Lihat, D. Kellermann, “משכן” dalam The Dictionary of the Old Testament Volume
IX, eds. G. Johannes Botterweck,
Helmer Ringgren & Heinz-Joseph Fabry, Grand Rapids, Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1998, pp. 58-64.
[33]
Kemah Suci identik dengan kemah pertemuan atau kesaksian. Meskipun banyak tradisi tentang Kemah Suci, namun
jarang diperbincangkan dari pada tabut. Kemah Suci itu tidak dalam pengertian
tempat kediaman Tuhan di bumi, seperti kasus selanjutnya dengan rumah Tuhan
yang dibangun oleh Salomo; itu hanya tempat pertemuan antara Tuhan dengan Musa.
Tuhan menampakkan diri dari surga di dalam wujud awan yang memenuhi pintu Kemah
Suci. Itulah sebabnya Kemah itu disebut kemah pertemuan יעד
(yada). Di tempat itu
orang-orang Israel meminta petunjuk kepada Tuhan. Dengan demikian, kemah
merupakan suatu tempat di mana dicari nubuat, dan memberitakan firman Tuhan.
Namun, setelah orang Israel menetap di Kanaan, Kemah Suci tidak muncul lagi di
dalam cerita sejarah. Lihat, Gerhard von Rad, Old Testament Theology Volume I,
London: SCM
Press, 1975, pp. 234-236.
[34]
Salah satu hal yang sangat penting dari janji Allah kepada umat Israel
adalah kesepakatan/perjanjian bahwa
Tuhan tetap hadir untuk menyertai mereka. Meskipun hakekat Allah itu
dimanifestasikan dengan simbol-simbol (seperti tiang api dan awan), tetapi itu
menunjukkan suatu bukti bahwa Allah sedang berada di tengah-tengah mereka (Kel.
25:8). Struktur Kemah Suci (Kel. 25-40) dirancang untuk melambangkan kehadiran
Allah secara aktif di hadapan mereka. Kemah Suci itu juga disebut sebagai kemah
pertemuan, karena di sana Allah mengadakan
pertemuan dengan umat-Nya, dengan keimaman kudus yang ditahbiskan untuk mewakili
umat Israel
di hadapan Allah. Kehadiran Allah berkaitan dengan Kemah Suci memulihkan
kembali persekutuan yang intim antara Allah dan manusia pada saat manusia jatuh
dalam dosa (Kej. 3:8). Perjanjian Baru membaharui tema kehadiran Allah di
antara manusia dengan proklamasi bahwa, ”Firman itu telah menjadi manusia dan
diam/berkemah di antara kita” (Yoh. 1:14). Lihat, Andrew E. Hill & John H.
Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004,
hlm. 184-185.
[35]
Tabut tersebut dibawa dari Kiryat-Yearim. Qiryat-ye’arim
secara harafiah disebut sebagai kota
hutan-hutan. Satu kota utama orang Gibeon (Yos. 9:17), terletak di perbatasan Yehuda dan
Benyamin (Yos. 18:14, 15 bnd. Hak. 18:12), mula-mula diberikan kepada Yehuda
(Yos. 15:60). Kemudian kalau kita beranggapan bahwa kota ini identik dengan Kiryat diberikan
kepada suku Benyamin (Yos. 15:60) yang memberi kesan bahwa di lokasi itu pernah
didirikan bukit perngorbanan orang Kanaan, Baalah (Yos. 15:9, 10), Baale Yehuda
(2 Sam. 6:2) dan Kiryat-Arim (Ezr. 2:25). Tabut Perjanjian dibawa ke kota ini dari Bet-Semes
dan dititipkan kepada Eliezer (1 Sam. 7:1). Dua puluh tahun kemudian raja Daud
membawa Tabut Perjanjian itu ke Yerusalem (2 Sam. 6:2; 1 Taw. 13:5; 2 Taw.
1:4). Waktu membawa tabut perjanjian itu terjadi suatu peristiwa yang
mengakibatkan kematian Uza (2 Sam. 6:6-8).
[36]
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai
Bar Kokhba: Sejarah Israel
dari ± 330 sM-135 M, Terj. Soeparto Poerbo, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1991, hlm. 134-136.
[37]
Margaret Barker, Pintu Gerbang Sorga:
Sejarah dan Simbolisme Bait Allah di Yerusalem, Terj. B.A. Abednego, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 4-7.
[38]
Ketika Raja Herodes Agung menjadi raja (keturunan setengah Yahudi dari Idumea)
menguasai orang-orang Yahudi dari segi politik dan keagamaan. Nasib orang
Yahudi sangat tergantung kepada pemerintahan Romawi. Hal itu memberikan pukulan
berat bagi orang-orang Yahudi, karena ia campur tangan di dalam persoalan agama
Yahudi. Herodes menggantikan Imam Agung Hirkanus II dan menggantikannya dengan
pilihannya sendiri. Keluarga imam dibersihkan. Peranan Sanhedrin sebagai
penguasa tertinggi disingkirkan. Tetapi untuk menarik simpati orang-orang
Yahudi, Herodes mendirikan rumah Tuhan yang disebut Bait Allah (Yoh. 2:18-22).
Pada saat pemerintahannya, rumah Tuhan tidak hanya berfungsi sebagai pusat
keagamaan, melainkan pusat perdagangan. Usaha itu menentramkan rasa keagamaan
orang-orang Yahudi, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang luas. Orang tidak
terlalu dibebani pajak yang tinggi karena mereka telah melihat secara langsung
hasil dari pajak yang mereka berikan kepada pemerintah Romawi untuk kebutuhan
membangun rumah Tuhan. Praktek perdagangan itu tidak dilarang oleh pemimpin
agama Yahudi karena dapat memberikan keuntungan bagi mereka secara pribadi.
Mereka bisa menjual kurban-kurban dan ternak mereka dengan harga yang sangat
tinggi kepada orang-orang Yahudi yang berziarah ke rumah Tuhan setiap tahun.
Sebenarnya di luar kota
Yerusalem, hewan-hewan kurban jauh lebih murah harganya, tetapi ada resikonya
bahwa hewan-hewan itu tidak diterima oleh imam-imam karena cacat fisik. Jadi,
terpaksalah orang membeli hewan-hewan kurban itu melalui para pedagang di rumah
Tuhan. Para imam memanfaatkan kesempatan itu
untuk memperkaya diri dengan cara menjual dengan harga tinggi. Praktek seperti
itu merupakan secara tidak langsung disebut sebagai tindakan pemerasan,
ketidakadilan, dan menimbulkan kesenjangan sosial. Karena jabatan mereka sebagai imam digunakan untuk
mencari kuntungan sendiri dan memeras orang lain. Rumah Tuhan telah berubah
menjadi tempat perdagangan, sehingga sirnalah kekudusan rumah Tuhan. Lihat,
B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil
Lukas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm.463-465. Bdk. M.H.
Bolkestein, Kerajaan Yang Terselubung:
Ulasan atas Injil Markus, Terj. Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004, hlm. 227-229.
[39]
H.H. Rowley, op.cit., hlm. 63-64.
[40]
Yerusalem mendapat perhatian sentral bagi kepercayaan/keyakinan orang Israel.
Mereka mengatakan bahwa Allah telah memilih Yerusalem sebagai gunung milik-Nya,
tempat dan pusat kehadiran-Nya di atas muka bumi, sekadar untuk memberikan
umat-Nya suatu dasar teguh dan tempat perlindungan yang mantap. Allah
mengangkat hamba-Nya, Daud, dan para raja lainnya di Sion, sekadar untuk
menjadikan kota
itu suatu teladan bagi umat yang bermasyarakat secara merdeka, adil, bijaksana,
dan rukun. Allah berkenan menerima rumah Tuhan di Sion sebagai tempat
kehadiran-Nya yang khusus, sekadar untuk menjadi sembahan tunggal bagi umat-Nya
di sana, dan
untuk menguduskan umat itu sebagai jemaat yang berbakti kepada-Nya. Allah
menghukum Yerusalem yang telah memberontak kepada-Nya, dengan tujuan untuk
memperbaharui kota itu, sampai menjadi induk
umat-Nya yang baru, terkumpul dari antara Israel dan bangsa-bangsa lainnya,
di dalam dunia yang baru. Yerusalem disebut sebagai gunung dan kota Tuhan,
kediaman yang dipilih Allah, gunung batu yang tidak pernah goyah, tempat
perlindungan dan sukacita bagi umat, kota Daud, tempat lahirnya masyarakat yang
utuh, benteng kebenaran dan keadilan, pusat pengajaran hikmat, tempat pertemuan
dengan Allah dan perwujudan umat Tuhan. Tetapi juga sebagai kota sundal yang ditinggalkan oleh Allah.
Lihat, Christoph Barth, Theologia
Perjanjian Lama 3, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1989, hlm. 4.
[41] J.D. Douglas,
“Bait Suci” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (A-L), ed. J.D. Douglas, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000, hlm. 136-143. Bait Allah (Yun. hieron dan naos) dalam Perjanjian Baru menunjuk pada bangunan fisik dan orang
percaya. Dalam kitab-kitab Injil, sikap Yesus terhadap Bait Allah di Yerusalem mengandung dua sisi yang
bertentangan, yakni di satu sisi Yesus menghargainya, tetapi di pihak lain
Yesus menganggapnya tidak begitu penting. Yesus menyebut rumah doa sebagai Bait
Allah (Mat. 12:4; Yoh. 2:16). Yesus
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di dalamnya kudus karena dikuduskan
oleh Allah yang berdiam di dalamnya
(Mat. 23:17, 21). Semangat Yesus terhadap rumah Bapa-Nya mendorong Dia
menyucikannya (Yoh. 2:17), dan keprihatinan-Nya akan hukuman yang mengancam
kota suci itu membuat Dia menangis (Luk. 19:41). Sebaliknya, Yesus mengatakan
bahwa Ia lebih agung dari Bait Allah (Mat. 12:6). Bait Allah telah digunakan
untuk mengeringkan rohani Israel (Mrk. 11:12-26). Oleh karena itu, Bait
Allah itu akan dibinasakan karena
kenajisannya yang mengerikan (Mrk. 13:1). Jadi, Yesus mula-mula menghormati
Bait Allah sebagai tempat beribadah, berdoa,
bersekutu dalam kasih dan tempat yang kudus, namun kemudian karena Israel
menolak-Nya, maka Bait Allah andalan mereka itu segera dihancurkan. Dalam
surat-surat kiriman Paulus, Bait Allah disebut sebagai bangunan yang hidup
yaitu gereja atau orang percaya (1Kor. 3:16-17; 6:19; 2Kor. 6:16-7:1; Ef.
2:19-22).
[42] Christoph Barth, Op.Cit., hlm. 66-68
[43] Dalam ayat ini
dinyatakan tempatnya di gunung Moria. Nama tempat ini muncul dua kali dalam PL.
Dalam Kejadian 22:2 diceritakan bahwa Allah memerintahkan Abraham membawa Ishak
ke “tanah Moria” ( hY"+rIMoh; #r<a,Þ) dan
mempersembahkan dia di sana sebagai korban bakaran di salah satu gunung. Gunung
yang dipilih itu jauhnya tiga hari perjalanan (22:4) dari tanah orang Filistin
(21:34; daerah Gerar) dan kelihatan dari jauh (22:4). Ayat lain yang menyebut
nama itu adalah 2 Tawarikh 3:1, di situ dikatakan Bait Suci Salomo terletak di
“gunung Moria” ( hY"ërIAMæh; ‘rh;B.),
yaitu tempat pengirikan Ornan/Arauna orang Yebus, tempat Allah menyatakan diri
kepada Daud (3:2).
[44]
Tempat Mahakudus merupakan kubus yang sempurna dengan sisi 20 hasta. Walaupun
kita mnegharapkan lantainya dibuat lebih tinggi dari hekhal, tidak ada acuan untuk ini. Di dalamnya ada dua patung kayu
berdampingan, tingginya 10 hasta. Dua dari sayap patung itu saling menyentuh di
tengah-tengah di atas tabut perjanjian, dan sayap yang satu lagi dari setiap
patung itu menyentuh dinding utara dan dinding selatan secara berurutan (1 Raj.
6:23-28). Di tempat Mahakudus inilah Allah menampakkan kehadiran-Nya dengan
awan (1 Raj. 8:10). Tiap bilik dilapisi dengan kayu aras dan lantainya dilapisi
dengan papan kayu atau kayu sanobar (berosy).
Dinding-dinding dan pintu-pintu diukir dengan gambar-gambar bunga, pohon korma
(1 Raj. 6:29) dan kerub-kerub disalut dengan emas. Tidak ada batu kelihatan (1
Raj. 6:18). Dinding luar tempat Mahakudus dan tempat kudus terbuat dari dua
bagian yang tebalnya 1 hasta. Gunanya ialah menopang balok-balok penahan untuk
tiga tingkat bilik yang kecil di sekeliling dinding itu. Jadi bilik-bilik di
lantai dasar, lebarnya 5 hasta, yang diatasnya 6 hasta, dan yang paling atas 7
hasta. Bilik-bilik itu menjadi tempat penyimpanan berbagai barang persediaan
dan pakaian-pakaian jabatan, barangkali juga tempat penginapan imam-imam yang
bertugas, dan tempat penyimpanan uang persembahan dan barang-barang, yang
datang dari orang-orang yang beribadah.
[45]
Tempat kudus tersebut panjangnya 40 hasta, lebarnya 20 hasta dan tingginya 30
hasta. Bagian ini disekat dari balai oleh pintu kembar kayu saru, masing-masing
dibuat dengan dua daun pintu. Jendela-jendela yang rapat bidainya di dekat
langit-langit, menerangi tempat kudus (1 Raj. 6:4). Di senilah terdapat mezbah
pedupaan atau mezbah pembakaran ukupan (Kel. 30), meja untuk roti sajian dan
kelima pasang kandil, besama dengan alat-alat untuk korban-korban persembahan. Pintu-pintu
kembar dari kayu saru yang menuju ke tempat Mahakudus jarang dibuka, barangkali
hanya bagi imam besar waktu upacara hari raya pendamaian.
[46]
Panjang balai 10 hasta dan ukuran lebarnya 20 hasta.
[47] Ada dua nabi yang bekerja selama
masa pembuangan Babilonia, yakni Yehezkiel dan Yesaya (Deutro-Yesaya). Kedua
nabi ini menubuatkan pengharapan yang baru tentang keluaran dari Babel ke
Yerusalem. Allah akan mengizinkan mereka membangun kembali Yerusalem dengan
segala kemegahannya sehingg seluruh bangsa di muka bumi akan memperoleh
keselamatan yang daripada Allah (Yes. 45:22; 49:6; 54:11-14). Koresy berhasil
menguasai Babilonia sejak tahun 539 sM. Ia kemudian menyetujui agar orang-orang
Yahudi membangun kembali Bait Allah di Yerusalem. Ia juga menyetujui agar
memulangkan segala peralatan Bait Allah yang dirampas oleh bangsa Babilonia
dahulu. Begitu juga biaya pembangunan Bait Suci dimasukkannya ke dalam anggaran
belanja kerajaannya (Ezr. 6:3-5). Ia memerintah orang-orang Yahudi yng pulang
ke negerei meraka agar melaksanakan pekerjaan pembangunan tersebut, dan
mendorong orang-orang Yahudi yang masih mau tinggal di Babilon untuk memberikan
sumbangan bagi mereka yang pulang ke Yerusalem untuk tujuan tersebut (Ezr.
1:2-4). Begitulah ada sejumlah orang Yahudi yang menyatakan persetujuannya bagi
kemungkinan baru untuk melayani Tuhan.
[48]
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab
Kitab Imamat, Jakarta:
BPK-GM, 1997, hlm. 24-25
[49]
Mungkin sekali dia adalah putra Yoyakhin. Ia menjadi pemimpin dari
rombongan pertama orang-orang Yahudi yang pulang ke Yerusalem. Anehnya para
sejarawan di kemudian hari sedikit sekali mengetahui tentang orang ini dan
kelompok yang dipimpinya. Mereka membuat kekeliruan dengan menyamakan
kegiatannya sebagai kegiatan dari seorang tokoh lain bernama Zerubabel, yang
juga memimpin rombongan berikut
orang-orang Yahudi yang kembali ke Palestina pada waktu yang kemudia. Sehingga
kita pun tidak mengetahui manakah dari mereka yang sebenarnya telah meletakkan
dasar dari bangunan Bait Suci yang baru (Ezr. 5:6; Zak. 4:9). Lih. David F.
Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman
Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 216
[50]
Mungkin cucu Yoyakhin yang bernama Zerubabel. Ia memimpin rombongan kedua yang
pulang ke Yerusalem. Rombongan kedua ini adlaah rombongan yang lebih besar dari
rombongan yang pertam, dan proses pulangnya mereka barangkali baru berakhir
ketika Kambyses berhasil merebut Mesir pada tahun 525 sM.
[51]
Denis Green, Pembimbing Pada Pengenalan
Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004,
hlm. 20-21
[52] H.L. Elison, From Babylon To Betlehem, Philadelphia,
The Atlic Press, 1976, p. 5. Masa pembuangan bagi orang Yehuda merupakan suatu
hukuman atas dosa dan kejahatan mereka supaya mereka dapat mengoreksi diri dan
mentaati perintah-perintah Tuhan. Selama periode tersebut kaum Yehuda merupakan
rakyat jajahan, kendati demikian mereka tidak diperhambakan malah mereka bebas
untuk melakukan segala kebiasaan umum baik agama maupun perdagangan, sehingga
banyak diantara mereka menjadi kaya dan mendapat jabatan pemerintahan yang
tinggi. Pembuangan bangsa Israel juga mempunyai hasil yang baik diantaranya,
monotheisme ditegakkan, umat Yahudi berpaling dari penyembahan berhala dan
polytheisme dan sejak zaman itu orang Yehuda hanya menyembah dan berbakti
kepada Allah yang Mahaesa. Mereka
menjadi bersemangat dalam bidang pendidikan sehingga rumah sembahyang dijadikan
pusat pendidikan sekaligus merupakan suatu lembaga yanh kokoh bagi rakyat
Yahudi. Bangsa Israel juga lebih menghormati taurat Musa di pembuangan karena
sebelum pembuangan hukum Allah hanya
dipelajari oleh para Imam dan para nabi saja.
[53]
Denis green, Op. Cit, hlm. 19-20
[54] A. Seventer, Tafsiran Alkitab Zakharia dan Hagai, Jakarta: BPK-GM, 1983, hlm.18.
Pada tahun 520 sM nabi Hagai dan Zakharia datang ke Yerusalem untuk mendorong
penduduknya meneruskan pembangunan kembali Bait Allah (Ezr. 5:1). Keduanya
percaya bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang Yahudi yang
kembali dari pembuangan itu adalah langsung dari ketamakan dan sikap
mementingkan diri sendiri. Penduduk Yehuda rupanya memperhatikan tantangan
kedua nabi ini sehingga mereka meneruskan pekerjaan pembangunan Bait Allah
tersebut. Hanya dalam tempo empat tahun pembangunan Bait Allah itu rampung.
Akan tetapi hal itu bukan berarti tanpa kesukaran sama sekali. Sebab ketika
Darius melancarakan programnya untuk menata ulang seluruh administrasi
pemerintahannya dengan menyusun ulang pembagian seluruh wilayah kemaharajaannya
dalam bentuk kesatrapan-kesatrapan, Palestina menjadi bagian dari propinsi yang
disebut “Seberang Sungai” (seberang sungai Efrat bnd. Ezr. 5:6). Pejabat Persia
yang memerintah daerah ini, yang bernama Tatnai, rupanya merasa sangat
terganggu dengan adanya pembangunan tersebut. Ia kemudian melaporkan persoalan
ini kepada raja Darius. Raja Darius kemudian memerintahkan agar dilaksanakan
penyelidikan terhadap arsip-arsip kerajaan mengenai masalah tersebut, dan ia
memperoleh bukti bahwa raja Koresy dahulu telah memerintahkan pembngunan Bait
Allah tersebut. Berdasarkan bukti tersebut maka raja Darius memerintahkan
Tatnai untuk membiayai seluruh pekerjaan pembangunan Bait Allah, yang dananya
diambil “dari penghasilan kerajaan, dari upeti daerah seberang sungai Efrat”
(Ezr. 5:3-6:12). Dengan demikian pada akhirnya pembangunan kembali Bait Allah
itu rampung juga. Memang tataan tidak sebagus dan sekuat Bait Allah yang
pertama yang dibangun raja Salomo. Juga dekorasinya tidak beranek-ragam seperti
Bait Allah yang pertama. Walaupun demikian orang-orang Yahudi boleh merasa puas
karena akhirnya juga mereka memiliki suatu pusat peribadan lagi.
[55]
Th. Vriezen, Op. Cit, hlm. 276
[56]
Gerhard Von Rad, Old Testament Theology
Vol II, London:
SCM Press LTD, 1993, p. 281
[57]
A. Seventer, Op. Cit, hlm. 18
[58]
Roland de Vaux, Ancient Israel, Its Life
and Institution, New York: Mc
Graw-Hill Book Company inc, tt, pp. 324-329
[59] Bait Suci
sering diasosiasikan sama dengan kehadiran Tuhan di antara umat-Nya. Di
dalamnya dipenuhi dengan awan sebagai simbol kehadiran kemuliaan Allah (1 Raj.
8:10-11; hw")hy>
tyBeî-ta, aleÞm' !n"ï['h,w bnd Kel.
40:34-35) dan dianggap sebagai tempat Allah berdiam (1 Raj. 8:13; 2 Raj. 19:14;
Mzm. 27:4, 76:2; 132:13-14). Robin
Rontledge, Old Testament Theology, A
Thematic Approach, Nottingham: Apollos Inter-Varsity Press, 2008, p. 179
[60]
Yesaya menerima panggilannya di dalam Bait Allah di Yerusalem, dan sangat
terkejut merasakan kehadiran Allah . Kesadaran dan kehormatan pada kehadiran
Allah ini menjadi dasar dari protes para nabi terhadap upacara-upacara
peribadahan yng munafik. Perlunya menerima berkat, atau hak Allah untuk dipuja
tidak dipertanyakan, demikian juga seluruh aspek kehidupan dari pemujaan itu.
Malah sebaliknya. Kehadiran Allah mengharuskan adanya peribadahan pada Allah
yng lebih mendalam dan serius, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari. Hans-Ruedi Weber, Kuasa,
Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 159
[61]
Bait seperti hal tersebutlah yang diutarakan Yeremia untuk melawan kebiasaan pada
masa itu, melawan kepercayaan buta dalam bangunan yang telah digunakan untuk
membenarkan tingkah laku yang keji (Yer. 7:1-15; 26:1-15).
[62] Sebenarnya
kediaman Tuhan di bumi tidak akan pernah dibatasi oleh manusia. Karena Tuhan
adalah Mahahadir (omnipresent).
Kemahahadiran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tuhanlah yang menentukan
di mana seharusnya Ia tinggal dan berkenan berdiam di dalamnya. Karena Dia
adalah Mahakudus, sehingga tempat-Nya (Kemah Suci atau Tabernakel, Sinagoge,
Bait Suci, gereja dan orang percaya) harus kudus atau suci. Kekudusan Allah itu
harus menjadi kriteria utama bahwa suatu tempat disebut rumah kediaman Tuhan.
Peranan rumah Tuhan yang sebenarnya (Kemah Suci atau Tabernakel, Sinagoge, Bait
Suci, gereja, dan orang percaya) ialah tempat beribadah, berdoa, bersekutu,
melayani, bersaksi, meminta pengampunan
dosa dan pengudusan, mengajarkan firman Tuhan, menyelesaikan persoalan
kehidupan, dan tempat penyembuhan sakit penyakit atau penderitaan umat Tuhan
(mukjizat). Dengan adanya rumah Tuhan, maka umat Tuhan merasakan kehadiran
Tuhan di dalam kehidupan mereka.
[63]
Pada masa Hizkia oleh nabi Yesaya, mengingatkan bahwa Hizkia jangan menyerah
kepada Sanherib. Yesaya membesarkan hati Hizkia dengan menghina keangkuhan
orang Asyur demi nama Tuhan dan secara khusus menjanjikan kelepasan bagi
Yerusalem: “Ia tidak akan masuk ke kota ini dan tidak akan menembakkan panah ke
sana” (2 Raj. 19:32). Pembebasan yng dinubuatkan nabi Yesaya dan dilaksanakan
oleh malaikat Tuhan, menimbulkan masalah-masalah untuk nabi-nabi berikutnya,
seperti nabi Yeremia. Kelepasan yang dialami oleh Hizkia dianggap sebagai bukti
bahwa Sion, di mana istana Daud dan Rumah Allah yang dibangun oleh Salomo
terletak, tidak dapat diganggu-gugat. Tindakan Allah yang menyelamatkan mereka
dijadikan dasar untuk berpuas diri dan berkompromi. Kisah perlindungan ajaib
ini, kemudian berakhir dengan kisah tragis tentang kejatuhan Yerusalem (2 Raj.
25).
[64]
Umat Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan telah merasakan lawatan kepedulian dan
kehadiran Allah di sepanjang hidup mereka; buktinya menjadi nyata ketika Tuhan
membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan di Babel (Kel. 13:17-22;
14:15-31; Ezr. 1:1-10). Pembebasan itu merupakan momen yang sangat penting dan
berharga dalam sejarah Israel, juga berlaku bagi orang Kristen. Pembebasan umat
Israel itu diyakini sebagai bagian dari janji Allah yang menyelamatkan umat
pilihan-Nya. Israel sebagai umat yang percaya kepada Tuhan yang Esa (Ul. 6:5)
meresponi kasih Allah itu dengan ucapan syukur. Sebagai wujud keyakinan bangsa
Israel kepada Tuhan, mereka membuat tempat khusus atau kudus bagi Tuhan, yaitu
sebagai tempat berdoa, menyembah dan bersekutu. Tempat itu harus dijaga
kekudusannya oleh setiap orang yang datang menghampiri-Nya. Rumah Tuhan yang dimaksud
adalah rumah Tuhan atau pusat ibadah di Yerusalem.
[65] Jika
Bait Suci tidak mempunyai nilai simbolis, kita sebaiknya melihat pemahaman
tentang itu bukan dalam mite ataupun dalam kosmologi, tetapi dalam sejarah
Israel, karena agama Israel bukan agama mite atau juga
bukan agama natural, tetapi yang mempunyai sejarah tersendiri. Hanya sebagai
perayaan ibadah keluarnya dari pembebasan perbudakan, jadi Bait Suci disebut
dan berarti Yahweh memilih Yerusalem dan keturunan Daud dan sebagai lambang perlindungan
kepada kota dan keturunan tersebut.
[66]
Ditempatkan pada halaman gedung induk Bait Suci. Di pulau Siprus ditemukan
adanya sebuah baskom dari batu. Lambang lembu itu memang lazim dipakai di
Kanaan sebagai simbol kesuburan, dan kemungkinan besar lambang ini diambil alih
dari sumber-sumber Kanaan untuk dipakai sebagai perhiasan di dalam Bait Suci.
Kita ingat bahwa Yerobeam mendirikan patung-patung lembu di dalam kuil-kuilnya
di Betel dan di Dan (1 Raj. 12:28). Penggalian-penggalian arkeologis telah menemukan
patung-patung lembu, dengan patung olah yang berdiri di atas punggung
lembu tersebut,. Lembu-lembu yang
didirikan Yerobeam tidak dimaksudkan sebagai patung yang menggambarkan Yahweh,
melainkan sebagai “kendaraan Yahweh
dengan tidak ada tergambar figure Yahweh berdiri diatasnya. Hal ini
disebabkan Yahwisme merupakan agama tanpa patung yang melarang keras
penggambaran figur Yahwe (1 Raj. 14:9; Hos. 8:5; 2 Raj. 17:16; 2 Taw. 13:8)”.
Du halaman depan Bait Suci ada sepuluh tempat yang lebih kecil untuk penyucian
(pembasuhan), juga dari tembaga (1 Raj. 7:38), dan tempat-tempat penyucian juga
dapat dipararelkan dengan tempat-tempat kuil lainnya. Lih. H.H. Rowley, Op.Cit, hlm. 66-67
[68]
Tidak dapat dipastikan apakah tiang-tiang
tersebut berdiri lepas dari
gedung atau tidak, tetapi baik bentuk tiang
yang lepas, baik bentuk tiang yang menyokong gedung, terdapat juga dalam
kuil-kuil kuno yang lain. Pernah timbul banya dugaan tentang makna nama Yakhin
dan Boas itu. Banyak teori yang diajukan, tetapi sukar mendapat kepastian.
Sebenarnya nama-nam ini tidak banyak membantu pengertian kita tentang cara-cara
dan makna ibadat di Israel. Tiang-tiang itu merupakan masseboth seperti yang terdapat pada kuil-kuil Kanaani kuno. Tiang
Yakub di Betel juga merupakan massebah
(Kej. 28:18) dan sepanjang Perjanjian Lama sering disebut-sebut adanya
tiang-tiang yang demikian di atas bukit-bukit pengorbanan. Penggunaan masseboth ditolak dalam Ulangan 16:22
tetapi tidak ada bahan bukti bahwa ada suara-suara di Israel yang menolaknya
sebelum Ulanang itu (Hos. 3:4). Pendapat lain mengatakan bahwa tiang tersebut
terbuat dari perunggu yang dihiasi, berdiri di sebelah kanan dan kiri jalan
masuk ke Bait Suci (1 Raj. 721; 2 Taw. 3:15-1 7). Waktu Yerusalem dimusnahka
tahun 587 sM kedua tiang itu dirobohkan dan logamnya dibawa ke Babel (2 Raj.
25:13). Di Bait Suci yang dinubuatkan oleh nabi Yehezkiel tiang-tiang ini
didirikan kembali, tetapi dari kayu (2 raj. 40:49)
[69]
Penggunaan dua nama yang berasal dari bahasa Fenesia ini dapat dimengerti sebab
seniman pembuatnya, yakni Haran, berasal dari kota pelabuhan bangsa Fenesia.
Dialah yang ditugaskan Salomo untuk mengerjakan semua peralatan tembaga dalam
Bait Allah. Tiang seperti itu terdapat juga dalam kuil-kuil Kanaan dan
merupakan lambang dewi kesuburan Asyera. Biasanya tiang-tiang itu berada di
sebelah kiri dan kanan mezbah, dan merupakan lambang-lambang kuno di Kanaan
bagi suatu tempat pemujaan. Jelas sekali bahwa kehadiran kedua tiang tersebut
dalam Bait Allah bukan sekedar untuk memenuhi unsur dekoratif, tetapi juga
menghadirkan simbol kesuburan negeri dan tanah Israel di hadapan Yahweh, Allah
Israel, dengan makna baru, yakni tindakan Alah meneguhkan dengan kekuatan-Nya.
[70] ~ynIßP'
~x,l, secara harafiah berarti “roti di hadapan wajah”,
yaitu wajah Allah (Kel. 25:30), atau tk,r"_[]M;h;(
~x,l,ä roti teratur (1 Taw. 9:32). Sesudah Musa menerima
petunjuk Allah tentang meja, pinggan, cawan, kendi dan piala untuk
“tempat kudus” di Kemah Suci, maka Allah
menyuruh di meletakkan roti sajian di atas meja itu, peraturan yang
tidak boleh dihentikan (Kel. 25:30). Roti sajian adalah 12 roti bundar yang
dibakar, dibuat dari tepung yang terbaik. Tiap roti bundar itu du persepuluh efa. Roti disusun berjajar dua, 6 roti satu susun (Im. 24:6; tAkßr"[]m;(). Di atas
susunan roti itu dibubuhi kemenyan tulen “menjadi bagian ingat-ingatan” dan
menjadi korban bakaran bagi Yahweh (Im. 24:7). Tiap Sabat imam wajib menyusun
roti yang baru atau panas di atas meja (1 Sam. 21:6), roti yang lama menjadi
jatah tambahan bagi Harun dan anaknya, yang harus memakannya di tempat kudus
karena roti itu adalah “maha kudus” (Im. 24:5-9). Roti sajian demikianlah yang
diminta Daud dari imam Ahimelekh bagi dirinya dan pengikutnya ( 1 Sam. 21:1-6).
Meja roti sajian diletakkan di dalam tempat kudus di utara Kemah Suci
berhadapan dengan kandil emas (Kel. 26:35). Meja itu dibuat dari kayu penaga
disaluti dengan emas dan berbingkai mahkota emas. Di ke-4 sudutnya ada galang
emas untuk kayu pengusung bila mengangkutnya (Kel. 25:23-28). Sesuai dengan
perintah semula, meja sajian tidak pernah alpa dari tempat yang telah
ditentukan untuk ibadah memuja Allah (2 Taw. 4:19; 13:11). Bani Kehat bertugas
mengurus roti sajian (1 Taw. 9:32). Lih. D. Freeman, “Roti Sajian” dalam, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (M-Z) (Ed.
J.D. Douglas), Jakarta:BPK-GM, 2005, hlm. 329-330
[71] Doa ini diucapkan oleh Yunus ketika ia pulang
kembali ke rumah dari dalam perut ikan paus. Doanya termasuk jenis ratapan
karena, pada ayat 2 dengan segera mulai dilukiskan penderitaannya. Akhir dari
doanya adalah ungkapan kepercayaan dan syukur kepada Tuhan, yang percaya kepada
keselamatan dari Tuhan, dengan iman yang teguh. Ada persamaan khusus antara
ratapan dari Yunus dengan Mzm 18 dan 116. A.B. Davidson, An
Introductionary Hebrew Bible, Edinburg: T&T Clark, 1962, p. 261
[72]
Jadidiah Than, Mekanika Doa: Bagaimana
Anda Berkomunikasi Dengan Dia, Jakarta: Yayasan PI Imanuel, 1998, hlm. 58
[73]
Ludwing Köhler, Old Testament Theology,
Oxford: University Press,1957, p. 251
[74]
Doa syafaat juga dilakukan. Doa syafaat dapat didefinisikan sebagai doa kudus,
penuh keyakinan, dan tekun yang dengannya seseorang memohon dengan sangat
kepada Allah demi seseorang atau beberapa orang lain yang benar-benar
membutuhkan campur tangan Allah. Alkitab sering kali mengacu kepada doa syafaat
orang percaya dan mencatat banyak contoh dari doa yang luar biasa dan penuh
kuasa. …, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas, 2006,
hlm. 1360. Pada zaman sebelum pembuangan jenis doa syafaat sering terdengar
yang dilakukan oleh orang-orang khusus seperti nabi, imam, dan raja. Dalam
Perjanjian Lama pemimpin umat Allah,
seperti raja (1 Taw.21: 17; 2 Taw.16: 14-42), nabi (1 Raj.18:41-45; Dan. 9),
dan imam (Ezr.9:5-15; Yl.1: 13; 2:17-18) bertugas memimpin dalam doa syafaat
bagi bangsa itu. Nyanyian dan doa juga
mendapat peranan yang penting dalam ibadah di bait suci dipimpim para imam.
Unsur pelayanan kenabian yang penting dalam mewakili para penyembah dalam
memanjatkan doanya kepada Tuhan. Nabi tidak hanya penyampai firman Allah kepada
manusia tetapi juga menjadi wakil dan penyambung lidah manusia dihadapan Tuhan
karenanya, nabi sering muncul sebagai juru doa syafaat. William Dyrness, Thema-thema dalam Perjanjian Lama, Malang:
Gandum Mas, 1992, hlm. 147
[75]
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi
Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2007, hm. 197
[76]
Burke O. Log, 1 Kings With an
Introduction To Historical Literature, Grand Rapids Michigan: W.M.
Eerdmans, 1984, p. 94
[77] Horst Dietrich Preuss, Old Testament Theology, Lousiville: Westminster John Knox Press,
1995, pp. 250-253
[78] Dalam Perjanjian Lama memang ada pola-pola
bagi doa, tapi tidak ada aturan yang mengikat yang mengatur baik isinya maupun
upacaranya. Doa-doa yang dilakukan melalui korban di Bait Suci di Yerusalem dan
melalui pujian, maupun doa dan eksposisi Firman dalam sinagoge di perantauan
dan melalui sunat, juga puasa semua ini dilakukan untuk mendapatkan pertolongan
dari Allah melalui hubungan peribadi antara umat-Nya dengan Allah.
[79] Gereja mula-mula
telah mengadopsi peraktek ibadah harian keyahudian yang diadopsi dan
dikembangkan oleh Gereja mula-mula. Menurut tradisi keyahudian dalam satu hari
terdapat saat-saat berdoa yang dibagi berdasarkan waktu. Pemazmur menyinggung
waktu doa sebanyak tujuh kali (bnd. Maz. 119:164) bahkan ada bagian-bagian yang
dinyanyikan dari kitab suci. Yaitu nyanyian doa yang dilakukan di Bait suci,
kadang kala diperaktekkan di Sinagoge.
[80]
Joseph P. Free, Arkheologi dan Sejarah
Alkitab, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1997, hlm. 190-191
[81]
I. J. Cairns, Ibadat Israel Kuno, Jakarta:
BPK-GM, 2004, hlm. 168
[82]
Charles juga menegaskan bahwa bahkan ketika 300 tahun setelah pembuangan dari
Babel pun tradisi ini tetap terpelihara. Charles L. Etherington, Protestant Worship Music, USA: Holt,
Rinehart and Winston, Inc, 1962, pg. 14. Peranan rja-raja, sangat berarti dalam
pengembangan musik di Bait Suci tersebut terkait dengan mazmur. Mungkin
mazmur-mazmur tersebut dipakai berkali-kali, karena tidak ada sesuatu dalam
mazmur-mazmur itu yang mengaikatkannya dengan situasi historis tertentu. Misalnya
Mazmur 24 agaknya merupakan mazmur untuk mengiringi pawai ketika tabut diangkut
masuk ke Yerusalem. Tetapi ternyata bahwa saat yang dimaksudkn dalam mazmur itu
bukanlah saat historis, waktu tbut tersebut pertama kali dibawa raja Daud ke
dalam kota Yerusalem, karena Mazmur 24 memberikan kesan bahwa Bait Suci sudah
berdiri (lih. Mzm 24:7). Mungkin mazmur
ini dipakai pertama-tama ketika Salomo membwa tabut masuk ke dalam Bait Suci
yang baru saja dibangunnya (1 Raj. 8:1). Tetapi tempat Mazmur ini dalam kitab
Mazmur memberi kesan bahwa Mazmur 24 memanglah dipakai secara berkala.
[83]
Di Bait Allah, musik diorganisir dalam skala besar (Israel Taw. 23:1-5; II Taw.
29: 25-26). Kadang-kadang paduan musik akbar diorganisir seperti pada waktu
pentahbisan bait ketika 120 peniup nafiri (terompet panjang) terlibat (II Taw.
5: 12-13). John Handol, Nyanyian Lucifer,
Yogyakarta: ANDI, 2000, hlm. 20
[84]
Mike & Viv Hibbert, Pelayanan Musik,
Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988, hlm. 5
[85]
Selama mereka di pembuangan Babilonia, ibadah mereka dipengaruhi oleh budaya
setempat. Hans banyak megupas tentang keberadaann orang Israel selama dalam
pembuangan, terkhusus mengenai sikap hidup religius mereka. Lih. Hans- Joachim Kraus, Worship In Israel, Virginia: John Knox
Press, 1966, pg. 229-230
[86]
Ibid, hlm. 6
No Deposit Bonuses | Online Casinos with Instant Payouts
BalasHapusFree 인카지노 Money — Online casino bonuses generally require deposit in order septcasino to claim 제왕카지노 the bonus. They do not require you to make a deposit to